Nikah merupakan
salah satu ibadah yang dianjurkan dalam agama untuk mereka yang sudah mampu dan
perlu melakukannya, namun tentunya agama juga mengatur ketentuan hukum yang
berkaitan dengan nikah, sehingga tidak semua praktik nikah dilegalkan oleh
agama.
Ada beberapa
macam nikah yang dilarang dalam agama, salah satunya nikah mut’ah, namun
demikian dewasa ini masih sering kita dapati beberapa mazhab dan daerah yang
masih melegalkan nikah mut'ah sehingga timbul asumsi bahwa nikah mut'ah masih
bisa dipraktikkan dan legal dalam agama. Namun bagaimana sebenarnya
hukum nikah mut'ah yang dijelaskan dalam kitab turats mazhab syafi'i?
Sebelum membahas
lebih lanjut terkait nikah mut'ah alangkah baiknya kita tahu makna dari mut'ah
itu sendiri.
Kata mut’ah
secara etimologi diambil dari kata tamattu’ yang artinya menikmati (yang
berkaitan dengan sexual) dan ini tentunya selaras dengan praktik yang dilakukan
dalam nikah mut'ah yaitu hanya ingin menikmati madu pasangan tanpa adanya niat
untuk berketurunan, sedangkan secara terminologi nikah mut'ah ialah nikah yang
dilakukan dengan membatasi waktu, misalnya seorang wali mengatakan saya
nikahkan kamu dengan anak saya dengan mahar 5 juta dalam waktu sebulan, dan
seorang calon mempelai pria menerimanya, kemudian ketika batas waktu telah
sampai mereka berpisah tanpa perlu ditalak, dan tidak pula ber’iddah.
Nikah murt’ah ini
termasuk salah satu kebiasaan kaum jahiliyyah sebelum adanya islam, karena
kehidupan mereka yang nomaden dan menganggap wanita sebagai barang yang bisa
dipergunakan sesuka hati, sehingga pada masa awal islam nikah mut'ah masih diperbolehkan
untuk orang yang sangat berhajat untuk menikah namun belum sanggup menyiapkan
mahar yang relatif besar.
Pada tahun 7 H/629M
atau tahun khaibar nikah mut’ah diharamkan sehingga tidak boleh dilakukan, Kemudian pada tahun Fathu Al-Makkah diberikan rukhsah (keringanan) untuk para
tentara islam yang ikut perang dan sangat membutuhkan untuk menyalurkan hasrat
biologis setelah sekian lama tinggal di daerah perang dan tidak membawa istri
mereka. Kemudian pada tahun haji wada' nikah mut’ah dinasakh sepenuhnya hingga
sekarang.
Adapun dalil yang mengharamkan nikah mut'ah yaitu hadits
nabi saw
َعَنْ سَلَمَةَ بْنِ
الْأَكْوَعِ – رضي الله عنه – قَالَ : – رَخَّصَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – عَامَ أَوْطَاسٍ فِي اَلْمُتْعَةِ , ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ , ثُمَّ نَهَى
عَنْهَا – رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari
Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallampernah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selama tiga hari
pada tahun Awthas (tahun penaklukan kota Makkah). Kemudian beliau melarangnya.”
(HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 1405]
وَعَنْ عَلَيٍّ – رضي
الله عنه – قَالَ : – نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ
اَلْمُتْعَةِ عَامَ خَيْبَرَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ali
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelarang
nikah mut’ah pada waktu perang Khaibar.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no.
5115, 5523 dan Muslim, no. 1407]
Alasan diharamkan
nikah mut’ah karena dalam praktik nikah mut'ah tidak adanya salah satu tujuan
utama nikah yaitu berketurunan dan adanya mengaitkan nikah dengan
waktu tertentu.
Dikutip dari
Syarah Al-Mahalli Juz 3 Halaman 219 cetakan Dar Al-Fikri
0 Komentar