Menurut para pemikir-pemikir islam seperti Syeikh Muhammad al-Fuzhali, al-Imam Syeikh Muhammad as-Sanusi, Syeikh Muhammad bin Mansur al-Hud Hudi, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri, Esa yang teraplikasikan pada Allah swt berarti dalam 3 aspek dan 3 aspek ini adalah zat, sifat dan perbuatan.
1. Esa pada zat
Esa pada zat memiliki dua makna. Pertama Esa pada sifat yang muttasil, yaitu Allah ta’ala tidak beranatomi sebagaimana zat makhluk, seperti manusia yang mempunyai struktur-struktur tubuh yang berbeda, atau disebut juga mono internal. Makna kedua, yaitu Esa pada zat yang munfasil, yaitu zat Allah ta’ala tidak memiliki bandingan ataupun partner yang disebut juga mono ekternal.
2. Esa pada sifat
Esa pada sifat memiliki dua makna. Pertama Esa pada sifat yang muttasil, yaitu Allah ta’ala tidak memiliki dua sifat yang mempunyai kesamaan pada nama dan makna seperti dua ilmu, dan dua qudrah. Tetapi Allah ta’ala cuma memiliki satu ilmu yang mencakupi segalanya, dan satu qudrah yang merealisasikan segalanya. Makna kedua, yaitu tidak ada satu makhluk pun yang mempunyai sifat seperti sifat Allah swt.
3. Esa pada perbuatan
Sedangkan Allah Esa pada perbuatan berarti tidak ada satupun makhluk yang mempunyai perbuatan. Karna itu, dapat dipastikan bahwa api tidak membakar sesuatu yang disentuhnya, pedang tidak dapat memotong, dan makanan tidak bisa mengenyangkan. Tetapi Allah menciptakan kebakaran saat api berkontraksi degan sesuatu yang bersentuhan dengannya. Menciptakan putus ketika pedang menebas sesuatu, menciptakan kenyang saat makanan di cerna.
Tauhid adalah faham yang dianut oleh pemeluk islam yang turun-temurun diwariskan mulai dari moyangnya manusia Nabiyullah Adam as. Sehingga sampai kepada penghulu jagat raya Baginda Nabi Besar Muhammad saw. Seluruh pengikut-pengikut (umat) para utusan Allah adalah monoteis. Begitu juga dengan kita para umat yang teragung dari Rasul yang teragung, juga merupakan penganut paham monoteis.
Namun bagaimakah kita mempertahankan pemahaman yang begitu besar ini yang telah diemban oleh para utusan-utusan Allah swt sehingga iman kita mantap bagaikan Saidina Bilal bin Rabah ketika beliau disiksa begitu kejamnya oleh Uyainah sang majikan kafir untuk meninggalkan ketauhidannya? Saat itu, iman beliau tak tergoyahkan, tetapi beliau tetap teguh dalam mempertahankan keimanannya dan dari mulut beliau hanya keluar kata-kata “ahad” yaitu “yang Esa” yang senantiasa membasahi bibirnya.
Tentunya dengan berpegang kepada bukti yang kokoh. Baik itu berupa kutipan-kutipan nash yang kebenarannya sudah pasti, ataupun bukti yang tersusun dari logika-logika yang kuat. berikut adalah logika untuk bukti keesaan Allah ta’ala.
Kita berkeyakinan bahwa Allah itu Esa. Karena seandainya, jika Tuhan mempunyai partner atau aliansi yang notabennya membawaki kepada Tuhan itu lebih dari satu, sungguh terjadi kekeliruan yang sangat besar. Karena seandainya diantara keduanya (seandainya Tuhan ada dua), bersepakat dalam menciptakan alam sungguh akan terjadi kesatuan dua aksi dalam 1 reaksi. Ini mustahil, apakah mungkin 1 dorongan disebabkan oleh 2 gaya? Tentu tidak.
Dan seandainya terjadi kontradiktif diantara keduanya, maka sudah pasti salah satunya berhasil merealisasikan tujuannya dan yang satunya lagi tentunya lemah. Karena tidak bisa merealisasikan tujuannya. Seperti salah satunya ingin menciptakan alam sedangkan yang satunya lagi tidak, sedangkan alam sudah tercipta. Berarti salah satu keduanya kuasa dan yang satunya lagi lemah. Sesuatu yang bisa terjadi pada salah satu yang bersamaan pasti bisa terjadi pada yang lain. Zaidun dan Umar sama-sama manusia, Zaidun bisa mati maka umarpun bisa mati. Salah satu Tuhan lemah sudah pasti Tuhan yang lain bisa juga lemah. Apa mungkin Tuhan itu lemah? Tentu saja tidak. Dari ulasan ini dapat ditentukan kalau Tuhan itu wajib tunggal, esa pada zat, sifat, dan perbuatan-Nya.
Dan adakah kutipan-kutipan nash yang dapat mengetautentisasi ketauhidan dalam agama kita? Tentu saja cukup banyak. Diantaranya adalah QS. Al-Ikhlas ayat 1;
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”Sebab diturunkan ayat ini adalah ketika kaum musyrikin yaitu orang-orang yahudi diantaranya Ka’ab bin Asyar dan Wahyi bin Akhthab mendatangi Rasulullah saw dan bertaya: “beritahu kepada kami bagaimana sifat Tuhanmu? Maka jibril as turun membawa surat ini, yaitu untuk menegaskan kepada kaum musyrikin bahwa Tuhan yang diyakini oleh Rasulullah adalah tunggal.
Jadi, baik dari argument-argument yang tersusun dari logika yang kuat maupun dari kutipan nash al-Qur’an menetapkan kalau Allah itu Esa dan secara tidak langsung juga mematahkan pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari tauhid seperti tritinitas, dwi tunggal, Zoroaster, paganisme, mitologi, dan lainnya.
Referensi:
1. Hasyiah dusuki hal 90-91, kifayatul awam hal 41-43, tuhfatul murid hal 38, as-Syarkawi hal 57-58.
2. Hasyiah dusuqi hal 53 haramain
3. Biografi 60 sahabat nabi nur faizin muhith m.s. hal 200
4. Kifayatul awam hal 44
5. Hasyiah shawi ala tafsir jalalain hal 498 jilid 4 darul fikri.
0 Komentar