Haid
adalah perkara yang tak asing lagi di kalangan para kaum Wanita. Kita semua tahu
bahwa haid atau sering disebut dengan menstruasi adalah suatu hal yang tak
lepas dari seorang wanita terlepas apa agamanya. Dalam Islam sendiri mengenai
darah haid sudah diatur dengan amat sistematis; mulai sisi umur berapa keluarnya, jumlah lama hari,
bagaimana warnanya, dsb. termasuk juga, dalam Islam diatur orang yang sedang haid
tidak dapat dan tidak wajib mengerjakan shalat. Sebagai salah satu ibadah yang
paling utama dalam Islam, bagaimana mungkin seseorang boleh meninggalkan shalat,
bahkan sampai haram hukumnya bila dikerjakan? Hal ini tentu bukan tanpa alasan
yang filosofis dari syariat Islam. Hukum-hukum dalam agama ditetapkan
berdasarkan latar belakang yang jelas, tidak terkecuali hukum ini. lantas apa
hikmah dari tidak diwajibkannya shalat bagi wanita yang sedang datang bulan/
haid?
Alasan di balik hal ini ada dua. Pertama, karena sukar
untuk bersuci terhadap kaum Wanita. Kedua, karena belas kasihan atau menyayangi
bagi kaum wanita, karena jika agama tetap memerintahkan qadha salat yang ditinggal
terhadap wanita yang haid, tentu mereka akan mempergunakan sangat banyak
waktunya untuk melakukan shalat qadha,
serta tidak akan ada waktu untuk melakukan ibadat-ibadat yang lain.
Namun demikian, bila hikmah digugurkan salat itu seperti
demikian bagi wanita datang bulan, mengapa pada puasa Ramadhan tidak digugurkan
kewajiban berpuasa juga? Pada kasus ini tetap wajib qaza bagi Wanita datang
bulan sehingga tidak dapat berpuasa. Hal ini berbeda karena puasa Ramadhan
adalah perkara yang diwajibkan dalam satu tahun sekali dan mudah untuk
dilakukan qaza pada hari-hari yang pada hari itu wanita dalam keadaan suci. Ini
adalah hikmah yang menunjukkan kepada kita bahwa agama Islam itu memberi
kemudahan, tidak sedikit pun memberi kesukaran kepada siapa saja yang
menganutnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Hajj ayat 78:
وما
جعلنا عليكم في الدين من حرج
“Tidak kami
jadikan bagi mereka itu dalam agama daripada kesukaran.”
Sumber:
Hikmah tasyri’ wa falsafatuhu, hal: 70.
0 Komentar