Setiap manusia pastinya ingin mendapatkan kebahagiaan siapa pun dia apa pun agamanya dan di mana pun dia berada. Adapun khusus bagi umat muslim kebahagiaan yang akan diperoleh bukan hanya kebahagiaan duniawi tetapi juga kebahagiaan ukhrawi. Terlepas bagaimanapun pandangan seseorang dalam mengartikan atau mendefinisikan kebahagiaan itu sendiri. Karena, setiap orang punya pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan kebahagiaan, ada yang mendefinisikannya dengan hal-hal yang sederhana, merasa cukup dengan apa yang ada dan sebaliknya, ada pula yang mendefinisikannya dengan kemewahan dan limpahan harta, semua itu tergantung dan disebabkan berbagai faktor tertentu bagi setiap orang. Agama Islam adalah agama yang Kaffah (agama yang sempurna) dan juga rahmatan lil ‘alamin, tentunya sudah memberikan gambaran dan juga pernyataan kepada pemeluk agama Islam tentang kebahagiaan dan konsep-konsep kebahagiaan yang akan diberikan oleh Allah SWT terhadap umat Islam.
Secara etimologi, bahagia atau sa’adah
adalah lawan dari syaqawah (celaka). Adapun secara istilahnya bahagia itu merupakan
suatu perasaan yang Allah turunkan berupa Nur ke dalam hati seorang hamba
karena keimanannya sehingga dengan itu ia akan merasa tenang dan di akhirat ia
akan melihat Allah SWT.
Adapun konsep kebahagiaan seperti ini hanya
akan didapatkan oleh seorang mukmin yang selalu mengingat Allah SWT. Sebagaimana
firman-Nya dalam Al-Qur’an.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ
بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ.
Artinya : (yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram. (Q.S. Ar-Ra’du : 28)
Adapun salah satu faktor agar kebahagiaan itu bisa
diperoleh oleh seorang hamba yaitu dengan menanamkan sifat wara' di dalam hati.
Karena, menurut sebagian para ulama mengungkapkan bahwa wara’ adalah salah satu
sikap yang sangat penting bagi seorang hamba untuk menempuh kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Apa itu Wara' ?
Secara bahasa wara' adalah taharruj
(menjauhi dosa/hati-hati). Namun secara istilah Para ulama mendefinisikan wara'
dengan cara yang berbeda. Di antaranya adalah perkataan imam bahwa wara’ adalah sikap seseorang yang melazimkan dirinya
dengan akhlak yang baik dan menjaga diri atau konservasi diri dari hal-hal yang
terlarang dalam agama.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya ihya ‘ulumuddin
memberikan rincian tentang wara’ dengan tingkatan dan level yang berbeda,
sebagai berikut :
الورع له أربع مراتب
-الاحتراز عن الحرام الظاهر
- ورع الصالحين ؛ التوقي من الشبهات التي يتقابل
فيها الاحتمالات
-و رع المتقين وهو ترك الحلال المحض الذي يخاف منه
أداؤه إلى الحرام
- ورع الصديقين وهو الإعراض عما سوى الله تعالى
خوفًا من صرف ساعة من العمر إلى ما لا يفيد زيادة قرب عند الله
Wara' itu ada 4 tingkatan :
1. Wara'nya orang dalam memberikan keputusan dan persaksian
yaitu menjauhi diri dari perbuatan yang jelas keharamannya.
2. Wara' orang yg shaleh yaitu seseorang yang menjauhi
dirinya dari perbuatan syubhat yang terjadi dari berbagai kemungkinan (baik
dari haram, makruh dsb).
3. Wara' orang yang bertakwa yaitu kewaraan orang yang
meninggalkan sesuatu yang sudah murni kehalalannya karena dikhawatirkan dapat
membawanya kepada yang haram.
4. wara’us shiddiqin yaitu seseorang yang berpaling dari
pada selain Allah karna takut terbuang waktunya kepada hal-hal yang tidak
menambah ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT.
Dari keempat level wara' tersebut, sepatutnya
bagi kita umat muslim fokus kita yang terutama adalah setidaknya tetap memosisikan
diri dari sikap wara' yang paling standar yaitu mengoptimalkan diri dalam
ketaatan dan menjauhi segala larangan Allah dengan segala kemampuan, daya dan
upaya.
Di
antara salah satu faktor mengapa sikap wara’ begitu penting bagi seorang hamba
ialah
1. Warak adalah syarat seorang hamba sempurna ibadahnya
dimata Allah.
2. Faktor di ijabahnya segala doa
3. Bagian pokok dalam beragama.
Karena sebagaimana perkataan para ulama bahwa pokok/Inti dalam beragama ada
tiga, yaitu:
a. Meluruskan niat
b. Beramal sesuai tuntunan
c. Punya sifat Wara'
Sumber: Kitab Ihya ‘ulumuddin Karya Imam
Al-Ghazali
1 Komentar
❤️
BalasHapus