Sebagai manusia makhluk ciptaan sang khaliq yang paling mulia di alam semesta, dalam setiap situasi dan kondisi apapun kita dituntut untuk selalu beribadah kepada-Nya. Salah satu hikmah penciptaan manusia adalah agar selalu beribadah pada-Nya. Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an surat al-Dzariyat ayat 56, yaitu:
وما خَلَقْتُ الجِنَّ والإنْسَ إلاَّ لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melaikan supaya mereka mengabdi kepadaku”.
Dalam melakukan ibadah tentunya harus sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi wafat yang mengajarkan tuntunan itu adalah para sahabat, kemudian para ulama tabi’in dan tabi’ tabi’in hingga seterusnya. Di era para Tabi'in dan era para Imam Mujtahid, ilmu pengetahuan sangatlah berkembang dan benyak ulama pada saat itu yang mumpuni untuk melakukan ijtihad tanpa bertaqlid kepada orang lain. Berbeda dengan masa-masa setelahnya hingga masa sekarang, karena pengetahuan ilmu agama semakin berkurang, maka orang yang mumpuni untuk melakukan ijtihad pun bertambah sedikit, sehingga mengharuskan untuk bertaqlid kepada orang lain.
Bagi orang yang belum mumpuni untuk berijtihad, baginya dilarang beramal ibadah melalui ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi secara langsung tanpa mengikuti pendapat ulama yang telah mumpuni dalam bidangnya. Pengarang kitab Muraqi al-Su’ud berkata dalam lantunan bait syairnya:
من لم يكن مجتهدا فالعمل # منه بمعنى النص مما يحظل
Artinya: “Seseorang yang tidak berstatus mujtahid, maka beramal melalui nash termasuk hal yang dilarang”.
Dinukilkan dari Al-Qarafi bahwa bagi orang yang belum mumpuni dan berkapasitas untuk berijtihad, baginya tidak boleh beramal dan berijtihad langsung pada nash Al-Qur`an dan Hadist. Hal ini karena kemungkinan pada nash tersebut terjadi nasakh-mansukh, taqyid, takhsish dan lain-lain yang tidak diketahui oleh selain mujtahid.
Pada dasarnya ulama mujtahid yang mendirikan madzhab dalam fiqh sangatlah banyak, diantaranya yaitu Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit), Imam Malik (Malik bin Anas bin Malik), Imam Syafi’I (Muhammad bin Idris), Imam Hambali (Ahmad bin Muhammad bin Hambal). Keempat madzhab ini masih tetap eksis dan memiliki banyak pengikut sampai sekarang. Namun ada beberapa ulama lain yang mendirikan madzhab fiqh tetapi tidak lagi memiliki pengikut bahkan tidak lagi muktabar pada masa sekarang, diantaranya: Madzhab Laist bin Sa’ad, Ibnu Jarir al-Thabari dan Daud azh-Zhahiri.
Daud bin Ali bin Khalaf atau yang lebih masyhur dipanggil dengan Daud azh-Zhahiri adalah pendiri madzhab Daud azh-Zahiri. Ia lahir di Baghdad pada tahun 200 H dan wafat pada tahun 270 H. Abdul Fattah Bin Shalih Qudaisy al-Yafi menuliskan alasan tidak muktabarnya madzhab Daud Zhahiri, diantaranya yaitu;
1. Penolakannya terhadap Qiyas (analogi)
Di dalam kitab al-Madkhal Ila Dirasah al-Madaris al-Mazahib al-Fiqhiyyah dijelaskan bahwa dasar penolakan Daud al-Zahiri terhadap Qiyas, yaitu sebabai berikut:
والسبب الذي جعله ينفي القياس هو دعواه أن الأحكام غير معللة ، وأن الله شرع ما شرع من أحكام بمحض المشيئة المجردة عن الحكمة والتعليل
Artinya: “Sebab ia menolak Qiyas adalah karena ia berasumsi bahwa hukum-hukum tidak boleh ada alasan. Allah mensyari’atkan hukum-hukum-Nya semata-mata dengan kehendak-Nya tanpa ada hikmah dan alasan”.
2. Daud Zhahiri bukanlah seorang mujtahid Mustaqil yang mampu menggali hukum langsung dari Al-Qur`an dan Hadist, tetapi ia hanyalah mujtahid muntasib pada Imam Syafi’i. Mujtahid Muntasib yaitu para ulama yang yang sudah memenuhi persyaratan sebagai mujtahid, tetapi belum mampu membuat teori ushul fiqh tersendiri dan masih memakai teori ushul fiqih para imam madzhab.
3. Pendiri dan perawi madzhabnya bermasalah pada masalah Akidah. Daud azh-Zhahiri berpendapat bahwa Al-Qur`an (kalam Allah yang azali) adalah makhluk.
4. Banyak pendapat atau fatwanya yang berbeda dengan ulama lain.
Referensi:
Abdul Fattah Bin Shalih Qudaisy al-Yafi, al-Tamazhub, (Sudan: Universitas Lembah Nil, 2008), h. 244.
الجمهور أهل العلم أسباب جعلتهم لا يعتبرون المذهب الظاهري ولا يعتدون بخلافه ومن هذه الأسباب :
السبب الأول : وهو الرئيس هو عدم قولهم بالقياس أما ابن حزم فكلامه في ذلك مدون في الإحكام والمحلى وأما داود فوقع الخلاف في إنكاره القياس فمن أهل العلم من يرى أنه ينكر القياس جملة وتفصيلا ومن أهل العلم من يرى أنه ينكر من القياس غير الجلي وقد تقدمت أقوالهم في ذلك.
والسبب الثاني: أن داود لم يكن مجتهدا مستقلا بل كان مجتهدا منتسبا إلى المذهب الشافعي بل كان متعصبا له ثم ادعى الاجتهاد ولم يسلم له ، ذكر ذلك بعضهم لكن قد يقال : إن فتوى المجتهد المنتسب كالمستقل في العمل بها والاعتداد بها كما تقدم معنا في کلام ابن الصلاح عند ذكر مراتب المجتهد غير المستقل.
السبب الثالث : أن صاحب المذهب وناقله عليهم مآخذ عقدية فداود الهم بالقول بخلق القرآن وأما ابن حزم فينحو منحا المعتزلة في الصفات.
السبب الرابع : كثرة شذوذهم كما تقدم في كلام أهل العلم والأمثلة على ذلك كثيرة وفي كلام بعض الأئمة السابق إشارة إلى بعضها.
Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Madkhal Ila Dirasah al-Madaris al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Nafais, Oman, 1998), 27.
والسبب الذي جعله ينفي القياس هو دعواه أن الأحكام غير معللة ، وأن الله شرع ما شرع من أحكام بمحض المشيئة المجردة عن الحكمة والتعليل.
Umar Sulaiman al-Asyqar, al-Madkhal Ila Dirasah al-Madaris al-Mazahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Nafais, Oman, 1998), 175.
من لم يكن مجتهدا فالعمل # منه بمعنى النص مما يحظل
0 Komentar