Dalam Islam puasa mempunyai posisi khusus dan fundamental, karena puasa merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “wahai orang-orang beriman diwajibkan puasa terhadap kalian sebagaimana yang diwajibkan terhadap umat sebelumnya, agar kalian bertakwa”. Yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah anjuran untuk melaksanakan puasa kepada segenap umat Islam di mana pun umat itu berdomisili, namun para ulama juga telah berijtihad yaitu menunaikan puasa sesuai dengan waktunya, kapan mulai dan berakhirnya puasa sudah ditentukan.
Sejak dahulu para ulama telah banyak
menulis pembahasan tentang masalah puasa di daerah yang iklimnya tidak
seimbang, di mana waktu malam dan siang ada salah satu yang lebih dominan. Hal
ini menjadi problem atau masalah bagi umat Islam yang tinggal di daerah
tersebut. Misalnya di Svalbard, sebuah kepulauan Norwegia di Samudra Arktik, di
sana matahari tetap terbit 24 jam dari bulan April hingga Agustus.
Fenomena ini tentu sangat perlu
tinjauan dari sisi hukum Islam secara khusus, karena mengingat Islam adalah
agama rahmatan lil ‘alamin yang sangat menjaga agar penganutnya tidak
mengalami mudarat dalam menunaikan ibadah. Pada tulisan ini, kita hanya akan
menelisik terkait mana yang lebih utama untuk dikerjakan antara berbuka puasa
atau salat magrib pada daerah yang durasi malamnya hanya cukup untuk salah
satunya saja.
Kedua hal ini sangat bertolak
belakang, berbuka dalam hal demikian adalah suatu kewajiban, karena berbuka
adalah untuk menjaga jiwa dan menghindari meneruskan puasa tanpa berbuka,
yang haram dari sudut pandang syariat. Shalat juga wajib. Lalu bagaimana posisi Islam dalam
kasus seperti ini?
Dalam hal demikian, berbuka puasa diutamakan karena kontroversi dua
kewajiban, yaitu wajib menunaikan salat maghrib, dan wajib berbuka untuk
menghindari berlanjutnya puasa tanpa berbuka dan salat Magrib dikerjakan dengan
cara qadha.
Referensi:
Muhammad bin Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiah Bujairimi ‘ala Khatib,
jld 1, h. 393
وَلَوْ لَمْ يَسَعْ أَيْ اللَّيْلُ
عِنْدَهُمْ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَأَكْلَ الصَّائِمِ بِأَنْ كَانَ بَيْنَ
الْغُرُوبِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَا يَسَعُ إلَّا قَدْرَ الْمَغْرِبِ، أَوْ
أَكْلَ الصَّائِمِ قُدِّمَ أَكْلُهُ؛ لِأَنَّهُ تَعَارَضَ عَلَيْهِ وَاجِبَانِ؛
لِأَنَّ الْفِطْرَ وَاجِبٌ فِرَارًا مِنْ الْوِصَالِ فَيُقَدَّمُ الْأَهَمُّ م د
عَلَى التَّحْرِيرِ. فَإِنْ انْعَدَمَ اللَّيْلُ فِي بَعْضِ الْبِلَادِ بِأَنْ
كَانَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ عَقِبَ غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ وَجَبَ قَضَاءُ
الْمَغْرِبِ أَوْ الْعِشَاءِ قَالَ حَجّ: وَمُقْتَضَاهُ أَنْ لَا صَوْمَ
عَلَيْهِمْ؛ لِأَنَّهُ عَلَى التَّقْدِيرِ، وَالْأَخْذُ بِالنِّسْبَةِ لَا يَكُونُ
صَلَاةُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بَعْدَ الْفَجْرِ قَضَاءً. اهـ. ح ل. وَكَوْنُ
أَكْلِ الصَّائِمِ وَاجِبًا تَحَرُّزٌ مِنْ الْوِصَالِ الْمُحَرَّمِ.
Imam Ramli, Nihayah al-Muhtaj, jld. 1, h. 369
]تَنْبِيهٌ] لَوْ عُدِمَ وقْتُ العِشاءِ
كَأنْ طَلَعَ الفَجْرُ كَما غَرَبَتْ الشَّمْسُ وجَبَ قَضاؤُها عَلى الأوْجَهِ مِن
اخْتِلافٍ فِيهِ بَيْنَ المُتَأخِّرِينَ ولَوْ لَمْ تَغِبْ إلّا بِقَدْرِ ما
بَيْنَ العِشاءَيْنِ، فَأطْلَقَ الشَّيْخُ أبُو حامِدٍ أنَّهُ يُعْتَبَرُ حالُهُمْ
بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ، وفَرَّعَ عَلَيْهِ الزَّرْكَشِيُّ وابْنُ العِمادِ
أنَّهُمْ يُقَدِّرُونَ فِي الصَّوْمِ لَيْلَهُمْ بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ ثُمَّ
يُمْسِكُونَ إلى الغُرُوبِ بِأقْرَبِ بَلَدٍ إلَيْهِمْ، وما قالاهُ إنّما يَظْهَرُ
إنْ لَمْ تَسَعْ مُدَّةُ غَيْبُوبَتِها أكْلَ ما يُقِيمُ بِنِيَّةِ الصّائِمِ
لِتَعَذُّرِ العَمَلِ بِما عِنْدَهُمْ فاضْطُرِرْنا إلى ذَلِكَ التَّقْدِيرِ،
بِخِلافِ ما إذا وسِعَ ذَلِكَ ولَيْسَ هَذا حِينَئِذٍ كَأيّامِ الدَّجّالِ
لِوُجُودِ اللَّيْلِ هُنا وإنْ قَصُرَ ولَوْ لَمْ يَسَعْ ذَلِكَ إلّا قَدْرَ
المَغْرِبِ، أوْ أكْلَ الصّائِمِ قَدَّمَ أكْلَهُ وقَضى المَغْرِبَ فِيما يَظْهَرُ
اهـ حَجّ.
0 Komentar