Takwil dan Tafwidh menurut Ulama Salaf dan Khalaf

Takwil dan tafwidhMenurut kaum wahabi, para ulama Asya’irah merupakan golongan sesat. menurut mereka salah satu sebab kesesatan Ulama Asya’irah adalah karena para ulama Asya’irah mentakwilkan nash-nash mutasyabihat. Bahkan mereka mengatakan bahwa para ulama Asya’irah telah melakukan ta’thil (meniadakan sifat pada Allah).

Maka kali ini kami ingin membahas seputar masalah takwil dan tafwidh. Salahkan para ulama Asya’irah melakukan takwil terhadap nash-nash mutasyabihat? dan apakah tidak ada di antara ulama salaf yang ikut mentakwil nash-nash mutasyabihat. Pembahasan tentang takwil dan tafwidh ini di perlukan sebelum kami membahas masalah kesalahan pemahaman tauhid Asma’ wa shifat yang merupakan salah satu bagian tri tauhid yang di dakwahkan kaum wahabi yang akan kami tampilkan nantinya sebagai sambungan dari tulisan sebelumnya, Kesesatan Pembagian Tauhid Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat. Sedikit tentang pandangan ulama salaf dan khalaf terhadap nash mutasyabihat pernah kami singguh dalam tulisan kami sebelumnya, Kriteria Ahlus sunnah wal Jamaah pada bagian tentang Kitab.

Sebenarnya masalah nash mutasyabihat merupakan masalah yang tidak sepatutnya di ajarkan kepada masyarakat awam, sebagaimana di terangkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari ketika menafsirkan hadits Rasulullah SAW:

حدثوا الناس بما يعرفون أتحبون أن يكذب الله ورسوله

Berbicaralah dengan manusia dengan perkara yang bisa mereka pahami, apakah kami menyukai mendustakan Allah dan RasulNya. (H.R. Imam Bukhari)

Imam Ibnu Hajar al-asqalani mengatakan:

وفيه دليل على أن المتشابه لا ينبغي أن يذكر عند العامة... وضابط ذلك أن يكون ظاهر الحديث يقوي البدعة وظاهره في الأصل غير مراد فالامساك عنه عند من يخشى عليه الأخذ بظاهره مطلوب

Hadits ini menjadi dalil bahwa (nash) mutasyabihat tidak sepatutnya di sebut di depan orang awam. Patokannya adalah dhahir hadits tersebut malah menguatkan bid’ah dan dhahirnya yang asal tidak di maksudkan maka menahan diri (dari membicarakannya)- di kalangan orang-orang yang di takutkan akan memahaminya secara dhahir – merupakan satu hal yang di anjurkan (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Jild 1 Hal 273, Dar hadits th 2004)

Namun, mengingat saat ini maraknya tulisan-tulisan di dunia maya yang menyudutkan dan bahkan menyatakan sesat kepada para ulama Asya’irah yang melakukan takwil terhadap nash mutasyabihat tersebut sehingga banyak masyarakat awam yang terpengaruh dengan tulisan-tulisan tersebut, maka kami mencoba ikut mengambil bagian dalam membela para ulama Asya’irah dari tuduhan kaum wahabi sesat dan mencoba menerangkan bagaimana kedudukan nash mutasyabihat dalam pandangan ulama salaf dan khalaf.

Pandangan para ulama salaf dan khalaf tentang nash mutasyabihat.


Para Ulama Ahlus sunnah dalam menanggapi nash mutasyabihat terdapat dua pendapat :


  1. Takwil Tafshily ; takwil ini di lakukan oleh mayoritas ulama khalaf dan sebagian ulama salaf (shahabat Rasulullah dan tabi’in).
  2. Tafwidh ; Tafwid ini di tempuh oleh mayoritas ulama salaf dan sebagian ulama khalaf. Tafwidh yang di tempuh oleh para ulama salaf adalah tafwidh ba’d takwil ijmal. Artinya para ulama salaf tetap memalingkan nash mutasyabihat dari makna dhahirnya kemudian menyerahkan makna yang di maksudkan kepada Allah ta’ala.


Adapun golongan yang sama sekali tidak mentakwilkannya tetapi menfsirkannya dengan makna dhahirnya maka mereka adalah golongan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk) sebagaimana di jelaskan oleh Imam Zarkasyi dalam al-Burhan :

وقد اختلف الناس فى الوارد منها – يعنى المتشابهات – فى الآيات والأحاديث على ثلاث فرق :
أحدها : أنه لامدخل للتأويل فيها, بل تجرى على ظاهرها ولانؤول شيئا منها وهم المشبهة
الثانية : أن لها تأويلا ولكنا نمسك عنه مع تنزيه اعتقادنا عن الشبه والتعطيل ونقول لايعلمه إلا الله وهو قول السلف
والثالثة : أنها مؤولة وأولوها على ما يليق به
والأول باطل يعني مذهب المشبهة والأخران منقولان عن الصحبة

Artinya : Sungguh berbedalah pendapat para ulama tentang ayat dan hadits mutasyabihat mejadi tiga pendapat :
1. Tidak ada takwil sama sekali pada ayat tersebut, tetapi di berlakukan sebagaimana makna dhahirnya dan tidak di takwilkan sama sekali, mereka adalah kaum MUSYABIHAH (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)
2. Ada takwil tetapi kami menahan diri darinya (tidak menentukan makna yang di maksudkan) serta meyakini bersihnya Allah SWT dari serupa dan ta’thil (meniadakan sifat bagi Allah) dan kami berkata hanya Allah SWT yang mengetahui maknanya, ini pendapat Salaf
3. Ayat dan hadits tersebut di takwil dan para ulama mentakwilnya (diberi makna) berdasarkan makna layak dengan Allah SWT
Yang pertama BATHIL yaitu mazhab MUSYABIHAH sedangkan dua pendapat yang akhir juga di riwayatkan dari sahabat.(Imam Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid 4 Hal 78, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H)

Makna dan Pembagian Takwil.


Takwil merupakan derivasi dari kata أوّل yang secara etimologi artinya رجع (kembali).
secara terminologi Takwil adalah :

صرف اللفظ عن الظاهر بقرينة تقتضيه ذلك

memalingkan makna satu lafaz dari makna dhahirnya dengan di sertai indikasi yang menghendaki demikian.

Lafaz dipalingkan dari maknanya yang dhahir maka lafaz tersebut dinamakan lafaz muawwal. Makna hakikat merupakan makna yang dhahir dari satu lafadh, sedangkan makna majaz merupakan makna majaz merupakan makna muawwal. Satu lafadh baru boleh di beri makna majaz apabila ada satu indikasi yang yang menyebabkan tidak mungkin di terapkan makna hakikat, misalnya dalam kalam tersebut makna hakikat merupakan makna yang mustahil di terapkan dalam kalam tersebut.

Takwil yang berkenaan dengan nash mutasyabihat ini ada 2 :

1. Takwil ijmali

Takwil ijmali adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak memberi makna hakikat ) dan tidak juga memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud ) tetapi meyerahkan makna yang di maksudkan kepada Allah SWT (tafwidh ). Implisitnya adalah tafwidh dilakukan setelah takwil ijmali.

2. Takwil Tafsili

Takwil tafsili adalah memalingkan lafaz dari makna dhahir/hakikat (tidak memberi makna hakikat) dan kemudian memberi/menentukan makna murad (makna yang dimaksud ).

Takwil ijmali adalah metode Takwil sebagian Salaf dan takwil Tafsili adalah metode takwil mayoritas Ulama khalaf dan sebagian ulama Salaf (seperti Ibnu Abbas, Sayyidina Mu’awiyah, Sayyidina ‘Ali dll.)

Ketika sebagian Salaf menerapkan metode takwil ijmali pada nash mutasyabihat. nash tersebut di palingkan dari makna dhahirnya karena makna dhahir tersebut merupakan satu hal yang mustahil bagi Allah, seperti kata أيد , di palingkan dari makna dhahirnya yaitu bermakna tangan tetapi tidak di beri makna yang di maksudkan dan hanya menyerahkan kepada Allah bagaimana maksud dengan makna yad tersebut dengan tetap meyakini bahwa di sisi Allah ada satu makna yang shahih dan layak dengan kebesaranNya sedangkan makna dhahir (tangan/jisim) dari yad tersebut merupakan makna yang mustahil bagi Allah . Hal yang seperti demikian dikenal dengan tafwidh ba’da ta’wil ijmaly.

Ketika seluruh Ulama khalaf dan sebagian Salaf menerapkan metode takwil tafsili pada nash mutasyabihat seperti ayat diatas maka hasilnya adalah kata أيد bukan bermakna tangan tapi maknanya Quwwah ( kekuasaan ).

Ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafadh mutasyabihat tersebut dari makna dhahirnya, ini merupakan keyakinan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk (tanzih). Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah di berikan makna maksudnya ataupun tidak di beri makna tetapi di serahkan maksudnya kepada Allah ta`ala sendiri. Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan salah satu dari beberapa makna yang mungkin di terapkan pada nash tersebut. Sedangkan para ulama khalaf, di karenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersbeut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan qaedah bahasa Arab sendiri. Sikap yang di lakukan oleh para ulama khalaf ini bukanlah satu perkara bid’ah, karena kenyatannya takwil tafshily juga pernah di lakukan oleh sebagian ulama salaf seperti Saidina Ali, Saidina Mu’awwiyah, Ibnu Abbas dll sebagaimana di sebutkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsir beliau ketika menafsirkan ayat 47 surat az-Zariyat :

يقول تعالى ذكره: والسماء رفعناها سقفا بقوة. وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل. ذكر من قال ذلك : حدثني عليّ، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن عباس، قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) يقول: بقوة.
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى; وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء جميعا، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، قوله (بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) : أي بقوّة.
حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن منصور أنه قال في هذه الآية (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.
حدثنا ابن حُمَيد، قال: ثنا مهران، عن سفيان (وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ) قال: بقوة.


Artinya: Berkatalah Allah ta`ala yang maha tinggilah perkataanNya; demi langit yang kami tinggikan atapnya dengan kekuatan (kami). penafsiran seumpama ini di sebutkan oleh ahli takwil. Golongan yang berpendapat demikian meriwayatkan; memberi hadits padaku oleh Ali, ...memberi hadits oleh Mu`awwiyah dari Saidina Ali dari Saidina Ibnu Abbas, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ, beliau berkata; maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits akan kami oleh Muhammad bin Umar, ... dari Mujahid, firman Allah bi aydi, beliau mengatakan maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan).
memberi hadits oleh basyar, ...dari Qatadah, firman Allah وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ maksudnya bi quwwah (dengan kekuatan). Memberi hadits akan kami oleh Ibnu Mutsanna ...dari Manshur ... (Tafsir Thabari, Jilid 22 Hal 438, Muassis ar-Risalah th 2000)

Dari nash Imam ath-Thabari tersebut jelas bahwa Saidina Ibnu Abbas juga melakukan takwil tafshily.

Imam Nawawi mengatakan dalam kitab Majmuk Syarh Muhazzab :

اختلفوا فى آيات الصفات وأخبارها هل يخاض فيها بالتأويل أم لا ؟ فقال قائلون تتأول على ما يليق بها, وهذا أشهر المذهبين للمتكلمين وقال آخرون : لا تتأول بل يمسك عن الكلام فى معناها ويوكل علمها الى الله تعالى ويعتقد مع ذلك تنزيه الله تعالى وانتفاء صفات الحوادث عنه فيقال مثلا نؤمن بأن الرحمن على العرش استوى, ولا نعلم حقيقة معنى ذلك والمراد به مع أنا نعتقد أن الله تعالى ليس كمثله شئ, وأنه منزه عن الحلول وسامت الحدوث, وهذه الطريقة السلف أو جماهريهم وهي أسلم

Artinya : Para Ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat dan hadits sifat (sifat Allah) apakah ditakwil ataupun tidak ? Maka berkata sebagian ulama nash tersebut ditakwil berdasarkan makna yang layak dengan Allah SWT. Ini merupakan pendapat yang paling masyhur diantara mazhab-mazhab mutakallimin, dan sebagian ulama lain berkata jangan ditakwil tetapi tahanlah dari pada membicarakan maknanya dan diserahkan maknanya kepada Allah dan mengiktiqad bersihnya Allah SWT dari sifat-sifat baharu, misalnya dikatakan kami beriman sesungguhnya Ar-rahman ‘ala arsy istawa dan kami tidak tahu hakikat makna demikian dan maksud demikian beserta kami mengi’tiqad sesungguhnya Allah SWT tidak serupa dengan sesuatu apapun dan sesungguhnya Allah SWT bersih dari tempat dan tanda hudus, ini thariqat Salaf atau mayoritas ulama Salaf dan jalan ini lebih aslam (selamat). (Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Jld 1 hal 439 Dar Kutub Ilmiyah 2007)

Dalam Kitab Syarh Muslim beliau menyatakan :

اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم والقول الثاني وهو مذهب معظم المتكلمين أنها تتأول على مايليق بها على حسب مواقعها وإنما يسوغ تأويلها لمن كان من أهله بأن يكون عارفا بلسان العرب وقواعد الأصول والفروع ذا رياضة في العلم


Atinya: Ketahuilah bahwa bagi para ahli ilmu tentang hadits-hadits dan ayat shifat (shifat Allah) ada dua pendapat; pertama mazhab mayoritas ulama salaf atau seluruh ulama salaf yaitu tidak membahas tentang maknanya tetapi mereka mengatakan wajib atas kita mengimaninya dan kita yakini ada satu makna yang layak dengan kebesaran dan keagungan Allah ta’ala beserta keyakinan kita yang bulat bahwa Allah ta’ala tidak serupa dengan apapun dan Allah ta’ala bersih dari berjisim dan berpindah dan menenpati arah dan sifat makhluk lainnya. ini adalah pendapat satu jamaah dari ulama mutakallimin dan juga di pilih oleh satu golongan dari para muhaqqiq mereka. ini adalah pendapat yang lebih semalat. Pendapat yang kedua yaitu pendapat mayoritas ulama mutakallimin nash tersebut di takwil dengan makna yang layak menurut posisinya dan takwil ini hanya di bolehkan bagi orang yang telah ahli yaitu ia telah menguasai lisan arab, qaedah ushul dan furu’ serta mahir dalam ilmu. (Imam Nawawi, Syarh Muslim Jilid 3 Hal 319, Dar Turast Arabi th 1392 H)

Imam Al-Alamah Badruddin bin Jamaah dalam kitab beliau Idhah Dalil mengatakan

واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لايليق من ذلك بجلال الرب تعلى غير مراد, واختلفوا فى تعيين ما يليق بجلاله من المعانى المحتملة, فسكت السلف عنه وأوله المتأولون

Artinya : Ulama Salaf dan Ahli takwil sepakat bahwa sesungguhnya Nash-Nash yang tidak layak dengan Allah SWT itu bukan yang dimaksudkan. Dan mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna yang layak dengan Allah SWT, maka para Salaf dia (tidak menentukan makna yang di maksudkan), sedangkan ahli takwil menentukan maknanya.(Imam Ibnu Jamaah, Idhah ad-Dalil fi Qath’ Hujaj ahl Ta’thil, hal 105, Dar Salam th 1990)

Imam ‘Adi bin Musafir (w. 557 H) mengatakan

وتقرير مذهب السلف كما جاء من غير تمثيل ولا تكييف ولا تشبيه ولا حمل على الظاهر

Artinya : Uraian mazhab Salaf adalah sebagaimana yang datang dengan tidak tamsil (menyerupakan), tidak takyif (tidak menentukan kaifiyat), tidak tasybih (menyerupakan), dan tidak memberi makna dhahir. (I'tiqad Ahlus sunnah wal Jamaah hal 66)

Syaikh salamah Al-qadha’i Al-‘azami mengatakan

تنبيه مهم : اذا سمعت فى عبارات بعض السلف " انا نؤمن بأن له تعالى وجها لا كالوجوه ويدا لا كالأيدى" فلا تظن أنهم أرادوا أن ذاته العلية منقسمة إلى أجزاء وأبعاض, فجزء منها يد وجزء منها وجه غير أنه لا يشابه الأيدى والوجوه اللتى للخلق !! حاشاهم من ذلك وما هذا إلا التشبيه بعينه, وإنما أرادوا بذلك أن لفظ الوجه واليد قد استعمل فى معنى من المعانى, وصفة من الصفات التى تليق بالذات العلية كالعظمة والقدرة غير أنهم يتورعون عن تعيين تلك الصفة تهيبا من التهجم على ذلك المقام الأقداس.

Artinya : Pemberitahuan penting; Apabila engkau mendengar perkataan ulaam Salaf “ kami beriman sesungguhnya Allah SWT ada wajh tidak seperti segala wajh dan ada yad (arti yad secara lughat adalah tangan) tidak seperti segala yad” maka jangan engkau mengira sesungguhnya Salaf bermaksud bahwa Zat Allah SWT terbagi kepada beberapa juzuk, dan bgaian, sebagian juzuknya tangan, juzuk yang lian wajah tetapi tidak sama seperti tangan dan wajah bagi makhluk.! ! Mustahil mereka bersikpa demikian, ini tak lain adalah tasybih bi’ainih (diri tasybih), hanyasanya maksud mereka sesungguhnya lafaz wajh dan yad sungguh di pakai pada satu makna dari beberapa makna dan satu sifat dari beberapa sifat yang layak dengan zat Allah SWT seperti keagungan dan kekuuasaan namun mereka enggan untuk menentukan (salah satu) demikian sifat karena takut dari pada memasuki maqam Yang Mahma Suci. (Syeikh Salamah Qadha’i al-Azami asy-Syafii, Furqan al-Quran baina Shifat Khaliq wa Shifat al-Akwan, hal 80, Dar Ihya Turats Arabi, tt)

Maka dari uraian para ulama tersebut dapat di pahami bahwa antara ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa nash-nash mutasyabihat tidak boleh di pahami dengan makna dhahirnya. Mereka sepakat bahwa wajib meyakini Allah bersih dari semua sifat-sifat yang khusus para makhluk (tanzih) seperti jisim. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada masalah apakah di beri makna yang menjadi maksud dari nash tersebut ataupun tidak. Para ulama salaf tidak menentukan makna yang di maksudkan sedangkan ulama khalaf menafsirkannya menurut makna yang layak bagi Allah dengan penafsiran yang sesuai dengan qaedah ilmu Arabiyah. Takwil yang tidak boleh adalah takwil yang tidak sesuai dengan qaedah ilmu Arabiyah.

Wallahu A'lam bish shawab.

Referensi:


  1. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Dar hadits th 2004
  2. Imam Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Beirut, Dar Ma’rifah th 1391 H
  3. Imam Ath-Thabari,Tafsir Thabari, Muassis ar-Risalah th 2000
  4. Imam Nawawi, Majmuk Syarh Muhazzab, Dar Kutub Ilmiyah 2007
  5. Imam Nawawi, Syarh Muslim, Dar Turast Arabi th 1392 H
  6. Imam Ibnu Jamaah, Idhah ad-Dalil fi Qath’ Hujaj ahl Ta’thil, Dar Salam th 1990
  7. Syeikh Salamah Qadha’i al-Azami asy-Syafii, Furqan al-Quran baina Shifat Khaliq wa Shifat al-Akwan, Dar Ihya Turats Arabi, tt



Post a Comment

0 Comments