HAKIKAT SILATURRAHMI DAN ADAB-ADAB DALAM BERTAMU



Silaturrahmi tersusun dari 2 kata yaitu “صلة" yang artinya “menyambung” dan "الرحم" yang artinya rasa sayang dan iba yang bermuasal dari dalam hati. Silaturrahmi ini memiliki hubungan yang erat dengan Iman yang dilatarbelakangi oleh pengertian iman itu sendiri, bahkan didalam satu hadis rasulullah bersabda:

لا يؤمن احدكم حتى يحبّ لاخيه كما يحبّ لنفسه

“Tidaklah sempurna iman seseorang hamba melainkan jika dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”

Dalam fenomena jaman sekarang, banyak diantara yang orang awam pikirkan kalau disaat berkunjung sesama saudara harus dibekali dengan membawa beberapa makanan misalkan gula, sirup dan lainnya tergantung tradisi daerah masing-masing. Sehingga inipun bisa memberatkan pihak yang ekonominya minim sehingga terhambat jalan untuk kembali bersilaturrahmi sesama.

Karna dilatarbelakangi oleh pemikiran semacam inilah, tulisan ini mungkin bisa menjadi pencerah akan bagaimana hakikat silaturrahmi itu sendiri.

Imam As-Syarbini didalam kitabnya Al-Iqna’ menerangkan:

وَصِلَةُ الْقَرَابَةِ وَهِيَ فِعْلُكَ مَعَ قَرِيبِكَ مَا تُعَدُّ بِهِ وَاصِلًا مَأْمُورٌ بِهَا، وَتَحْصُلُ بِالْمَالِ وَقَضَاءِ الْحَوَائِجِ وَالزِّيَارَةِ وَالْمُكَاتَبَةِ وَالْمُرَاسَلَةِ بِالسَّلَامِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Silaturrahmi dengan kerabat adalah anjuran dan diperintahkan oleh syariat. Silaturrahmi adalah segenap tingkah laku dengan saudara dimana engkau saat itu sudah dianggap sebagai orang yang menyambung silaturrahmi baik dengan Harta (seperti membawa bekal baik itu gula, sirup), menunai kebutuhan mereka, hanya sebatas berkunjung, saling mengirim surat (bila jarak tidak memungkinkan untuk berkunjung), saling mengirim salam dan lain sebagainya.”

Dari keterangan ini sudah sangat jelas bagi kita semua bahwa untuk mempererat dan merajut kembali silaturrahmi tidak mesti saat berkunjung harus membawa harta, tetapi berkunjung saja sudah dianggap silaturrahmi dan jika jarak atau materi tidak mendukung bisa juga kita praktekkan dengan saling mengirim salam dan saling tanya sapa di media sosial yang penting hubungan batin antar sesama tidak saling membenci, tidak saling menghasud, hal demikian sudah dianggap langgengnya silaturrahmi seseorang.

Kemudian apa aja yang menjadi etika saat bertamu?

Sebagaimana yang tertera didalam kitab Mughni al-Muhtaj dan Mausuah Kuwaitiyah, Etika bertamu Diantaranya adalah:

1. Duduk saat sudah dipersilakan oleh pihak rumah

2. Menerima dengan apapun yang telah dihidang/disuguhkan

3. Berdo’a kepada pihak rumah dengan doa yang diajarkan Rasulullah:

افطر عندكم الصائمون واكل طعامكم الابرار وصلت عليكم الملائكة

4. Tidak menginap lebih dari 3 hari kecuali memang sudah permintaan dari pihak rumah

5. Makan dan minum secukupnya tergantung bagaimana ridha pihak rumah, kalau memang mereka menyuruh makan banyak maka tidak usah segan-segan

6. Makan atau minum saat sudah ada izin

7. Tidak melakukan apapun yang dapat menganggu kenyamanan pihak rumah seperti memasuki kamar pribadinya, menanyai isi-isi rumah karena yang layak ditanyai saat bertamu hanya 2 yaitu kiblat dan WC, tidak melihat ke tempat-tempat masak makanan.

8. Tidak pulang melainkan sudah ada izin dari pihak rumah.

 

 

ومِن آدابِ الضَّيْفِ: أنْ لا يَخْرُجَ إلّا بِإذْنِ صاحِبِ المَنزِلِ، وأنْ لا يَجْلِسَ فِي مُقابَلَةِ حُجْرَةِ النِّساءِ وسُتْرَتِهِنَّ، وأنْ لا يُكْثِرَ النَّظَرَ إلى المَوْضِعِ الَّذِي يَخْرُجُ مِنهُ الطَّعامُ. (مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ٤/‏٤١٢ ) 

مِن آدابِ الضَّيْفِ أنْ يَجْلِسَ حَيْثُ يُجْلَسُ، وأنْ يَرْضى بِما يُقَدَّمُ إلَيْهِ، وألاَّ يَقُومَ إلاَّ بِإذْنِ المُضِيفِ، وأنْ يَدْعُوَ لِلْمُضِيفِ بِدُعاءِ رَسُول اللَّهِ ﷺ بِأنْ يَقُول: أفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصّائِمُونَ، وأكَل طَعامَكُمُ الأْبْرارُ، وصَلَّتْ عَلَيْكُمُ المَلاَئِكَةُ 

مَن نَزَل ضَيْفًا فَلاَ يَزِيدُ مُقامَهُ عِنْدَ المُضِيفِ عَلى ثَلاَثَةِ أيّامٍ، لِقَوْلِهِ ﷺ: الضِّيافَةُ ثَلاَثَةُ أيّامٍ، فَما زادَ فَصَدَقَةٌ (٢) لِئَلاَّ يَتَبَرَّمَ بِهِ ويَضْطَرَّ لإِخْراجِهِ، إلاَّ إنْ ألَحَّ عَلَيْهِ رَبُّ المَنزِل بِالمُقامِ عِنْدَهُ عَنْ خُلُوصِ قَلْبٍ فَلَهُ المُقامُ.

يَأْكُل المُضِيفُ مِمّا قُدِّمَ لَهُ بِلاَ لَفْظٍ اكْتِفاءً بِالقَرِينَةِ، إلاَّ إذا كانَ المُضِيفُ يَنْتَظِرُ غَيْرَهُ مِنَ الضُّيُوفِ، فَلاَ يَجُوزُ حِينَئِذٍ الأْكْل إلاَّ بِإذْنِ المُضِيفِ، ولاَ يَأْكُل مِنَ الطَّعامِ إلاَّ بِالمِقْدارِ الَّذِي يَقْتَضِيهِ العُرْفُ، ما لَمْ يَعْلَمْ رِضا المُضِيفِ، ولاَ يَتَصَرَّفُ بِهِ إلاَّ بِأكْلٍ، لأِنَّهُ المَأْذُونُ لَهُ فِيهِ،

(الموسوعة الفقهية الكويتية ٢٨/‏٣١٨ )

Post a Comment

0 Comments