Naluri dan hati
manusia menginginkan kesejahteraan
secara lahir dan batin, tidak ada manusia yang menginginkan terhina apalagi
tersiksa. Ini dikarenakan fitrah manusia adalah fitrah yang mulia, bahkan Allah
menyebutkan dalam al-qur'an surat al-Fajri, ayat 27-30 bahwa Allah menyeru
hamba- hambanya yang berjiwa tenang untuk kembali kepadanya dan masuk ke dalam
surganya.
Sebagian ulama
menyebutkan bahwa nikmat terbesar dalam hidup adalah ketenangan pikiran, yang
ketenangan pikiran tersebut diperoleh dari ketenangan hati, ketika pikiran
tenang seolah-olah kita mendapatkan segalanya dalam hidup ini. Untuk suatu
masalah yang dihadapi bersikap tenang adalah solusi utama dan juga sebagai awal
kesembuhan bagi orang yang sakit. Syekh Ali Jum’ah, seorang mufti Mesir
pernah menyampaikan bahwa ketenangan pikiran akan membuat langkahmu lebih bijak
dan engkau akan mendapatkan kecerdasan yang lebih.
Kemaksiatan adalah tindakan manusia yang melanggar hukum
moral yang bertentangan dengan perintah Allah Swt. Maksiat erat kaitannya
dengan perbuatan dosa, para ulama memaknai dosa sebagai suatu hal yang membuat
hati gelisah ketika mengerjakannya. Namun, bagi hati yang sudah kotor dengan
banyaknya dosa dan tidak lagi bercahaya, tidak akan terasa lagi kegelisahan ketika berbuat dosa.
Pada hakikatnya
semua orang membenci hal yang namanya maksiat walaupun terkadang ia sendiri
tidak mampu mencegahnya karena menghindari kemaksiatan termasuk hal yang berat,
sehingga para ulama menempatkan sabar menghindari maksiat pada posisi pertama
dengan pahala yang sangat besar yaitu 900 kali lipat dibandingkan sabar di atas
taat yang mendapatkan pahala 600 kali
lipat dan sabar di atas musibah yang cuma diberikan pahala 300 kali lipat saja,
disebabkan ujian menghindari maksiat lebih berat karena menghindari mafsadah
dari pada ujian mengerjakan taat yang tujuannya untuk hasil maslahah.
Menjalani hidup
dengan penuh ketaatan di akhir zaman sangatlah berat dan susah karena kita
dituntut untuk bertahan dan sabar
padahal kemaksiatan dapat dengan
mudah kita kerjakan di mana pun dan kapan pun, ditambah lagi dunia dipenuhi dengan hiruk pikuk kemaksiatan dari
segala arah, serta banyak manusia yang lalai dengan kemaksiatan dan terlena
dengan kemewahan dunia yang fatamorgana, sehingga nabi memuji pemuda yang mampu
bertaqwa di akhir zaman melalui sabdanya, "Seseorang yang berhijrah (beribadah) pada zaman yang penuh dengan dosa, maka ia (diberikan
pahala) seperti hijrah kepadaku". Saking susahnya menjauhi maksiat sehingga
banyak ulama dan orang saleh yang berlindung dari kemaksiatan dengan
usaha dan doa.
Salah satu
usaha yang dipraktikkan mereka adalah berkhalwat atau menyendiri tanpa membiarkan dirinya dalam keramaian dan
kerumunan manusia yang tidak begitu penting sehingga akan menyebabkan berbagai
macam dosa, mereka hanya bergaul dengan manusia seperlunya saja sebatas
menyebarkan ilmu agama, keluar ke mesjid untuk melaksanakan shalat berjamaah
dan memenuhi kepentingan sosial antar sesama lainnya selebihnya mereka hanya
berdiam di rumah untuk beribadah dan
memenuhi kewajiban bagi keluarganya. Selain usaha mereka juga mengiringi dengan
doa, seperti doa yang sering dipanjatkan Syekh Mutawali al- Sy’arawi yang
berbunyi:
اَللَّهُمَّ اُرْزُقْنِيْ مِنْ لَذَّةِ طاعَتِكَ، اللهم اَحْرِمْنِيْ مِنْ
لذة مَعْصِيَتِكَ
"Ya Allah
berikan olehmu kepadaku kelezatan untuk
taat kepada engkau, Ya Allah halangi
diriku daripada lezatnya bermaksiat kepada engkau".
Bentuk dosa dan
kemaksiatan sangat banyak. Ada dosa yang mudah mendapatkan keampunan seperti
dosa kecil, ada juga dosa yang sulit untuk diampunkan seperti dosa besar. Jika
dilihat dari sumbernya kemaksiatan dibagi kepada kemaksiatan yang bersumber daripada syahwat dan kemaksiatan yang timbul dari
kesombongan. Dalam kitab Nasaihul Ibad, Sufyan al-Sauri Radhiaullahu a'nhu
seorang guru dari Imam Malik menyebutkan bahwa setiap kemaksiatan yang timbul
dari syahwat ( keinginan jiwa terhadap sesuatu) maka kemaksiatan tersebut ada
harapan untuk diampunkan. Namun setiap kemaksiatan yang bersumber dari
kesombongan (mengakui dan menganggap dirinya lebih utama dari orang lain) besar
potensi tidak ada harapan untuk memperoleh keampunan.
Sama halnya
seperti yang diterangkan dalam kitab Hilyatul Aulia, bahwasanya siapa saja yang
bermaksiat yang maksiat tersebut berasal dari dorongan syahwat maka besar
harapan untuk bertaubat sebaliknya jika maksiatnya berangkat dari kesombongan
maka dikhawatirkan pelakunya mendapat laknat, seperti iblis yang sombong
sehingga mendakwa dirinya lebih baik daripada adam yang kemudian iblis dilaknat
untuk selamanya dan seperti tersalah
nabi adam dikarenakan keinginan jiwa yang rindu untuk mencoba buah daripada pohon
syahwat yang dilarangkan oleh Allah yang pada akhirnya Nabi adam diampunkan
dosanya dan diterima taubatnya.
Walaupun
demikian kita tetap berkewajiban untuk menghindari maksiat serta kita harus berusaha sebisa
mungkin untuk mencegah diri dari
kemaksiatan yang bersumber dari dorongan syahwat ataupun kemaksiatan yang
timbul dari kesombongan walaupun nantinya kita sempat bertaubat dan
diampunkannya kesalahan, apalagi belum tentu setelah bermaksiat kita sempat bertaubat dan dosa kita
diampunkan oleh Allah SWT karena terlebih dulu meninggal.
Sumber: Nasaihul
Ibad bab 2, makalah 9, hlm.11
0 Komentar