Mengapa Pelaku Maksiat Tetap Wajib Shalat?


Shalat merupakan ibadah pokok yang diwajibkan lima kali dalam sehari semalam bagi setiap muslim yang telah mencapai usia taklif (akil baligh). Ibadah ini memiliki kedudukan istimewa, sebab bagi siapa yang melaksanakannya akan diganjar pahala, sementara yang meninggalkannya akan menanggung dosa. Perintah shalat sendiri diterima langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ pada peristiwa Isra’ Mi‘raj tanpa perantara, sebagai bentuk kemuliaan sekaligus amanah agung bagi umat beliau.


Dalam konsep ushul fikih, suatu perintah pada hakikatnya dimaksudkan agar orang yang diperintah benar-benar melaksanakan apa yang diperintahkan. Dengan demikian, ketika Allah memerintahkan shalat, maka maksud dari perintah itu adalah agar shalat dilaksanakan. Jika perintah tersebut diabaikan dan tidak dikerjakan, maka tujuan perintah tidak tercapai sehingga perintah itu seakan-akan tidak memiliki faedah. Dari sinilah kemudian muncul sebuah pertanyaan penting: mengapa pelaku maksiat, khususnya orang yang sama sekali tidak memiliki niat untuk menunaikan shalat, tetap diwajibkan untuk melaksanakannya, padahal Allah Ta‘ala mengetahui bahwa ia tidak akan pernah melakukannya?

 

Terkait persoalan ini, Syaikh Ahmad bin Abdul Lathif al-Jawi dalam karyanya Hasyiah al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat memberikan komentar sebagai berikut:

فإن قيل : لم طالب العاصي بالصلاة مع أنه عالم بأنه لا يطيعه. قلنا : أحسن ما قيل في جوابه أن الخطاب له ليس طلبا حقيقة بل علامة على شقاوته وتعذيبه أو لتنقطع حجته عند الله والله الحجة البالغة لأن من عادته أنه لا يعذب حتى يرسل إليهم رسولاً كما قال تعالى﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا أو لإظهار شقاوة من شقي بالمخالفة وسعادة من سعد بالمتابعة

“Jika ada yang bertanya: Mengapa orang yang bermaksiat tetap dituntut untuk melaksanakan shalat, padahal diketahui bahwa ia tidak akan menaatinya? Maka dijawab: Penjelasan terbaik tentang hal ini adalah bahwa seruan (perintah) kepadanya bukanlah perintah dalam arti hakiki, melainkan tanda kesengsaraannya dan bentuk siksaan baginya. Atau agar terputus alasannya di hadapan Allah, karena Allah memiliki hujjah yang sempurna; sebab kebiasaan-Nya, Dia tidak akan mengazab suatu kaum sampai diutus kepada mereka seorang rasul, sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) hingga Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15). Atau juga agar tampak jelas kesengsaraan orang yang celaka karena menolak perintah, dan kebahagiaan orang yang beruntung karena menaati perintah”.

 

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan pelaku maksiat tetap diperintahkan untuk melaksanakan shalat dapat dilihat dari beberapa sisi berikut:

1.       Perintah sebagai tanda kesengsaraan (syaqawah)

Bagi orang yang enggan menunaikan shalat, kewajiban tersebut menjadi tanda kesengsaraan sekaligus bentuk siksa dari Allah. Ia diperintahkan untuk melaksanakan shalat, namun dengan sengaja menolaknya, sehingga hal itu menjadi bukti nyata dari kerugian atau kesengsaraan dirinya sendiri di hari akhirat kelak.

 

2.       Menegakkan hujjah Allah

Kewajiban shalat juga berfungsi untuk memutus alasan manusia di hadapan Allah kelak. Tidak seorang pun bisa berdalih bahwa ia tidak pernah diperintahkan untuk shalat, karena perintah itu telah sampai kepadanya. Sesuai dengan sunnatullah, Allah tidak akan mengazab suatu kaum sebelum diutus kepada mereka seorang rasul. Dengan demikian, kewajiban shalat merupakan bentuk ditegakkannya hujjah sehingga azab Allah menjadi adil dan tidak terbantahkan.

 

3.       Membedakan antara yang taat dan yang ingkar

Perintah shalat menjadi sarana ujian yang menyingkap hakikat hamba, yakni siapa yang celaka karena menolak perintah Allah dan siapa yang berbahagia karena menaatinya. Dengan begitu, perintah shalat berfungsi sebagai pembeda antara jalan ketaatan dan jalan kesesatan.

 

Ref: Syaikh Ahmad bin Abdul Lathif al-Jawi, Hasyiah al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, Cet. Ke-2 (Beirut: DKI, 2013), h. 117. 

Posting Komentar

0 Komentar