Sifat Mukhālafah lil Ḥawādits sebagai Penegasan Keagungan Dzat Allah SWT



Salah satu sifat yang wajib bagi Allah SWT adalah mukhālafah lil ḥawādits (berbeda dari segala makhluk-Nya). Perbedaan ini mencakup seluruh aspek, baik dari segi wujud dan zat, maupun sifat dan perbuatan-Nya. Keyakinan ini menjadi benteng akidah umat Islam agar tidak terjerumus dalam pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybīh). Para ulama menegaskan bahwa Allah SWT Maha Suci dari segala bentuk dan sifat yang dimiliki makhluk. Ia tidak serupa dengan manusia, jin, malaikat, ataupun makhluk lain ciptaan-Nya. Karena itu, tidak layak bagi Allah disifati dengan sifat-sifat makhluk, seperti berjalan, duduk, atau memiliki anggota tubuh. Allah SWT Mahasuci dari segala bentuk jasmani, seperti mulut, mata, telinga, dan sejenisnya.

Apabila dalam Al-Qur’an atau hadis terdapat lafaz yang secara lahiriah seolah-olah menggambarkan bahwa Allah Ta’ala memiliki keserupaan dengan makhluk-Nya, seperti disebutkan Allah memiliki yad (tangan) dan sebagainya, maka para ulama sepakat perlu dilakukan takwil, yaitu menafsirkan ayat tersebut dengan mengalihkan maknanya dari arti lahiriah. Tujuannya adalah agar pemahaman terhadap sifat-sifat Allah tetap sesuai dengan keagungan-Nya, tanpa menyamakan-Nya dengan makhluk. Namun, dalam praktik takwil ini, para ulama terbagi menjadi dua pandangan, yakni ulama salaf dan khalaf. Ulama salaf melakukan takwil ijmali, yaitu bentuk penyerahan makna tanpa menentukan arti yang spesifik, melainkan menyerahkan pengetahuannya hanya kepada Allah Ta’ala. Misalnya, dalam firman Allah: (يد الله فوق ايديهم), mereka memahami bahwa makna yad di sini bukanlah tangan dalam pengertian fisik sebagaimana makhluk, dan hanya Allah yang mengetahui maknanya yang hakiki. Sementara itu, ulama khalaf melakukan takwil tafshili, yaitu menafsirkan lafaz tersebut dengan penjelasan makna yang lebih rinci. Mereka menjelaskan bahwa kata yad dalam ayat tersebut bukan bermakna anggota tubuh, melainkan melambangkan kekuasaan Allah yang jauh lebih tinggi dan agung dibandingkan kekuasaan makhluk.

Dalil yang menegaskan bahwa Allah SWT berbeda dari seluruh makhluk-Nya terbagi menjadi dua jenis, yaitu dalil naqli dan dalil ‘aqli. Dalil naqli bersumber dari Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah Ta‘ala dalam Surah Asy-Syūrā (42):11:

فاطِرُ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْواجًا وَمِنَ الْأَنْعامِ أَزْواجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat”. [QS. Asy-Syūrā (42):11].


Ayat ini dengan tegas menolak segala bentuk penyerupaan antara Allah dan makhluk. Allah Maha Sempurna, tidak terikat oleh ruang, bentuk, atau sifat makhluk ciptaan-Nya.

Sedangkan dalil ‘aqli (rasional) yang menunjukkan wajibnya sifat mukhālafah lil ḥawādits bagi Allah Ta‘ala adalah bahwa mustahil bagi Allah menyerupai makhluk dalam sifat apa pun. Sebab, jika Allah memiliki kesamaan dengan makhluk, maka Ia juga makhluk yang baharu. Dan apabila Allah Ta‘ala bersifat baharu, tentu Dia memerlukan pencipta, dan penciptanya pun akan membutuhkan pencipta lain, dan seterusnya tanpa batas. Maka hal itu meniscayakan terjadinya dawr (sirkularitas) atau tasalsul (rantai tanpa akhir), dan keduanya adalah mustahil terjadi. Oleh karena itu, Allah Ta‘ala pasti berbeda dari segala makhluk, karena Dia Maha Qadim (tidak bermula), Maha Independen, dan tidak membutuhkan siapa pun dalam keberadaan-Nya.


Refrensi: 

Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayah al-’Awam fi ‘Ilm al-Kalam, Cet. Ke-1 (Beirut: DKI, 2007), h. 86-90.


Posting Komentar

0 Komentar