Salah satu kewajiban yang dibebankan oleh Allah Ta’ala kepada hamba-Nya ialah shalat. Shalat disyari’atkan pada malam Isra’ setahun sebelum hijrah. Pada dasarnya, shalat yang diwajibkan adalah berjumlah lima puluh, namun setelah Rasulullah SAW meminta keringanan pada Rabb-nya, jumah shalat pun diringankan menjadi lima waktu, yaitu subuh, zuhur, ashar, maghrib, dan isya. Setelah menerima perintah shalat, malaikat Jibril pun disuruh untuk mengajari beliau tentang cara pelaksanaan shalat yang telah diterimanya. Salah satu cara pelaksanaan shalat ialah dengan menghadap kiblat. Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, shalat wajib menghadap ke Baitul Maqdis sebagai kiblat pertama dalam Islam. Namun, setelah Nabi hijrah bersama sahabat ke Madinah, kiblat pun dialihkan pada Ka’bah.
Peristiwa pengalihan kiblat adalah sebuah peristiwa
besar dalam Islam. Pristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab dua bulan sebelum
terjadinya peperangan Badar. Yaitu tatkala Rasulullah SAW dan para sahabat mengerjakan
shalat zuhur di masjid Bani Salamah atau yang dikenal sekarang dengan masjid
Kiblatain. Pada rakaat pertama dan kedua Rasulullah SAW dan para sahabat menghadap
ke Baitul Maqdis dan pada rakaat setelahnya beliau dan para sahabat memalingkan
arah menghadap ke masjidilharam (Ka’bah).
Sebelum terjadinya pengalihan kiblat, sebenarnya
beliau sendiri berharap dan menginginkan hal itu terjadi, bahkan menurut satu
riwayat ketika Rasulullah SAW mengharapkan turunnya wahyu untuk pengalihan
kiblat, beliau melakukan negosiasi dengan Jibril dan selalu menengadahkan
wajahnya ke langit dengan harapan keinginan beliau dapat dikabulkan oleh sang Khaliq.
Pristiwa diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 144, yaitu sebagai
berikut:
قَدْ نَرى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضاها فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ
فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ
Artinya: “Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad)
sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat
yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun
kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang
yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke
Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap
apa yang mereka kerjakan”.
Dalam kitab Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat
al-Ahkam Min al-Qur’an karangan Muhammad Ali al-Shabuni, dijelaskan bahwa
ada empat faktor yang menyebabkan Nabi sangat menginginkan untuk menghadap ke
Ka’bah dan tidak lagi menghadap ke Baitil Maqdis, yaitu sebagai berikut:
1. Agar berbeda dengan kaum Yahudi
Kaum yahudi ketika melakukan sebuah ritual ibadah, mereka menghadap ke
Baitil Maqdis sebagai kiblatnya mereka. Bahkan mereka tidak segan-segan
mengejek dan mengolok-olok Nabi Muhammad ketika mengerjakan shalat namun harus
menghadap ke Baitil Maqdis pula. Yaitu dengan melontarkan ucapan “Muhammad
menyalahi kita, sedangkan ia sendiri masih mengikut kiblat kita, seandainya
bukan karena kita, ia tidak tahu ke mana harus menghadap ketika ia melakukan ibadah”.
Sebuah perkataan yang menyakiti Nabi dan mendorong beliau menginginkan
pengalihan kiblat.
2. Ka’bah adalah kiblatnya Nabi Ibrahim
Nabi Ibrahim adalah bapak keturunan dari Nabi Muhammad Saw, risalah yang
diemban beliau adalah risalah Nabi Ibrahim, sehingga beliau ingin mengembalikan
arah kiblat sama seperti arah kiblat pada masa kerasulan Nabi Ibrahim.
3. Untuk memikat orang arab agar masuk Islam
4. Nabi menginginkan menghadap kiblat pada tanah
kelahiran dan tempat tinggalnya, yaitu Ka’bah.
Refrensi:
Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam Min
al-Qur’an, Jld. 1, Cet.Ke-3 (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1980), h. 122.
0 Komentar