ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ
(طه:43) فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلا لَّيِّنا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ
يَخۡشَى(طه:44)ٰ
“Pergilah kamu
berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah
kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia
ingat atau takut”
Dari ayat diatas, kita dapat mengerti bahwa mendatangi penguasa
terkadang dianjurkan pada kondisi tertentu dan terdapat larangan pula pada
kondisi-kondisi yang lain, seperti dalam literatur kitab Tuhfatul Ahwazi
disebutkan, bahwa siapa saja mendatangi pintu penguasa ketika tidak adanya
dharurat dan hajat, maka akan terjadinya fitnah bagi dirinya dan siapa saja
yang mendatangi sultan /penguasa serta membujuknya untuk mencari keuntungan
material dunia maka orang tersebut telah terjerumus dalam fitnah, namun jika
bukan bertujuan seperti diatas, bahkan terkadang untuk menasehati penguasa
dalam ranah amar makruf dan nahi mungkar maka itu merupakan sebaik-baik jihad/
perjuangan dalam islam.
Sebenarnya persoalan mendatangi
penguasa itu tidak jauh berbeda dengan larangan mendatangi seorang dukun, seperti
yang diutarakan dalam kitab Faidhu al-Qadir, tetapi jika seseorang mendatangi
dukun dengan orientasi hanya untuk meremehkan, menghina atau melecehkan
sekaligus menyakini bahwa dukun tersebut berbohong maka tidak termasuk kedalam
ancaman buruk Rasulullah, yaitu kepada orang-orang yang mendatangi dukun untuk
meminta pertolongan. Intinya adalah tidak semua orang alim yang mendekati
penguasa itu seburuk buruknya ulama, tapi tegantung niatnya, sebagaimana
berlaku hadis:
إنما الأعمال بالنيات
Referensi:
Kitab Tuhfatul Ahwazi bi Syarhi At-Tirmidzi, Juz 6 Hal 440
(ومَن أتى
أبْوابَ السُّلْطانِ) أيْ مِن غَيْرِ ضَرُورَةٍ وحاجَةٍ لِمَجِيئِهِ (افْتُتِنَ)
بِصِيغَةِ المَجْهُولِ أيْ وقَعَ فِي الفِتْنَةِ.
ومَن دَخَلَ عَلى السُّلْطانِ وداهَنَهُ وقَعَ فِي الفِتْنَةِ وأمّا مَن لَمْ يُداهِنْ ونَصَحَهُ وأمَرَهُ بِالمَعْرُوفِ ونَهاهُ عَنِ المُنْكَرِ فَكانَ دُخُولُهُ عَلَيْهِ أفْضَلَ الجِهادِ انْتَهى
Kitab Faidh Al-Kabir Syarhi Jami' Shaghir, Juz 6 Hal 23
فلو فعله استهزاء معتقدا كذبه فلا يلحقه الوعي.
Lihat juga :
Tgk. Zulfan Fahmi, M.Pd
NU, Fiqih Peradaban dan Islam Nusantara
0 Komentar