Benarkah Seburuk-Buruk Ulama adalah yang Mendekati Penguasa ?


Mungkin kerap kita mendengar sebuah ungkapan “ Seburuk buruk ulama adalah yang mendatangi para penguasa”. Benarkan ungkapan tersebut ataupun perkataan tersebut hanya dimaksudkan untuk menyindir dan menjelek-jelekkan para ulama yang dekat dengan penguasa/pemerintah. Ternyata ketika kita memahami konteks ayat al-quran, disana Allah justru memerintahkan nabi Musa dan nabi Harun agar mereka mendatangi raja Firaun. Ini terbukti melalui firman-Nya yang berbunyi:

ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ (طه:43) فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلا لَّيِّنا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَى(طه:44)ٰ

Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”

Dari ayat diatas,  kita dapat mengerti bahwa mendatangi penguasa terkadang dianjurkan pada kondisi tertentu dan terdapat larangan pula pada kondisi-kondisi yang lain, seperti dalam literatur kitab Tuhfatul Ahwazi disebutkan, bahwa siapa saja mendatangi pintu penguasa ketika tidak adanya dharurat dan hajat, maka akan terjadinya fitnah bagi dirinya dan siapa saja yang mendatangi sultan /penguasa serta membujuknya untuk mencari keuntungan material dunia maka orang tersebut telah terjerumus dalam fitnah, namun jika bukan bertujuan seperti diatas, bahkan terkadang untuk menasehati penguasa dalam ranah amar makruf dan nahi mungkar maka itu merupakan sebaik-baik jihad/ perjuangan dalam islam.

Sebenarnya persoalan mendatangi penguasa itu tidak jauh berbeda dengan larangan mendatangi seorang dukun, seperti yang diutarakan dalam kitab Faidhu al-Qadir, tetapi jika seseorang mendatangi dukun dengan orientasi hanya untuk meremehkan, menghina atau melecehkan sekaligus menyakini bahwa dukun tersebut berbohong maka tidak termasuk kedalam ancaman buruk Rasulullah, yaitu kepada orang-orang yang mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Intinya adalah tidak semua orang alim yang mendekati penguasa itu seburuk buruknya ulama, tapi tegantung niatnya, sebagaimana berlaku hadis:

إنما الأعمال بالنيات

Oleh karena hal tersebut, kita sebagai umat muslim tidak sepantasnya untuk langsung mencaci-maki dan menghina seorang ulama yang dekat dengan para pemimpin atau penguasa, karena kita belum tahu maksud dan tujuan dari ulama tersebut.

 

  

Referensi:

Kitab Tuhfatul Ahwazi bi Syarhi At-Tirmidzi, Juz 6 Hal 440

(ومَن أتى أبْوابَ السُّلْطانِ) أيْ مِن غَيْرِ ضَرُورَةٍ وحاجَةٍ لِمَجِيئِهِ (افْتُتِنَ) بِصِيغَةِ المَجْهُولِ أيْ وقَعَ فِي الفِتْنَةِ.

ومَن دَخَلَ عَلى السُّلْطانِ وداهَنَهُ وقَعَ فِي الفِتْنَةِ وأمّا مَن لَمْ يُداهِنْ ونَصَحَهُ وأمَرَهُ بِالمَعْرُوفِ ونَهاهُ عَنِ المُنْكَرِ فَكانَ دُخُولُهُ عَلَيْهِ أفْضَلَ الجِهادِ انْتَهى

Kitab Faidh Al-Kabir Syarhi Jami' Shaghir, Juz 6 Hal 23                                                              

فلو فعله استهزاء معتقدا كذبه فلا يلحقه الوعي.


Lihat juga :

Tgk. Zulfan Fahmi, M.Pd

NU, Fiqih Peradaban dan Islam Nusantara



Posting Komentar

0 Komentar