Mungkin banyak antara kita yang bertanya, apakah Allah bisa dilihat atau tidak, dan hal ini bukanlah perkara baru yang perlu kajian mendalam, tetapi ini merupakan problematika yang telah dijelaskan oleh ulama Ahlussunnah terdahulu.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh ulama Ahlussunnah, melihat Allah termasuk perkara yang jaiz bagi Allah, maksudnya Allah boleh menampakkan zat Nya pada pandangan hamba atau pun tidak, hal tersebut bukanlah perkara yang wajib sehingga mesti Allah wujudkan, dan bukan suatu hal yang mustahil sehingga tidak boleh Allah lakukan.
Maka jawabannya, kita bisa melihat Allah SWT, tapi dengan cara yang tentunya berbeda dengan melihat benda yang ada di dunia, dari jawaban ini mungkin masih menyisakan pertanyaan karena adanya kerancuan, yaitu bagaimana mata kita bisa melihat Allah padahal kan Allah bukan jisim, sehingga bisa dilihat, dan mata kita hanya bisa melihat jisim yang memiliki warna, buktinya angin saja jisim namun karna ia tidak memiliki warna maka kita tidak bisa melihatnya.
Nah, perlu kita garis bawahi bahwa kerancuan tersebut timbul karena kita terlalu terikat dengan hukum ‘adiy (kebiasaan), sehingga berasumsi bahwa hukum ‘adiy tersebut harus selalu berlaku layaknya hukum ‘aqliy (hukum akal). Padahal tentunya hukum ‘adiy ini bisa saja tidak terjadi, seperti kejadian-kejadian nyeleneh yang berbeda dengan kebiasaan, misalnya seorang wali yang bisa melihat jin atau malaikat yang tidak berupa jisim yang berwarna, maka dengan melepas asumsi kita dari hukum’adiy harus selalu terjadi tentunya kita akan mudah untuk memahami dan mengerti jawaban tadi.
Jawaban tadi tentunya bersumber dari beberapa dalil, yaitu:
Dalil pertama ialah firman Allah SWT dalam surah Al-Qiyamah ayat 22-23 yaitu :
وجوه يوم اذ ناضرة . الى ربها ناظرة
Maksud dari ayat diatas ialah, esok ketika di surga wajah-wajah muslimin bercahaya, dan melihat kepada zat Allah SWT, interpretasi tersebut bisa difahami dari kata ناظرة yang terdapat dalam ayat, karena kata نظر jika dimuta’adikan dengan huruf الى maka dhahir maknanya ialah melihat, dan terdapat penguat yang lain untuk makna tersebut, yaitu disebutnya wajah di ayat sebelumnya yang mengindikasi bahwa نظر dalam ayat selanjutnya bermakna melihat, karena muka adalah tempat terletaknya mata yang menjadi alat untuk melihat.
Dalil kedua ialah permohonan nabi Musa A.S kepada Allah untuk bisa melihatNya, ini menjadi dalil karena tidak mungkin seorang nabi tidak mengerti tentang hal yang mustahil bagi Allah SWT, maka tentunya beliau tidak akan meminta kepada Allah perkara yang mustahil, karena meminta perkara mustahil itu dilarang, dan para nabi tidak mungkin melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, karena mereka ma’sum (terpelihara dari yang buruk).
Dalil ketiga ialah ijma’(sepakat) para salafus shalih dimana mereka hidup dimasa yang belum timbulnya bid’ah yang sesat seperti sekarang, karena para salafus shalih selalu meminta kepada Allah agar mereka diberikan nikmat oleh Allah berupa bisa melihat Allah SWT, bahkan Nabi sendiri juga pernah meminta hal tersebut.
Dalil keempat ialah hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu :
عن جرير بن عبد الله البجلي -رضي الله عنه- قال: كنا عندَ النبيِّ -صلى الله عليه وسلم- فنظرَ إلى القمرِ ليلةَ البدرِ، فقالَ: «إنَّكم سترون ربَّكُمْ كما تروْن هذا القمر، لاَ تُضَامُونَ في رُؤْيَته، فَإن استطعتم أنْ لاَ تُغْلَبُوا على صلاة قبل طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا، فَافْعَلُوا». وفي رواية: فنظر إلى القمر ليلة أربع عشر.
Dari Jarīr bin Abdullah Al-Bajali -raḍiyallāhu 'anhu- bahwasanya mereka (para sahabat) sedang bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu beliau memandang bulan pada malam purnama -malam keempat belas-. Lantas Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian memandang bulan ini" yakni, pada hari kiamat dan di Surga, orang-orang beriman akan melihat-Nya sebagaimana mereka melihat bulan pada malam purnama. Ini tidak berarti bahwa Allah seperti bulan. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah. Justru Dia lebih besar dan lebih agung. Namun, yang dimaksud di sini adalah penyerupaan penglihatan dengan penglihatan, bukan menyerupakan sesuatu yang dilihat dengan yang dilihat. Sebagaimana kita melihat bulan pada malam purnama dengan penglihatan yang sebenarnya tanpa ada kesamaran, kita pun akan memandang Rabb kita -'Azza wa Jalla- sebagaimana kita memandang bulan dengan pandangan nyata, dengan mata tanpa ada kesamaran. "Jika kalian mampu untuk tidak meninggalkan salat sebelum terbit matahari dan terbenamnya, maka lakukanlah!"
Dari semua dalil diatas meskipun semuanya mengindikasi kepada maksud secara mafhum dhahir lafadz, tidak secara mafhum nash dari lafadz tetap saja semua dalil diatas kuat, karena berdasarkan satu qaidah :
الظواهر اذا كثرت في شيء افادت القطع به
Maksudnya, apabila banyak lafadz dhahir yang menjelaskan sesuatu, maka berfaedah kepada pastinya sesuatu yang dimaksud. Dan qaidah ini sama hal nya seperti hadits mutawatir yang pasti bisa diyakini dengan banyak nya periwayat hadits tersebut.
Demikanlah penjelasan tentang pertanyaan diatas, semoga kita semua termasuk orang-orang yang diberikan nikmat melihat Allah SWT kelak di hari akhirat karena itu merupakan nikmat terbesar di surga.
Referensi : syarah kubrali as-sanusi halaman 373
ويجوز في حقه تعالى أنيوى بالأبصار على ما يليق به جل وعلا لا في جهة ولا في مقابلة، لقوله تعالى : الى ربها ناظرة ولسؤال موسى كليمه عليه السلام لها، اذ لو كانت مستحيلة ما جهل امرها، ولإجماع السلف الصالح قبل ظهور البدع على ابتهالهم الى الله تعالى وطلبهم النظر الى وجهه الكريم، ولحديث "سترون ربكم" ونحو ذلك مما ورد، واظواهر اذا كثرت في شيء افادت القطع به.
0 Komentar