Hukum bermazhab dan Mengenal Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali

Hukum bermazhabsebelum kita menghukumi apakah wajib kita bermazhab atau tidak, ada baiknya kita harus mengenal dulu apa itu mazhab? berikut penjelasan sedikit tentang hal tersebut.

Mazhab
Mazhab adalah isem makan atau ism zaman yang berasal dari kata:
ذهب – يذهب – ذهبا / ذهابا
yang berarti pergi atau berjalan, maka secara bahasa arti mazhab adalah tempat berjalan/jalan atau waktu berpergian. Pengertian mazhab dalam bingkai syari`at adalah sekumpulan pemikiran Imam Mujtahid dibidang hukum-hukum syari`at yang digali dengan menggunakan dalil-dalil secara terperinci, dan kaedah-kaedah ushul. Jadi Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqh. Saat ini kita mengenal empat Mazhab dalam dunia islam, yaitu:

Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi dibentuk oleh seorang ulama besar kufah yang bernama lengkap, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufii. Beliau lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. beliau adalah termasuk dalam atba’ al-tabi’in, dan ada ulama yang mengatakan bahwa beliau tergolong dalam Tabi’in, yang hidup dalam dua daulah yaitu daulah umayyah dan daulah ‘abbasiyyah, sehingga beliau pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan juga meriwatkan hadits darinya.[1] Sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

Mazhab Maliki

Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama besar madinah yang lahir pada tahun 93 H/73 M, dari keluarga Arab terhormat, bernama lengkap Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Ashbahi. Orang tua dan leluhurnya dikenal sebagai ulama hadits Madinah, kerena ini membuat imam Malik sejak kecil mencintai ilmu hadits dan ilmu lainnya. Mula-mula beliau menimba ilmu hadits pada ayah dan paman-pamannya. Kemudian berguru kepada ulama-ulama terkenal antara lain, ‘Abd ar-Rahman bin Hurmuz dan Nafi’ Maula Ibn ‘Umar. Dan guru beliau dibidang fiqh ialah, Rabi’ah bin ‘Abd Ar-Rahman, dan imam Ja’far ash-Shadiq[2].

Imam Malik telah menguasai banyak ilmu sehingga tidak sedikit ulama yang menimba ilmu padanya, termasuk diantaranya imam Syafi’i penegak pertama mazhab Syafi’i, Bahkan menurut satu riwayat, murid terkenal imam Malik mencapai 1.300 orang. Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. saat ini ada di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

Mazhab Syafi’i

Mazhab ini didirikan oleh seorang ulama yang lahir pada tahun 150 H, di Gazza bagian selatan dari Palestina. Bernama lengkap imam Abu ‘Abd al-llah Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin ‘Abd al-Muthallib al-Quraiyi al-Hasyimi, yang bertemu dengan Rasulullah pada kakek beliau yang kesembilan. Sedangkan ibunya bernama Fathimah binti ‘Abdillah bin Hasan bin Husain bin ‘Ali Ra yang merupakan shahabat dan menantu Rasulullah SAW.

Sejak masih usia Sembilan tahun, beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an, kemudian dalam usia sepuluh tahun, beliau sudah hafal kitab al-muwattha’ imam Malik yang memuat lima ribu hadits-hadits shahih. Banyanya ilmu yang beliau miliki karena ketekunannya dalam mencari ilmu, hampir setiap pusat ilmu berliau ziarahi seperti Mekkah, Madinah, Iraq, Kufah dan Mesir, disana beliau berjumpa dengan ulama-ulama besar, seperti imam Malik, dimana imam Syafi’i selalu bersama beliau selama satu tahun. Dan Abu Yusuf, ashhab dari Abu Hanifah.

Pada tahun 179 H, beliau diberi izin oleh imam Malik untuk berfatwa sendiri, namun beliau tetap bertaqlid pada guru-gurunya, sehingga pada tahun 198 H, sesudah usia beliau genap 48 tahun, mulailah berfatwa sendiri dengan lisan maupun dengan tulisan, pertama memberi fatwa di ‘Iraq yang diishtilahkan dengan al-Qaulul Qadim, kemudian berpindah ke Mesir dan fatwa beliau selama disini diishtilahkan dengan al-Qaulul Jadid. Di kota inilah beliau menghadap Allah Swt sesudah shalat maghrib malam Jum’at, akhir bulan Rajab pada tahun 204 H, bertepatan dengan 28 Juni 819 M. Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

Mazhab Hanbali

Mazhab ini didirikan oleh imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asada az-Zuhili asy-Syaibani, beliau lahir di pusat pengembangan islam Baghdad pada tahun 164 H dan dikota ini pula banyak menghabiskan masa hidupnya untuk mengabdi pada pendidikan islam sehingga wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 241 H, sebagaimana ulama lainnya, beliau juga hijrah kepusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya seperti, kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah.

Beliau adalah seorang ulama hadits, dan fiqh yang banyak menghafal hadits dari guru-gurunya antara lain Imam Syafi’i dan Hasyim bin Basyir bin Abi Khazim al-Bukhari sehingga beliau menyusun satu kitab yang memuat empat puluh ribu hadits. Banyak para ulama yang memberi kesaksian atas ketinggian ilmunya, antara lain Ibrahim al-Harbi berkata “aku lihat Ahmad bin Hanbal seolah-olah beliau telah mengumpulkan ilmu ulama terdahulu dan selanjutnya”[3]. sekarang ini Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.

Selain mazhab yang empat masih terdapat mazhab lain, seperti Mazhab Al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid (wafat 93 H). Mazhab Azh-Zhahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali Azh-Zhahiri (wafat 270 H), Mazhab Laist yang didirikan oleh imam al-Laits bin sa’ad bin’Abdur rahman al-Fahmi ( 94 H-175 H), Mazhab Tsaury didirikan oleh Imam Sufyan ibn Sa’id bin Masruq bin Habib bin Rafi’I, ( 97 H/715 M ), Mazhab Auza`i didirikan oleh Abdurrahman Al Auza'i (wafat 113 H), Mazhab Ishaq ibn Rahawiyah, Mazhab Sufyan bin Uyainah, Mazhab Imam Hasan Basri.

Namun selain mazhab yang empat semuanya tidak bertahan lama pengikutnya hanya ada pada saat Imam mazhabnya masih hidup, setelah beliau wafat tidak ada lagi yang meneruskan mazhabnya. Karena itu sangat sulit bagi kita menelusuri mazhab selain empat apalagi bermazhab dengan selain yang empat.


Ijtihad

Ijtihad adalah etimologi berarti kesanggupan dan kemampuan. Sedangkan pengertian Ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan sebuah dhan terhadap satu hukum.[4] Pelaku ijtihad disebut sebagai Mujtahid. Ijtihad telah semenjak Rasulullah SAW, saat Rasulullah SAW memerintahkan shahabat Mu`az Bin Jabal ke negri Yaman menjadi hakim, Rasulullah bertanya: ‘’Dengan apa kamu akan menuturkan perkara yang diadukan padamu? Mu`az menjawab; dengan hukum yang tertera dalam kitabullah. Rasulullah bertanya lagi; jika engkau tidak menemukan dalam kitabullah? Mu`az menjawab; aku akan menghukumi dengan keputusan-keputusan Rasulullah. Rasululah terus bertanya; “jika kamu tidak mendapatkan keputusan Rasulullah? Mu`az menjawab; “Aku akan berijtihad dengan pendapatku’’ (H.R. Ad Darimy)

Syarat ijtihad

Tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad. Bahkan dari kalangan shahabat Nabi sendiri hanya beberapa orang saja yang berijtihad sendiri. Beberapa syarat mutlak harus dipenuhi, Secara ringkas syarat-syarat tersebut antara lain:[5]
  1. Baligh
  2. Berakal (Memiliki malakah untuk memahami).
  3. Memiliki IQ yang tinggi (syadid fahmi)
  4. Memahami dalil `aqly (bara`ah ashliah).
  5. Memahami loghat arab dan ilmu arabiyah (loghat, nahu, saraf, badi`, bayan, ma`any, `arudh, qawafy dll)
  6. Memahami ayat atau hadis yang bekenaan dengan hukum.
  7. Mengusai serta ahli dalam memraktekkan qawaid-qawaid syara`
  8. Mengenal nasikh dan mansukh.
  9. Mengetahui masalah-masalah ijmak.
  10. Memahami ushul fiqh.
  11. Mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud.
  12. Mengetahui syarat mutawatir dan ahad, shahih dan dhaif dan keadaan perawi.
  13. Mengusai kaifiah nadhar.

Syarat-syarat ini sangat sukar mampu dicapai oleh seseorang, sehingga Imam Ghazali dalam Al Basith mengatakan bahwa syarat-syarat ini pada masa ini telah ozor untuk dicapai.[6]

Tingkatan para Mujtahid

Mujtahid terbagi dua:
  1. Mustaqil.
  2. Ghairu Mustaqil.

Mustaqil adalah seorang mujtahid yang memenuhi semua syarat-syarat ijtihad mampu menciptakan qawaid hukum sendiri dan lepas dari qaedah mazhab lainnya

Mujtahid yang memenuhi kriteria ini tidak diperdapatkan semenjak masa setelah Imam Syafii. Bahkan Imam As Sayuthi mengatakan keinginan manusia pada hari ini ingin menjadi mujtahid adalah suatu hal yang mustahil.[7] Ulama yang mencapai tingkatan ini antara lain Imam Mujtahid yang empat dan para imam mujtahid lainnya sebelum masa mereka.

Ghairu mustaqil (muntasib).
Mujtahid Ghairu mustaqil terdiri dari 4 tingkatan:
  1. Mujtahid yang tidak mengikuti imam baik dalam mazhab maupun dalil karena memiliki sifat yang sama dengan mujtahid mustaqil. Tetapi ia masih dibangsakan kepada Imam yang lain karena dalam menggali hukum masih menempuh cara Imam dalam berijtihad.[8] Ulama yang berada pada tingkatan ini seperti Al Muzani, murid senior Imam Syafii.
  2. Mujtahid yang muqayyad (terikat) dalam satu mazhab, sanggup mengusai dan mengurai qawaid hukum dengan sendiri, tetapi dalil-dalilnya tidak keluar dari qawaid dan dalil Imam. Syarat mujtahid pada tingkatan ini adalah alim dengan fiqh, ushul fiqh, adillah ahkam, menguasai masalik qiyas (metode penemuan ilat) terlatih dalam menggali dan mengupas hukum, mampu mengqiyaskan masalah yang tidak ada dalam nash Imam. Bagi mereka nash Imam menjadi dalil bagaikan nash syara` bagi Mujtahid mustaqil. Ini adalah tingkatan ashhabil wujuh. Seperti Imam Qaffal dan Abi Hamid.[9]
  3. Mujtahid yang tidak sampai tingkatan Ashhabil wujuh karena kekurangan mereka dalam memahami mazhab, kurang tebiasa dalam istinbah hukum, tetapi mereka memiliki IQ yang tinggi, menguasai mazhab imamnya, memahami dalil, dan sanggup mengurai dan mentarjihnya. Diantara ulama tang berada pada tingkatan ini adalah Imam Nawawy dan Imam Rafii.
  4. Mujtahid yang mampu menaqal/mengutip  dan memahami mazhab imamnya baik yang jelas maupun yang sukar. Namun tidak sanggup menguraikan dalil dan mentaqrir qiyas.[10]

Sebagian para ulama membagi tingkatan mujtahid hanya kepada tiga :
  1. Mujtahid mutlaq, seperti Imam yang empat
  2. Mujtahid Mazhab, seperti Al Muzani.
  3. Mujtahid Fatwa, seperti Imam Nawawy dan Imam Ar Rafii.[11]

Kewajiban bermazhab

Umumnya, manusia didunia terbagi kepada dua kelompok, yaitu pandai (alim) dan awam. Yang dimaksud dengan orang pandai (alim) dalam diskursus pemahaman bermazhab adalah orang-orang yang telah memiliki kemampuan menggali hukum dari Al Quran dan Hadis yang dinamakan sebagai Mujtahid. Sedangkan orang yang awam adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu disebut sebagai Muqallid. Keadaan mereka mengikuti para imam Mujtahid dinamakan dengan taqlid.

Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur'an dan Sunnah secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan Hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al Quran dan Hadis. Maka bermazhab adalah semata-mata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadist, Ijma' dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad. Dan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia akan terbengkalai kalau seandainya setiap manusia berkewajiban untuk berijtihad, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya.

Taqlid dalam perbandingan lain dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam taqlid, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang hukum yang dihasilkan adalah hukum yang fasid.

Ayat dan Hadis landasan Taqlid

Sebenarnya banyak ayat-ayat Al Quran dan Hadis yang menjadi landasan kewajiban bertaqlid bagi manusia, antara lain:
  • Surat Al Anbiya ayat 7
فسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui”(Qs.Al-anbia:7)
Memang ayat diatas asbabun nuzulnya untuk menyikapi prediksi orang-orang musyrik yang menyatakan Allah tidak akan mengutus rasul dari jenis manusia . Namun dalam undang-undang usul fiqh yang menjadi pertimbangan hukum dan titik tekan dalam sebuah ayat adalah keumuman (universal) lafadz ayat.

Dengan demikian ayat diatas sebenarnya mengandung perintah kepada orang yang tidak memiliki ilmu agama agar bertanya dan mengikuti pendapat orang yang pandai diantara mereka. Secara tekstual, ayat diatas berisi perintah bertanya kepada orang yang pintar. Tidak ada informasi perintah taklid, sehingga tidak bisa di jadikan dalil kewajiban taklid. Namun pemahaman demikian kurang tepat, sebab bila diperhatikan lebih teliti, perintah diatas termasuk perintah mutlak dan umum.Tidak ditemukan kekhususan perintah bertanya tentang dalil atau yang lainnya. Sehingga ayat tersebut bias menjadi dalil kewajiban taklid.

  • Surat An Nisa ayat 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya: ’’hai orang-orang yang beriman! Turutilah Allah dan turutilah Rasul dan ulil amri dari kamu (An Nisa 59)

’’Ulil amri’’ dalam ayat diatas diartikan oleh para mufassir dengan ‘’ulama-ulama’’. Diantara para mufassir yang berpendapat demikian adalah ibnu Abbas, Jabir bin Abdullah, Hasan, `Atha` dll. Maka dalam ayat ini diperintahkan kepada kaum muslim untuk mengikut para ulama yang tak lain disebut taqlid.

  • Surat As sajadah ayat 24
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pamimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar, dan mereka meyakini ayat-ayat kami” (Qs. As-sajadah :24)

Abu As-su’ud berkomentar, subtansi ayat di atas menjelaskan tentang para imam yang memberi petunjuk kepada umat tentang hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan demikian wajib bagi umat untuk mengikuti petunjuk yang mereka berikan.

  • Hadis riwayat Turmuzi dll

اِقْتَدُوا بِاَللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ "  أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ 

“Ikutilah dua orang sesudah saya, yaitu Abu Bakar dan Umar“ (H.R. Turmuzi, Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Dalam hadis ini jelas kita disuruh kita mengikuti dua Ulama yang juga shahabat Nabi yaitu Abu bakar dan Umar Rda. Ini adalah perintah untuk Taqlid.

  • Hadis riwayat Baihaqi

أصحابي كا لنجوم باءيهم اقبديتم اهتديتم (رواه البيهقي
“Sahabatku seperti bintang, siapa saja yang kamu ikuti maka kamu telah mendapat hidayat” (Riwayat Imam Baihaqi).

Ini juga dalil yang meyuruh kita (yang bukan mujtahid ) untuk mengikuti sahabat-sahabat nabi, mengikuti mereka itulah yang di katakan TAQLID.

Semua hadits diatas menggambarkan bahwa para sahabat dan ulama-ulama setelah sahabat, merupakan pelita bagi umat manusia, sehingga Rasulullah menjadikan para ulama sebagai pewaris para Anbiya’ dalam memberi petunjuk kepada ummat. Mengikuti mujtahid pada hakikat adalah mengikuti Allah dan RasulNya, dan lagi para ulama telah sepakat bahwa ijtihad mereka bersumber pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul karena silsilahnya (ikatan) dengan Rasulullah tidak diragukan, maka mengikuti mujtahid juga dinamakan mengikuti Rasulullah.

Masih adakah mujtahid pada masa ini?
Secara akal memang tidak tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181 M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii (767-820 M) tidak diperdapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai mujtahid mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 - 1278 M) menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak ada mujtahid”.[12] Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany (Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577 H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad, karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[13]

Syeikh Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M - 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H - 974 H), Imam Al Manawy (925 H - 131 H) dll.

Imam Ibnu Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.

Imam Haramain(399 H - 460 H), dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M - 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 - 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak diperdapatkan lagi. Yang kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih sulit diperdapatkan dari pada belerang merah’’.

Dapat disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy, Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[14]

Adapun orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751 H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 - 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.

WAALLAHU A`LAM BISH SHAWAB.
LPI MUDI MESRA, Samalanga, Bireun, Aceh.
Selasa, 03 Sya`ban 1432 H/05 Juli 2011 M

Maraji`
  1. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh cet. Dar Fikr
  2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra Cet. Dar fikr
  3. Jalal Mahally, Al Mahally `ala jam`ul jawami`, Cet. Haramain
  4. Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti Cet. Dar Fikr
  5. Sayyid `Alawy As Saqqaf, Sab`atul kutub mufidah Cet. Haramain
  6. Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr Cet. Dar Fikr
  7. Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq Cet. Matba`ah Maimaniyah
  8. Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, Cet. Semarang, Toha putra
  9. Imam Zarkasyi, Bahrul Muhith cet. Dar Fikr

[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh jilid 1, hal. 43 cet. Dar Fikr
[2] ibid, hal. 45
[3] Ibid. hal. 53
[4] Zakaria Al Anshary, Ghayah Wushul syarah Lubb al Ushul, (semarang, Toha putra) hal 147
[5] Jalal Al Mahalli, Syarah `ala jam`ul jawami`jlid 2 hal 382. Cet. Haramain, Imam Zarkasyi, Bahrul Muhid jilid 4 hal 489 Cet. Dar Kutub Ilmiyah
[6] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq hal 5 cet. Matba`ah Maimaniyah
[7] Imam As sayuthi, Ar radd `ala man ahklada wa jahal annal ijtihad fardh fi kulli `ashr..hal 38. Cet. Maktabah Staqafiyah Ad Diniyah
[8] Imam Nawawy, Adabul fatwa wal mufti, hal 25, Cet. Dar Fikr
[9] Sayyid Alawy bin Ahmad As Saqaf, Sab`atul kutub mufidah hal 46 Cet. Haramain
[10] Imam Nawawy , Ibid Hal 23
[11] Jalal Al Mahally, Syarah `ala jam`ul jawami`, jilid 2 hal 385 Cet. Haramain
[12] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fatawy Kubra, jilid 4 hal 302 cet. Dar fikr
[13] Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy, Tuhfatul Muhtaj, jilid 10 hal 123 cet. Dar Fikr
[14] Syeikh Yususf An Nabhany, Syawahidul Haq, hal 3 cet. Matba`ah Maimaniyah

Sumber: Abu Mudi

Post a Comment

17 Comments

  1. masalah maulid ada perbedaan pandangan para ulama. satu hal yang tak boleh kita menghukkum bahwa punya kita benar dan orang lain salah, perbuatan ini sama-sama tidak terjadi pada masa nabi dan masa empat sahabat. laksanakan apa yang anda anggap benar, tetap terus berusaha mempelajari lebih banyak lagi literatur-literatur yang ada kaitan dengan masalah yang kita laksanakan, sehingga kita lebih tahu, lebih mengerti dan bisa bersikap terhadap orang yang berbeda pandangan dengan apa yang kita yakini. dan semoga perbedaan-perbedaan akan memberikan spirit untuk mengetahui lebih dalam.

    ReplyDelete
  2. Saudara, kami sebenarnya cukup bersikap moderat dan tasamoh,kami tidak kan menyerang oarang-orang yang berbeda pendapat dengan kami, namun mereka yang memulainya,mereka membid`ah amalan mayoritas kaum muslim, mensyirikkannya. dan tidak ada dosa yang paling besar dari pada syirik, tentu saja kami tidak akan menerima tuduhan bid`ah dan syirik ini. kalau seandainya mereka mau inshaf, hanya tidak mau merayakan maulid namun memberikan toleransi kepada mayoritas kaum muslin lain untuk melaksanakannya sesuai dnegan keyakinan mereka, Insya Allah kami dan kaum muslim lain akan berdiri pada posisi masing-masing dan tidak saling serang. Maukan mereka bersikap demikian??

    ReplyDelete
  3. saya nak tanya nabi muhammad mazhab apa ? kerana saya takut tak sama amalan dengan nabi muhammad . pada pendapat saya nabi itu pasti bermazhab al quran saja , jadi yang ikut nabi akan automatik ikut al quran sepertimana nabi. tapi sekarang perbezaan antara mazhab banyak tak tahu mana satu yang sama dengan nabi . dan macamana dari satu mazhab al quran menjadi banyak mazhab ? nak ikut sebarang-sebarang takut tak sama dengan nabi , ke neraka perginya . pasal yang menghukum allah bukan orang yang mengasaskan mazhab .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Imam mujahid beda menggali hukum agama namun semua satu kata yaitu al qur'an dan hadist yang jadi dalil utama.. ingat hadis muad bin jabal menegaskan ada di dunia ini yang tidak ada dalil dalam al qur'an dan hadist. Mereka. Menggali dengan cara ijtihad nah di situlah titik perbedaan pikiran antara imam mujtahid.

      Delete
  4. Memangnya ada perintah dari Rasulullah, sampai ditullisan diatas harus menulis kewajiban bermahzab?? setahu saya pendapat ulama itu baru diperlukan bila tidak ada nash dalam Alqur'an dan hadist. misal hukum tentang shalat wajib 5 waktu berjamaah di mesjid, hadis nabi SAW sudah jelas menyatakan “Barangsiapa yang mendengar azan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali bila ada uzur.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah) apa kita masih harus mengikuti pendapat tgk yang mengatakan kalau hukumnya sunat?? no way!

    ReplyDelete
    Replies
    1. hemm.."bila tidak ada nash dalam Alqur'an dan hadist" ...al-quran dan hadits menurut pemahaman siapa ?? Bagaimana kita akan mengetahui bahwa pemahaman kita terhadap ayat dan hadits sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh Allah dan RasulNya...

      Delete
    2. Apakah hadis Nabi SAW sejelas itu dan sehahih itu masih belum bisa menjadi nash??

      Delete
  5. Anti madzhab, mereka sendiri menuntut untuk bermadzhab yaitu muhammad bin abdul wahab annajd dengan islam yang difahami misionaris yahudi, ngakunya salafy, mereke sendiri sama sekali tidak mengikuti kaum salaf, khalaf pun tidak, mereka hanya mengikuti muhammad bin abdul wahab annajd dengan islam yang difahami misionaris yahudi,
    https://pondokhabib.wordpress.com/2013/06/17/kesesatan-salafi-wahabi-dibalik-slogan-kembali-kepada-al-quran-dan-sunnah/

    ReplyDelete
  6. Anti madzhab, mereka sendiri menuntut untuk bermadzhab yaitu muhammad bin abdul wahab annajd dengan islam yang difahami misionaris yahudi, ngakunya salafy, mereke sendiri sama sekali tidak mengikuti kaum salaf, khalaf pun tidak, mereka hanya mengikuti muhammad bin abdul wahab annajd dengan islam yang difahami misionaris yahudi,
    http://www.sarkub.com/2012/kembali-kepada-al-quran-dan-sunnah/

    ReplyDelete
  7. Coba lah awak baca kitab para ulama,,,, Bagaimana awak nak tahu macam mana cara shalat nabi, karena beliau tak pernak cakap ni rukun ni sunnat,,, saya nak tanya awak yang tak bermazhab paham kah awak apa arti mazhab. ?
    awak baca al qur'an pakai qiraat nya rasul kah? Padahal awak tak pernah berjumpa nabi pasti awak baca qur'an dgqiraat riawayat para imam,,,,,

    ReplyDelete
  8. Assalamuan'laikum wr.wb
    Bagaimana tanggapan dari Gurei/tgk2 LBM Mudi masalah dibawah ini:

    Oleh Dr zakir Naik:
    Pertanyaan 1 {Apa Perbedaan sunni dan Syiah}
    Saudaraku tidak ada muslim sunni dan muslim syiah di dalam Al qur’an, silahkan baca Qur’an. Tidak ada muslim sunni dan syiah di dalam Al Qur’an. Di dalam QS Ali ‘Imran 3: 103 “Berpegan lah pada tali (Agama) Allah dengan Kuat dan jangan berpecah belah”. Kita harus mengikuti Allah dan Rasull_Nya. Mengikuti Qur’an dan Hadist Shahih (Autentik hadist).
    Syiah datang setelah adanya perbedaan Politik. Tidak ada hubungannya dengan islam. Didalam Islam tidak ada sekte. Didalam QS Al An’am 6:159 “Orang-orang yang memecah belah Agama (membuat sekte/aliran) tidak ada urusan dengannya. Urusan mereka nanti natik dengan Allah”. Banyak ayat didalam Al Quran yang menyatakan bahwa membuat sekte (aliran) dalam agama Islam adalah telarang, tidak ada sekte dalam islam. Semua sekte-sekte yang ada saat ini adalah karena adanya perbedaan politik. Yang jelas, didalam Islam tidak ada sekte Sunni dan syiah. Yang hanya adalah Muslim. Muslim adalah orang yang berserah diri (tunduk) kepada Allah.

    {Jadi dalam kasus ini, keyakinan mana yang paling benar}
    Keyakinan yang mengacu pada Al Quran dan Hadist Shahih-lah keyakinan yang benar. Seseorang yang menyakini ajaran Qur’an dan Hadist Shahih-lah yang benar. Saat kamu betanya ‘Bagaimana jika sheikh-ku berkata demikian. Sheikh-ku yang lain berkata demikian. Imam-ku berkata demikian? Jika perkataan Imam sesuai dengan Qur’an, maka kita mengikutinya. Didalam QS An-Nisa 4:59 “Taatilah Allah Taatilah Rasull Taatilah Ulil Amri di antara kamu” Ayatnya tidak berhenti disini saja, Kelanjutannya QS AN-Nisa 4:59 “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya)...”

    Jika terdapat dua Ulama yang berbeda pendapat maka cek-lah mana yang lebih dekat dengan Al Quran dan shahih hadisth. Seseorang yang mengikuti Al quran dan Hadist shahith adalan orang yang berada di jalur yang benar dan Muslim yang benar. Sedangkang yang lain tidak (yang tidak mengikuti Allah dan Rasulnya).

    ReplyDelete
  9. Pertanyaan Ke 2
    Banyak Grub di antara Muslim, tapi mereka mengikuti Al Qur’an dan hadist yang sama . tapi meskipun mereka mengikuti kitab yang sama, Ada banyak grub di Srilangka dan India, jadi aku ingin mendapatkan jawaban yang lebih baik, akun menunggu untuk orang yang tepat dan disaat yang tepat , tolong dijawab?..
    Jawaban ?
    Pertanyaan yang sangat bagus dan pertanyaan yang sangat penting.
    Mereka beriman kepada pada tuhan yang sama, Quran yang sama, hadist yang sama, tapi mengapa ada banyak grub dan sekte dalam Islam, jawabanyan ada dalam QS Ali_Imran ayat 103 yang artinya “Berpegan lah pada tali (Agama) Allah dengan Kuat dan jangan berpecah belah”. Jadi Al Qur’an berfirman untuk berpegang teguh dalam tali Allah, berpegang teguh pada Al Qur’an , Haids Sahih, dan jangan bercerai berai, jadi dalam islam, seharusnya tidak boleh ada perpecahan.

    Didalm Al Qur’an Surah Al-An’am: 159 yang artinya “Orang-orang yang mecah belah Agama (membuat sekte/aliran) tidak ada urusan dengannya. Urusan mereka nanti natik dengan Allah”. Jadi membuat pecah-belah dan membuat Grub sendiri-sendiri dalam Islam hukumnya Haram. Itulah mengapa ada banyak Muslim dengan nama yang berbeda-beda, tapi nama sesungguhnya yang boleh dipanggil hanyalah Muslim. Dan semua Muslim harus mengikuti Al Quran dan Hadist Sahih. Ulama mana jika mengatakan sesuatu yang sesuia dengan Al Qur’an dan Hadis shahi, maka kau ikuti, jika tidak sesuai , buanglah jauh-jauh. Untuk membuat organisasi yang berbeda, seseorang berkerja dalam bidang pendidikan, seseorang berkerja dalam bidang agama, seseorang membantu orang miskin, maka tak apa-apa. Melakukan secara jama’ah , membuat organisasi-organisasi maka tidak apa-apa. Tapi sebagai sebuah agama, kita tidak boleh bercerai-berai, tidak boleh ada sekte/golongan.
    Qur’an berfirman melarang kitan untuk tidak berpecah-belah. Dan Rasulullah bersabda dalam hadist tarmizi Nomor 171, “bahwa akan ada 73 golongan dalam Islam” Allah berfirman agar janagn membuat Golongan, tapi Rasulullah bersabda bahwa akan ada. Sayangnya, kita sebagai Muslim terpecah-pecah dan Rasulullah telah bernebuat tentang hal ini, dan Rasulullah bersabda ada 1 Golongan yang akan masuk Surga, para sahabat bertanya “siapa yang akan masuk Surga?” Rasulullah bersabda “Mereka yang mengikuti Sunnahku dan Al Qur’an.”

    Sayangnya sekali, pada saat ini ada namayak Grub Muslim: Syia’ah, Sunni, Hanafi, syafi’in, hambali dll. Termasuk Grub makakah Rasulullah? Tidak Ada Syi’ah atau Sunni dalam Al Qur’an. Termasuk Grub manakah Rasulullah? Rasulullah S.A.W Seorang Muslim. QS Ali Imran:64 “Saksikanlah bahwa Kami adalah orang-orang muslim.” Muslim adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.

    Setiap Ulama berkata, keempat Imam besar Iman Abu Hanifa, Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam Maliki, Imam Syafi’in. Keempat Ulama besar ini berkata: “Jika Kamu menemukan fatwaku yang bertang dengan Allah dan Rasul_Nya, maka buanglah fatwaku itu.” Dengan begitu, apapun yang aku lakukan adalah nol. Maksudnya adalah, yang harus kalian ikuti adalah Qur’an dan Haidst Sahih. Dengan begitu semua jawabanku berdasarkan Qur’an dan Hadist sahih, yaitu surat sekian dan ayat sekian.

    Bersambung

    ReplyDelete
  10. Sambungan

    Semuan Ulama besar itu, kita mencintai mereka semua, kita mengormati mereka semua, mereka tidak pernah membuat golongan atau grub sendiri-sendiri. Mereka berusaha agar meraka bisa memahami Islam dengan baik. Tapi sayangnya para pengikut mereka mulai membuat golongan sendiri-sendiri. Apa yang dikatakan oleh Ulama manapun, jika sesuai dengan Qur’an dan Hadist Sahih, ikutilah, sebaliknya, apabila tidak, tolaklah jauh-jauh. Qs An Nisa : 59 “Taatilah Allah Taatilah RasullNya) dan Taatilah Ulil Amri di antara kamu” Ulil Amri Artinya Orang-orang yang berpengetahuan Agama, para Ulama. Taatila Allah dan taatilah RasulNya), dan Orang-orang yang berpengetahuan Agama. Dan ayat selanjutnya menyebutkan: “ Kemudian Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya)...” Jika ada Ulama yang berlainan pendapat maka kembalilah Kepada Al Qur’an dan Hadist sahih. Periksa apa yang difirmankan oleh Qur’an dan hadist sahih.

    Lalu apabila ada yang bertanya lagi Golongan manakah aku? Aku Adalah Muslim, aku dari awal sudah muslim, dan akhirnya tetaplah Muslim. Aku mengikuti Al Qur’an dan Hadist Sahih. Siapapun yang katanya sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist Sahih, maka ikutilah. Jika menyimpang dengan karena budaya, Negrinya, indonesia, dll punya budaya yang berbeda-beda, jangan ikuti budaya, ikutilah Al Qur’an (Firman Allah) dan hadist sahih (Sabda Nabi Muhammad SAW). Jiks tidak ada dalam Al Qur’an dan haidist sahih, maka itu bukan bagian dari din (agama) ini. Jika itu terbukti dari Al Quran dan hadis sahih, maka itu bagian dari agama kita. Jadi Islam hanyalah satu, dan seharusnya kita tidak boleh berpecah-belah. Semoga ini membuat kita tersadar semua. Amin Ya rabbal An’lamin

    Link:
    https://www.youtube.com/watch?v=uGp1x-KxphE
    https://www.youtube.com/watch?v=mHpIu8f8Bbc

    Atas Tanggapan Saudara saya ucapkan Terimakasih. Wassalam

    ReplyDelete
  11. Zaman sudah berubah, orang-orang awam ilmu agama dijejali paham agar anti terhadap mazhab hanya dengan alasan mazhab tidak mengikuti sunnah hadist sahih. Padahal bila sebelum memutuskan untuk tidak bermazhab mau belajar terlebih dahulu apa itu mazhab dari orang yg bermazhab dan paham betul apa itu mazhab, niscaya pemikiran demikian tidak pernah terjadi.
    Hari ini kita dijejali dengan metode persuasif "ikut yg sahih2 saja yg seperti dikatakan dari ulama hadist X yg lainnya bid'ah lho". Tidakkah kita belajar kembali bahwa suatu hadist dikatakan sahih atau tidak hanyalah ijtihad. Ulama2 besar saja yg berkapasitas memeriksa derajat suatu hadist masih memilih bermazhab, sedangkan kita yg cuma modal baca/dengar ini hadist katanya sahih dari ulama X langsung berani berkata bahwa mazhab tidak perlu. Benar2 luar biasa kebangetan pinternya kita ini bila begitu pemikirannya...

    ReplyDelete
  12. saya mau nanya? merayakan hari lahir nabi itu ada di mahzab mana ya? saya cari di Al Umm syafiie belum ketemu juga

    ReplyDelete
  13. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  14. Assalamu'alaikum bandum Guree MUDI yg lon muliakan.

    Sebagaimana kita ketahui zaman ini tidak ada org yg mampu membangun suatu mazhab secara mandiri krn ketidakmampuan mencukupi syarat2 utk menjadi mujtahid muthlak.

    Bolehkah membangun mazhab kolektif sebagai alternatif, misal imam fulan melengkapi syarat a sampe h, imam fulen memenuhi syarat i sampai p dan imam fulin dari syarat q sampai z sehingga terpenuhi semua syaratnya oleh 3 imam utk satu mazhab?

    ReplyDelete