Taqlid Dalam Fikih Bagi Orang Yang Tidak Mampu Berijtihad

Taqlid Dalam Fikih Bagi Orang Yang Tidak Mampu Berijtihad


 Ibnu Abi Ya’la dalam kitabnya Tabaqah al-Hanabilah menyebutkan:

"Siapa saja yang mengklaim tidak boleh menggunakan taqlid serta tidak bertaqlid kepada siapa pun dalam agamanya, Maka ungkapan itu tergolong ucapan orang fasiq di hadapan Allah dan rasul-Nya.

Apa sebenarnya definisi taqlid itu?

Menurut keterangan yang diungkapkan oleh Kamaluddin Muhammad bin Muhammad dalam kitabnya Taishir al-Wushul, definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui kesahihan dalil terhadap pendapat tersebut. Lantas bagaimana dengan mayoritas orang awam yang mentaqlid dalam segala hal?


Dalam hal ini para ulama' mengatakan bahwa, setiap orang yang tidak mampu berijtihad wajib mengikuti pendapat ulama' ahli ijtihad. Hal ini wajib dilakukan sekalipun mereka mampu mempelajari sejumlah ilmu yang menjadi instrumen ijtihad. Hal ini sesuai firman Allah:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. al-Nahl: 43)


Maka wajiblah bertanya bagi orang yang tidak mengetahui, dan hal demikian disebut taqlid kepada orang alim. Ayat di atas adalah umum bagi setiap orang, sehingga perintahnya pun umum pula, yakni setiap hal yang belum diketahui. Sesungguhnya orang awam pada generasi sahabat dan tabi'in selalu meminta fatwa kepada para ulama' pada masanya tentang permasalahan agama. Dan para ulama' akan segera merespon pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa harus menjelaskan secara detail dalil-dalilnya.


Kondisi yang demikian tidak pernah dilarang oleh para sahabat, sehingga terjadilah ijma' bahwa orang awam harus mengikuti para ulama'. Karena pemahaman orang awam atas al-Kitab dan al-Sunah tidak bisa dijadikan pijakan jika tidak mencocokkan pemahaman para ulama'. Karena banyak juga para ahli bid'ah yang sesat pemahamannya terhadap al-Kitab dan al-Sunah, tetapi mereka tidak mendapat kebenaran sama sekali. Orang awam tidak harus selalu mengikuti madzhab tertentu pada tiap kondisi yang dia jalani. Seperti orang yang mengikuti madzhab Syafi'i, tidak harus baginya mengikuti secara terus menerus, tetapi dibolehkan berpindah ke madzhab yang lain dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Orang awam yang tidak memiliki kemampuan nalar, tidak pernah membaca kitab tentang cabang-cabang masalah (fiqhiyah), maka pengakuan bermadzhabnya tidak bisa dijadikan dalil (untuk ia menghukumi suatu masalah). Ada yang mengatakan bahwa: orang awam yang mengikuti suatu madzhab maka wajib ia mengikutinya secara terus menerus, karena itulah cara yang benar.

Sumber:

 Tabaqah al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, jilid. 1, hal. 31.

Taishir al-Ushul Karya Muhammad bin Muhammad bin Abd al-Rahman, jilid. 6, hal. 151 

Risalah ahl al-sunnah karya Syaikh Muhammad Hasyim al-Asy’ri, hal. 11.

Post a Comment

0 Comments