Pekerjaan Paling Utama Dalam Agama

Usaha Terbaik Dalam Agama


Agama Islam adalah agama Rahmatal lil ‘Alamin, Rasulullah SAW selaku utusan dari Allah SWT telah menyampaikan risalahnya kepada para hamba hingga seluruh penjuru daerah dan elemen masyarakat. Seperti yang telah disebutkan bahwa kasih sayang Allah SWT terhadapnya tidak pernah tertutup pintu, Allah SWT selalu memberikan rezeki terhadap hambanya dengan berbagai macam cara, baik melalui baik melalui pintu usaha seorang hamba, menjalin ikatan silaturahmi, senantiasa bertakwa kepada Allah atau karunia langsung terhadap hamba. Menurut para ulama definisi dari rezeki ada dua penafsiran. Pertama: rezeki adalah sesuatu yang bisa diambil manfaat, kedua: rezeki adalah sesuatu yang dapat dimiliki namun menurut para al-Aimmah pendapat yang kedua ini tidak boleh ikuti, hal ini selaras dengan apa yang telah disampaikan oleh Syekh Ibrahim al-Laqani dalam kitab Matn Jauharah al-Tauhid, nadham ke 119 menerangkan bahwa:

وَالرِّزْقُ عِنْدَ الْقَوْمِ مَا بِهِ انْتُفِعْ * وَقِيْلَ لَا بَلْ مُلِكْ ومَا اتُّبِعْ

Artinya: “Menurut pendapat qaum definisi dari rezeki adalah sesuatu yang bisa di ambil manfaat, sedangkan menurut pendapat yang mengartikan dengan sesuatu yang di miliki, namun pendapat yang kedua tidak boleh dikuti”.

 

Dalam agama Islam, pada dasarnya seorang hamba diwajibkan untuk berusaha demi tertunainya berbagai kebutuhan sehari-hari baik primer, sekunder dan tersier, hal ini selaras dengan ungkapan Syekh Ibrahim al-Laqani dalam kitab Matn Jauharah al-Tauhid, bait ke 48:

وَعِنْدَنَا لِلْعَبْدِ كَسْبٌ كُلِّفَا * بِهِ وَلَكِنْ لَمْ يُؤَثِّرْ فَاعْرِفَا

Artinya: “Menurut Ahlussunah wa al-Jama'ah usaha ditaklifkan terhadap para hamba, namun tidak memberi pengaruh”.

 

Seorang hamba selama di dunia fana ini dapat berusaha demi rezeki dan kebutuhannya berbagai macam dengan segala jenis sifatnya. Usaha yang Seyogyanya terhadap seorang hamba adalah aktivitas yang sesuai landasan dan anjuran agama, terlebih usaha tersebut adalah kegiatan yang pernah dilakukan oleh pribadi Rasulullah SAW. Sesuai dengan realita dan fakta sejarah, demi tercukupi kebutuhan hidup yang sifatnya primer, sekunder dan tersier beliau pernah menjadi penggembala kambing di umur 12 tahun hal ini dikarenakan jiwa Rasulullah sudah terdidik dari muda belia, dan juga beliau pernah berniaga bersama pamannya Abu Thalib dan para rombongan ke kota Syam (sekarang negara Suriah) sehingga dengan konsistennya wirausaha yang beliau tekuni ada 17 negara lebih yang menjadi tempat pemasaran barang-barangnya, di antaranya kota Yaman, Bushra, Irak, Bahrain, Yordania dan lain-lain.


Lantas, bagaimana pandangan agama terhadap usaha yang menjadi prioritas utama sebagai jembatan untuk mencari rezeki agar tercukupi seluruh kebutuhan dengan berbagai macam jenisnya? Para ulama seperti Syekh Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al-Anshari (w. 926 H) dalam kitab Asna al-Mathalib fi Syarh Raudz al-Thalib, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini (w. 977 H) dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah  dan Al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’ dan Syekh al-‘Allamah Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad bin Abd al-Haq al-Sumbahthi (w. 998 H) dalam kitab Hasyiah al-Sumbathi ‘ala Syar hal-Minhaj fi al-Fiqh, telah mengemukakan bahwa Sebaik-baik sesuatu yang kamu konsumsi adalah penghasilanmu dari pertanian karena lebih besar potensi untuk bersifat tawakkal dan lebih umum manfaatnya serta kebutuhan untuk pertanian lebih menyeluruh, kemudian kerajinan tangan karena penghasilan darinya diperoleh dengan kerja keras tangan kanan, kemudian berdagang karena para sahabat senantiasa mencari nafkah dengan berdagang.

 

Referensi:

1. Al-Qa>dhi> Abi> Yahya Muhammad bin Ahmad bin Zakaria> al-Ansha>ri, Asna al-Matha>lib Syarh Raudha al-Thalib, Jld. III, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013), h. 416.

2. Al-Ima>m, Syams al-Di>n, Muhammad bin al-Khati>b al-Syarbini, Mughni al- muhta>j ila Ma’rifah Alfa>dhi al-Minha>j, Cet. I, Jld. VII, (‘Amman: Syirkah al-Quds li al-Nasy wa al-Tauzi’, 2011), h. 182.

3. Syekh al-‘Allamah Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad bin Abd al-Haq al-Sunbathi, Hasyiah al-Sunbathi ‘ala Syarh al-Minhaj fi al-Fiqh, Cet. I, Jld. VIII, (Kuwait: Dar al-Dhiya’, 2023), h. 113.


Posting Komentar

0 Komentar