Sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukallaf untuk mengetahui dan meyakini bahwasanya pada hak Allah SWT ada sifat jaiz, yaitu sifat yang boleh saja bagi Allah menciptakan suatu kebaikan dan keburukan, seperti menjadikan si zaid dalam kondisi beriman dan menjadikan si umar dalam kondisi kekufuran. Hal ini boleh-boleh saja bagi hak Allah SWT. Hal ini sesuai dengan bait matan al-Jauharah:
وجائز عليه خلق الشر والخير كالاسلام وجهل الكفر
Kewajiban yang wajib diyakini selanjutnya adalah setiap perkara baik itu kebaikan maupun keburukan semuanya terjadi atas qadha’ dan qadr Allah ta'ala. Adapun makna dari masing-masing qadha’ dan qadr ada terjadi perbedaan pendapat ulama. Ada yang berpendapat qadha’ adalah kehendak Allah ta'ala yang ta’luqnya pada azali, sedangkan qadr adalah menjadikan Allah ta’ala segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, contoh dari qadha’ seperti seorang manusia yang akan diciptakan oleh Allah menjadi seorang ‘alim ataupun menjadi seorang pemimpin, kemudian Allah ta’ala menjadikan ia berilmu dan memiliki kekuasaan disaat ia sudah lahir kedunia ini, kejadian ini dinamakan dengan qadr. Pendapat lain mengatakan bahwa qadha’ adalah ilmunya Allah pada azali dan ta’luqnya dengan segala ilmu. Sedangkan qadr adalah Allah ta’ala menjadikan sesuatu yang maujud sesuai dengan ilmu-Nya, contohnya ilmu Allah ta’ala yang berkaitan dengan azali bahwa ada seorang manusia yang akan dijadikan sebagai seorang yang alim sesudah ia lahirnya kedunia, maka menjadikan Allah ta’ala akan ilmu pada manusia tersebut, ini dinamaka dengan qadr. Maka berdasarkan dari dua pendapat yang telah disebutkan, bahwasanya sifat qadha’ adalah qadim karena menjadi salah satu sifatnya Allah ta’ala, yaitu iradah atau ilmu. Sedangkan qadr adalah hadis karena sifat qadr ini adalah menjadikan sesuatu, sifat yang menjadikan sesuatu ini adalah ta’luq-ta’luq qudrah dan ta’luq qudrah ini adalah hadis.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa segala mumkinat (sesuatu antara ada dan tiada sama) boleh pada haknya Allah ta’ala, yaitu boleh saja Allah menciptakan sesuatu yang mumkinat dan meniadakannya. Jikalau seandainya wajib bagi Allah pada sesuatu yang mumkinat untuk dikerjakan, maka akan berobah sesuatu yang bersifat jaiz kepada wajib dan jika ada satu perbuatan yang mustahil pada hak Allah untuk dikerjakan pada sesuatu yang mumkinat, maka akan berobah sesuatu yang jaiz kepada mustahil. Terjadi perubahan yang seperti ini adalah batil, oleh karena demikian wajib kita yakini bahwasanya tidak wajib bagi Allah sesuatupun. Berbeda halnya dengan pemahaman kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Allah ta’ala wajib melakukan perbuatan kebaikan bagi hambanya, seperti memberikan rezeki, kesehatan dan memberikan ilmu, padahal pemahaman yang benar adalah segala bentuk pemberian yang baik yang datang dari Allah ta’ala, seperti memberikan pahala bagi yang berbuat ta’at yang merupakan semata-mata karunianya Allah dan memberikan hukuman atau siksaan kepada yang melakukan maksiat, karena pada dasarnya ta’at dan maksiat tidak memberikan manfaat dan kerugian bagi Allah ta’ala, hanyasanya ta’at dan maksiat menjadi sebuah tanda bahwa Allah ta’ala memberikan pahala dan siksaan, maka siapa saja yang Allah kehendaki kepadanya kebahagian maka Allah berikan taufiq baginya, sebaliknya bila Allah kehendak untuk menghinakan dan menjauhkannya maka Allah ta’ala menenggelapkannya dalam maksiat.
REF: KIFAYATUL AWAM. HAL: 67-70.



0 Komentar