Mengonsumsi Obat-Obatan Untuk Menunda Haid, Bolehkah?

Mengonsumsi Obat-Obatan Untuk Menunda Haid, Bolehkah?


Menurut sebagian kalangan ulama fiqh al-Syafi'iyyah dibolehkan melakukan menanggungkan atau menunda haid asalkan tidak menimbulkan  bahaya  pada diri perempuan tersebut. Uraiannya sebagai berikut dengan mengemukakan beberapa pendapat dalam  madzhab syafi’i mengenai perempuan yang meminum obat pencegah haid.

ثم ان المرأة متى شربت دواء وارتفع حيضها فانه يحكم لها بالطهارة

Artinya : “Kemudian  sesungguhnya  perempuan  yang meminum   obat   untuk menghentikan haid, maka ia dihukumkan suci.”


Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa  perempuan yang berhenti dari haidnya akibat ia meminum obat untuk menunda haid dihukumkan bahwa ia berada  dalam  siklus  suci, karena  yang  diperhatikan adalah lahiriahnya seorang wanita, jika ia mengeluarkan haidnya maka ia berada dalam siklus haid adapun jika darah haid telah berhenti, maka ia berada dalam siklus suci.


Adapun    hukum    mengonsumsi obat yang dapat menunda atau memutuskan  menstruasi  hukumnya  dikembalikan kepada keberadaan obat yang dikonsumsi tersebut apakah dapat memudaratkan badan atau tidak, jika tidak memudaratkan badan maka para ulama berpendapat  dibolehkan mengonsumsinya sebaliknya, jika  berbahaya  terhadap  kesehatan  maka tidak boleh untuk mengonsumsinya.

Hal yang senada juga diutarakan oleh tokoh fiqh klasik sebagai berikut :

وفي فتاوي القماط ما حاصله جواز استعمال الدواء لمنع الحيض

Artinya : “Disebutkan di dalam kitab  Fatawi  al-Qammath,  kesimpulannya  adalah  boleh  mengonsumsi obat untuk menunda haid.”


Adanya penundaan haid, hakikat dan tujuannya adalah memberikan kemudahan bagi para wanita yang mempunyai kepentingan untuk beribadah. Selain efek baik  yang  dihadirkan  obat  tersebut, tidak dapat disembunyikan efek-efek yang kurang  baik  dari  obat  tersebut  atau  dapat membahayakan  bagi  para  pengonsumsiannya. Dengan mempertimbangkan manfaat dan mudarat yang dihasilkan, dapat dijadikan  dasar untuk menentukan hukum segala sesuatu. Apabila kemaslahatan bersifat dominan maka  mubah bagi pelaksanaannya. Jika kemudaratan lebih dominan atau berimbang, maka hendak menolak kemafsadahan lebih diutamakan. Hal ini sesuai kaidah:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya : “Menolak kerusakan lebih utama dari mendatangkan kemaslahatan.”


Imam Al-Amidi menyatakan bahwa seseorang  harus memutuskan masalah berdasar kehendak kemaslahatan dalam hal  pertentangannya dengan  nash,  apabila terdapat keadaan dharurat yang bersifat qat’i dan kulli, dalam  artian bukan semata hajah dharurat bukan pula hanya  dugaan keras atau prasangka dan tidak juga hanya khusus untuk satu golongan   manusia.


Berdasarkan beberapa hasil nash kitab yang telah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penundaan haid dengan mengonsumsi obat yang dapat menunda datangnya haid adalah hal yang dibenarkan menurut pandangan ulama fiqh asalkan tidak menimbulkan kemudaratan  serta  diizinkan  suami  jika perempuan tersebut telah menikah.


Sumber:

Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997)

Abu Abdullah al-Khatn, Syarh al-Talkhish, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000)



Posting Komentar

0 Komentar