Ibadah merupakan bentuk penghambaan diri seorang hamba
kepada Allah, karenanya Allah sama sekali tidak merasa dirugikan jika seorang
hamba tidak mengimplementasikan sifat ubudiah yang sudah melekat pada dirinya.
Semua yang dilakukan oleh hamba berupa ibadah dan kebaikan sepenuhnya kembali manfaat
untuk diri hamba itu sendiri berupa pahala dan surga di akhirat kelak, juga
sebaliknya. Namun terkadang timbul tanda tanya apa sebenarnya hikmah dibalik Allah
menetapkan kewajiban taat untuk hamba-Nya.
Sebelum lebih jauh menelisik soal itu, perlu kita ketahui
bahwa mengerjakan ibadah tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengerjakan
ibadah adalah sesuatu yang berlawanan dengan hawa nafsu, akibatnya kegiatan yang
satu ini membuat manusia sangat sulit untuk mengerjakannya secara sukarela dan
inisiatif diri sendiri apalagi mengingat lemahnya kemauan dan kemalasan adalah
karakter bawaan manusia.
Lebih lanjut Ibnu
Athaillah as-Sakandari dalam syarah hikamnya pernah menerangkan
علم قلة نهوض
العباد الى معاملته فاوجب عليهم وجود طاعته فساقهم اليها بسلاسل الايجاب عجب ربك
من قوم يساقون الى الجنة بالسلاسل
Allah mengetahui minimnya inisiatif seorang hamba
untuk menghambakan diri, maka Allah mewajibkan ketaatan kepada mereka, Allah
menyeret mereka untuk mengerjakan ketaatan dengan memberi mereka kewajiban-kewajiban,
Allah merasa heran kepada suatu kaum yang untuk diajak ke surga saja tapi harus
dilakukan secara paksa.
Dari
kalam hikmah Ibnu Athaillah as-Sakandari tersebut mulai menemukan titik terang kenapa
Allah mewajibkan taat untuk hambanya. Allah maha mengetahui tentang rendahnya inisiatif
hamba-Nya dalam hal mengerjakan ketaatan, sehingga jika saja Allah memberi ikhtiyar(pilihan/kebebasan)
kepada hamba-Nya untuk mengerjakan atau meninggalkan maka sudah tentu hamba itu
meninggalkan ketaatan karena sifatnya yang dalam tanda kutip bisa ditinggalkan.
Ternyata kewajiban yang Allah tetapkan untuk hamba-Nya ditambah dengan ancaman pedihnya siksa jika ditinggalkan adalah bukti betapa Allah menyayangi hambanya yang tanpa kita sadar semua yang Allah lakukan adalah untuk mashlahah (kebaikan) kita sendiri. Dari segi lahir untuk berkhidmah kepada-Nya, namun dari segi batin semua kewajiban yang Allah tetapkan tidak lain kecuali untuk membuat kita masuk ke dalam surganya. Ini senada dengan firman Allah Swt dalam surah Ar-Ra’du ayat 15.
وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَا
لْاَ رْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّظِلٰلُهُمْ بِا لْغُدُوِّ وَا لْاٰ صَا لِ
"Dan semua
sujud kepada Allah baik yang di langit maupun yang di bumi, baik dengan kemauan
sendiri maupun terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayang mereka, pada waktu pagi
dan petang hari."
Perumpamaan
Allah memperlakukan hambanya seperti uraian diatas seperti apa yang
diperlakukan oleh seorang wali terhadap anak kecil, tidakkah kita melihat bagaimana
seorang anak kecil dididik, diberi hukuman setiap melakukan
kesalahan, yang secara lahiriah terasa pahit bagi anak kecil bahkan membencinya
padahal tanpa ia sadar semua yang dilakukan kepadanya adalah demi kebaikan bagi
anak kecil itu sendiri untuk masa yang akan datang.
Referensi: Syarah Hikam,
Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, jld 2, Cet: Haramain, h. 31-32
0 Komentar