Jika memberi jawaban, hal ini dikarenakan Iraq merupakan tempat sentral dan strategis, tempat yang menjadi pusat kunjungan ulama dari berbagai negeri karena kedudukan Baghdad sebagai ibukota negara Islam, bahkan kota utama di dunia saat itu, maka pertanyaannya, apa lebihnya Khurasan dan kawasan timur sehingga disandingkan dengan Baghdad, bukan Mesir?
Jawaban terhadap pertanyaan ini sebenarnya mudah dan terang bagi para peneliti sejarah. Berikut ini ada beberapa hal yang perlu dipahami untuk menjawab masalah ini,
Pertama:
Perlu dipahami bahwa negara-negara Islam saat itu kondisinya tidaklah sama dengan kondisi saat ini yang memiliki regulasi dan undang-undang tersendiri dengan berbagai aturan terkait imigrasi. Saat itu wilayah-wilayah berbeda dari negara Islam dianggap masih satu negara di mana umat Islam bebas pulang pergi kemana pun yang disukainya tanpa perlu berurusan dengan persoalan imigrasi. Maka karena itu tidak pantas memahami kondisi saat ini dengan cara kita memahami kondisi hubungan antar negara hari ini.
Kedua:
Pengembaraan keilmuan merupakan tradisi para ulama. Mereka hidup dan tinggal di daerah yang berbeda, yang mengambil ilmu dari ulama di daerahnya masing-masing. Sehingga bila mereka sudah merasa puas dengan apa yang didapat, mereka mengembara untuk mencari sesuatu yang baru di daerah lain, baik itu untuk belajar dan mengajar. Seperti itulah tradisi ahli ilmu dimana sepanjang hayatnya digunakan untuk pengembaraan keilmuan.
Sebenarnya pengembaraan keilmuan ini tidak hanya terbatas pada masa lampau. Sampai saat ini para ulama banyak yang mengembara untuk belajar di negara lain. Bahkan tak jarang mereka terkadang menjadi ulama, guru besar dan rektor di Universitas yang terletak di bukan negara asalnya.
Ketiga:
Setelah memahami bahwa pengembaraan keilmuan merupakan tradisi ulama di masa itu, maka dapat dipastikan bahwa murid-murid Imam Syafii yang belajar pada beliau di Mesir bukanlah hanya terbatas pada orang-orang Mesir saja. Lagi pula, pelajar-pelajar Imam Syafii yang berasal dari Mesir pun tidak semuanya bertahan dan menetap di Mesir. Sebagian dari mereka tentu saja berkontribusi dalam penyebaran ilmu ke tempat-tempat yang lain.
Di antara hal yang dapat dipastikan bahwa orang-orang yang mengambil ilmu dari murid-murid Imam Syafii yang berasal dari luar Mesir berkali lipat lebih banyak daripada orang asli Mesir. Hal ini dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Tahzib al-Asma' wa al-Lughah dari Muhammad bin Ahmad bin Sufyan al-Tharaiqiy al-Baghdadiy di mana beliau berkata : "Aku mendengar ilmu dari Rabi' bin Sulaiman pada suatu hari, dan sungguh singgah di pintu rumahnya 900 pengembara yang ingin mendengar uraian kitab-kitab Al-Syafii, radhiyallahu 'anhu."
Dan dari semua jawaban yang mungkin disampaikan, rasanya cukup dengan merenungkan kembali ingatan sejarah saat kalangan Fathimiyyin menguasai Mesir pada tahun 357 H yang salah satu tindakan mereka adalah membasmi mazhab Syafi’i di sana.
Dengan melihat kemunculan dua aliran ini (Iraqiyyun dan Khurasaniyyun) berada pada fase akhir abad ke-4 hingga awal abad ke-5, dan dengan melihat Abu Ishaq Al-Marwazi yang merupakan rujukan para Ulama dari dua aliran ini wafat pada tahun 340 H, maka dengan mudah kita dapat memahami tentang kenapa Mesir tidak muncul sebagai aliran yang berbeda sebagaimana halnya Iraq dan Khurasan? Jawabannya adalah karena eksistensi mazhab Syafi’i di Mesir pada saat itu mulai meredup akibat tekanan penguasa.
- Al-Mazhab al-Syafii min al-Ta'sis ilaa al-Istiqrar ma'a al-Syai miin al-Mushtalahatihi
Kajian Kitab Nihayatuzzain Bersama Abu MUDI
0 Komentar