Menikah Lebih Didahulukan Daripada Berhaji, Benarkah ?


Sebagaimana kita maklumi bahwa untuk wajibnya haji tentunya memiliki syarat dan ketentuan tersendiri, seperti memiliki bekal, kendaraan, aman nya perjalanan, dan tidak terdapat kesukaran saat di kendaraan.

​Perlu kita perhatikan pada masalah memiliki bekal, dan kendaraan untuk berangkat, karena banyak dari kita yang mungkin terlalu eksklusif dalam menginterpretasikan cukupnya bekal pada masalah ini.

​Memang pada dasarnya, untuk dianggap cukupnya bekal haji tentunya bekal tersebut sudah  mencukupi untuk utang yang terbeban atasnya, nafkah keluarga yang wajib dinafkahi, sejak pergi hingga kembali dari haji, dan juga bukan dari penjualan tempat tinggal yang layak untuk ditempati. 

Nah, ketika semua kebutuhan telah terpenuhi, dan ia memiliki bekal yang cukup untuk berhaji, maka ia sudah wajib untuk melaksanakan haji.

​Namun, ada satu kondisi dimana orang yang sudah memiliki bekal untuk berhaji, boleh mempergunakan bekal tersebut untuk hal lain, yaitu ketika seorang lelaki sudah berhajat untuk menikah, dan dia khawatir jika tidak menikah bisa menjerumuskannya dalam maksiat, pada kondisi ini ulama sepakat untuk boleh mempergunakan -bekal yang mencukupi untuk haji- untuk keperluan nikah, karena dalam kasus ini kebutuhan nikah tidak bisa ditunda (mendesak), sedangkan kewajiban haji bisa ditunda.

​Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang wajib tidaknya haji untuk orang dalam kondisi diatas, Imam Al-Haramain berpendapat bahwa orang tersebut tidak terbeban kewajiban haji atasnya, sedangkan kebanyakan murid Imam Syafi’i di Iraq berpendapat dengan terbeban kewajiban haji atasnya, dan pendapat ini dianggap kuat oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah.

​Nah, jika kita berpegang pada pendapat kuat yang menyatakan wajibnya haji, maka jika ia meninggal dunia sebelum sempat berhaji, ia tidak berdosa namun wajib mengqadha haji dari harta peninggalan nya, tetapi jika ia tidak takut terjerumus maksiat tanpa menikah, namun tetap mendahulukan nikah dari pada haji, maka ia berdosa jika tidak sempat melakukan haji, dan tetap wajib mengqadha  dari harta peninggalannya.

Ini merupakan pemahaman yang dipahami dari redaksi kitab Syarah Al-Mahalli dan Hasyiah Qalyubi ala Syarah Al-Mahalli berikut ini :

(شرح المحلي على منهاج الطالبين جزء الثاني ص 112)

ولو ملك ما يمكنه به الحج واحتاج الى النكاح لخوفه العنت، فصرف المال الى النكاح اهم، لأن الحاجة اليه ناجزة والحج على النراخي، وصرح الإمام بعدم وجوبه عليه، وصرح كثير من العراقيين وغيرهم بوجوبه وصححه في الروضة.

 

(حاشية القليوبي على شرح المحلي على المنهاج جزء الثاني ص 112)

قوله : (اهم) هو الصحيح المعتمد. قوله : (وصححه في الروضة) هو المعتمد لأن حاجة النكاح لا تمنع وجوب الحج لكن تقديم النكاح أولى وعليه لو مات بعد تقديم النكاح لم يكن عاصيا ويقضي من تركته، وإذا لم يخف العنت فالأفضل تقديم الحج وفي هذه لو مات قبله كان عاصيا. كذا اعتمده  شيخنا تبعا لشيخنا الرملي فراجعه.

Post a Comment

0 Comments