Memahami Perbedaan Dharar dan Dhirar dalam Hadis La Dharara wala Dhirara



Hadis la dharra wala dhirara cukup populer bagi pelajar ushul fikih musabab hadis ini merupakan sumber salah satu dari lima kaidah induk fikih, yaitu al-dharar yuzal. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nadhair bahwa kaidah الضرر يزال terbentuk dari hadis Nabi SAW yang berbunyi:  لا ضرر و لا ضرار  (jangan memudaratkan diri dan orang lain). Sanad yang paling baik (ajwad al-thuruq) hadis ini adalah jalur Hakim dan selainnya daripada Abi Sa’id al-Khudri r.a dengan narasi yang lengkap sebagai berikut:

لا ضرر و لا ضرار من ضار ضاره الله ومن شاق شاق الله عليه

Artinya: “Jangan mudaratkan diri dan orang lain. Orang yang mendatangkan kemudaratan akan Allah mudaratkan dan orang yang menyempitkan akan Allah sempitkan.”


Dapat dilihat secara leksikal pada narasi hadis, ada dua kata yang sama pada musytaq (asal kata) tetapi berbeda pada maddah (bentuk kata), yaitu ضَرر dan ضِرر . Al-Mankabawi dalam al-Nafahat menyebut bahwa arti hadis ini adalah, “La tadharru anfusakum wala tadharru ghairakum” yang dapat diterjemahkan sebagaimana disebut di atas.


Al-Mankabawi melanjutkan, hadis ini tersusun dengan narasi kabar tetapi mengandung makna larangan (al-khabar bi makna al-nahyi). Hal ini disebabkan tidak sahnya melangsungkan arti kabar karena akan kontra dengan realita musabab pada kenyataanya kemudaratan kerap terjadi. Jika ditinjau dari perspektif bayan, narasi hadis masuk dalam kriteria kalam majaz dalam bentuk majaz mursal dengan ‘alaqah al-tdhaddu (kontadiktif), karena kabar memiliki makna antonim dengan nafi sebagai insya`.


Selain tafsir di atas, terdapat pula pendapat yang lain dalam mengartikan dharar dan dhirar. Hal tersebut sebagaimana diketengahkan oleh Ibnu Abdil Bar terkait variatif pendapat dan pandangan. Di antaranya pendapat yang diketengahkan oleh al-Khusyani, ia menafsrikan dharar dengan perkara yang bermanfaat bagi pribadi kita sedangkan terdapat kemudaratan bagi orang lain. Sedangkan dhirar adalah perkara yang bagi pribadi kita tidak ada manfaat apapun, sedangkan bagi orang lain terdapat kemudaratan. Kata Ali Ahmad Nadwi tafsir ini lebih tepat. 



Rujukan:

Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, (Semarang: al-Haramain, t.t), hal. 61. 


Ali Ahmad an-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Mafhumuha, Nasy`atuha, Tathawwuruha, Darah Muallafatiha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), hal. 287.


Abdullatif al-Khatib al-Mankabawi, al-Nafahat, (Semarang: al-Haramain, t.t), hal. 148.


Ahmad al-Shawi, Hasyiah al-Shawi fi ‘Ilm al-Bayan, (Semarang: al-Haramain, t.t, hal. 15.

Post a Comment

0 Comments