Sejarah telah membuka bahwasanya Imam Syafi'i
merupakan pembangun ilmu ushul fiqh, Sebelum munculnya Imam Syafi'i Belum ada
Ilmu yang tertulis dan terperinci seperti layaknya sekarang ini, Imam syafi’i
merupakan orang pertama yang Mencetuskan ilmu Ushul Fiqh
bahkan, Imam ar-razi juga berpendapat dalam kitab manaqib Al-Syafi'i “
para ulama sebelum datangnya imam Syafi'i saling berdiskusi dalam
masalah-masalah ushul fiqh, para ulama saling mengambil dalil dan saling silang
pendapat tetapi mereka tidak memiliki aturan yang bisa dijadikan rujukan secara
menyeluruh dalam menggali dalil-dalil syar’i, begitu juga para ulama belum
memiliki tatanan yang baku dalam mengadu pendapat dan mentarjih dalil-dalil
syariat yang ada, kemudian muncullah imam Syafi’i dengan pemikirannya dalam
ushul fiqh, imam syafi'i lah yang mencetuskan peraturan baku yang
bersifat menyeluruh guna menggali dan mendalami dalil-dalil syariat, dan imam
Syafi'i juga mengurutkan bab-bab dalam ilmu ushul fiqh, membedakan beberapa
pembagiannya dari yang lain dan memaparkan kedudukannya terkait yang kuat dan
yang lemah”
Beliau juga berkata “ketahuilah bahwa penisbatan
Imam Syafii kepada ilmu ushul fiqh seperti penisbatan Aristoteles kepada ilmu
mantiq dan seperti penisbatan imam khalil bin Ahmad kepada ilmu arudh, Mengapa
demikian karena orang-orang sebelum Aristoteles berdalil dan berpendapat hanya
sebatas dengan akal sehat mereka tapi mereka tidak memiliki undang-undang yang
terhimpun terkait metode mengurutkan batasan-batasan ( definisi ) dan
bukti-bukti sehingga tidak diragukan lagi bahwa perkataan mereka amburadul,
Akal saja bila tidak didukung dengan undang-undang komprehensif. Maka sangat
kecil keberuntungannya ketika Aristoteles melihat hal itu, sejenak ia
mengasingkan diri dari manusia kemudian ia mencetuskan ilmu mantiq serta
membuat undang-undang komprehensif yang menjadi rujukan dalam mengetahui definisi
dan bukti.
Demikian pula dengan para penyair sebelum imam Al
Khalil bin Ahmad mereka telah membuat banyak sekali nama syair Adapun landasan
mereka dalam hal ini hanya sebatas watak maka Imam Khalil Mencetuskan ilmu
arudh saat itu ilmu arut menjadi undang-undang general untuk mengetahui Syahrir
yang benar dan rusak demikian juga di bidang Ushul Fiqh orang-orang sebelum
imam Syafi'i telah berbicara tentang Ushul Fiqh mereka berdalil dan berdebat
akan tetapi mereka tidak memiliki undang-undang general yang menjadi Muara bagi
mereka dalam mengetahui dalil-dalil syariat dan mengetahui metode mempertentang
Dalil dan mentarjihkannya, Maka Imam Syafi'i kemudian mengistinbat ilmu Ushul
Fiqh dan membuat undang-undang adalah yang dijadikan rujukan dalam mengetahui
dalil tingkatan Syara`.
Dari pernyataan Imam ar-razi dalam kitab beliau
tersebut dapat kita ketahui bahwa Imam Syafi'i merupakan orang yang pertama
kali menemukan ilmu ini dan menyusunnya secara urut dan terstruktur menjadi
suatu kitab Meskipun banyak orang lain yang bersaing dengan imam Syafi'i untuk
memperoleh kesuksesan besar dalam hal ini sehingga mereka menisbatkan permulaan
kodifikasi dan penyusunan ilmu ini kepada selain beliau seperti pengakuan
sebagian pengikut mazhab Hanafi yang mengklaim bahwa orang yang pertama kali
membukukan ilmu ini ialah Abu Hanifah radhiyallahu Anhu dalam karangan beliau
yaitu Kitab Ar-Ra`yu, dan seperti pengakuan Syiah imamiyah yang
mengklaim bahwa orang yang pertama kali mengkodifikasi ilmu Ushul Fiqh
sekaligus yang memecahkan persoalan-persoalannya adalah Imam Abu Ja'far
Muhammad bin Ali Al baqir bin Ali Zainal Abidin yang diikuti oleh putranya yang
bernama Imam Abu Abdillah Ja'far As-Sadiq.
Penisbatan permulaan penyusunan ilmu ini kepada
selain Imam Syafi'i tidak lain merupakan penyalahan terhadap ijma atau yang
mendekati demikian tanpa ada bukti yang konkret maupun dalil yang memuaskan
padahal Imam Asnawi yaitu Abdurrahman bin Al Hasan dalam kitabnya yang berjudul
At-Tahmid fi takhrij al-furu’ ala al-ushul berkata dahulu Imam
Syafi'i radhiyallahu Anhu adalah orang yang menemukan ilmu ini tanpa
diperselisihkan lagi beliau adalah orang yang pertama kali menyusun ilmu Ushul
Fiqh secara ijma`.
Karangan yang menjelaskan tentang ilmu Ushul Fiqh
tersebut beliau namai dengan ar-risalah faktor utama yang mendorong Imam
Syafi'i untuk menyusun kitab ar-risalah adalah karena permintaan Imam Al
Hafiz Abdurrahman Bin Mahdi di Kota Mekah Kepada beliau yang meminta supaya
Imam Syafi'i menuliskan satu Kitab yang menjelaskan tentang arti Alquran, hal
ahwal yang terdapat dalam Alquran, tentang kehujjahan ijma, soal nasikh dan
mansukh dan hadis nabi, maka Imam Syafi'i pun kemudian membuat ar-risalah
untuknya, saking kagumnya atas karya tersebut Abdurrahman Bin Mahdi berkata aku
tidak pernah menunaikan shalat kecuali di dalamnya Aku senantiasa mendoakan
Imam Syafi'i sungguh adalah Ia merupakan pemuda yang sangat jenius. Alasan
mengapa dinamakan dengan Ar-risalah yang berarti surah kiriman karena
kitab ini setelah dikarang dan disalin oleh muridnya lantas di kirim ke Mekkah
di samping Ada pula yang ditinggal di Irak.
Terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai tempat penulisan ar-risalah, Dokter Mahmud Abdurrahman dalam kitab tarikh usul alfiqh berkata Imam Syafi'i menulis pertama kali kitab ar-risalah di Kota
Mekah, sedangkan Fakhruddin ar-razi berpendapat lain, beliau berpendapat bahwa
Imam Syafi'i menulis Kitab al-risalah pertama kali di kota Baghdad. Imam Syafi’i
juga banyak melakukan reformasi dalam kitab ar-risalah yang telah Ditulis
dahulu di kota Mekkah/Baghdad. Hingga di fase akhir inilah Imam Syafi'i menulis
ulang kitab ar-risalah di fustath, salah satu bagian dari Kota Kairo di
negeri Mesir saat itu. Maka lahirlah kitab risalah versi baru yang dianggap para
ulama setelahnya sebagai puncak pemikiran Imam Syafi'i. Karya yang ditulis ulang ini lebih masyhur dengan sebutan “ar-risalah al-jadidah”
atau juga dikenal dengan “ar-risalah al-Misriyyah”. Meskipun
telah mengalami masa menimba ilmu yang sangat panjang Imam Syafi'i tetap
berusaha untuk menyempurnakan kitab ar-risalah hal ini sebagaimana
catatan Imam Al Baihaqi dalam kitab Manaqib Syafi'i yang bersumber dari Rabi`
Sulaiman murid dari Imam Syafi'i bahwa Beliau berkata aku membaca kitab ar-risalah
Al-mishriyah di hadapan Imam Syafi'i lebih dari 30 kali dan setiap aku
membaca di hadapannya Imam Syafi'i selalu memberikan koreksi atas kitab ar-risalah
Al-mishriyah Kemudian pada akhirnya Imam Syafi'i berkata kepadaku “Allah
tidak mentakdirkan sebuah kitab lebih Shahih kecuali dalam
kitabnya(Al-Qur`an)”. Di kemudian hari Kitab ar-risalah yang ditulis oleh Imam
Syafi'i dijabarkan (syarah) lebih panjang oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin
Abdullah Ash-Shairafi, Imam Abu Walid Hasan bin Muhammad Al umawi, Imam
Muhammad bin Ali yang lebih masyhur dengan julukan al-qaffal Asy-syasi, Imam
Abu Muhammad Al juwaini (ayah dari imam Haramain Al-juwaini ) dan Imam Abu
Bakar Muhammad bin Abdullah asy-syaibani.
Setelah lahirnya kitab ar-risalah al-jadidah
Imam Syafi'i merasa perlu untuk menyempurnakan lagi ilmu Ushul Fiqh yang beliau
rintis dengan menerbitkan kitab Jima`ul Ulum kitab ini banyak
menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits Ahad serta bantahannya
dan sejenisnya, disusul setelahnya Imam Syafi'i menerbitkan kitab ikhtilaful
hadits yang menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi
hadits yang beredar kitab ini disusun sesuai dengan alur bab ilmu fiqh dan pada
akhirnya Imam Syafi'i menutup karya-karyanya dalam ilmu Ushul Fiqh dengan
menerbitkan Ibthalul Istihsan kitab ini banyak mengkritik ulama yang
terlalu berlebihan dalam memakai metode istihsan Selain itu Imam Syafi'i juga
menulis Kitab sifatu nahyu Nabi yang menjelaskan makna larangan dalam
hadits Nabi.
Alhasil Imam Syafi'i meletakkan Pondasi yang Sangat
kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang Ushul Fiqh
di antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi'i adalah :
menjelaskan dalil-dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Alquran,
Hadis, ijma', qiyas serta mempertajam urutannya. Memperkokoh hujjah hadits
secara umum dan mengukuhkan hujjah hadits Ahad secara khusus serta menerangkan
tentang tidak adanya pertentangan secara nyata baik antara Alquran dan hadis
maupun antara satu Hadis Dengan hadis lainnya sebagai sumber dalil, menjelaskan
kewajiban untuk mengikuti jalan orang-orang beriman(ijma`), memberikan batasan
dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sehat sebagai patokan hukum serta
memberikan Syarat yang terperinci dalam menggunakan qiyas, memberikan
perlawanan cukup serius dalam mematahkan hujjah mu'tazilah yang terlalu ekstrim
dalam mentakwil sifat Allah Subhanahu Wa Ta'ala, memberikan peringatan bahwa
Alquran diturunkan dengan bahasa Arab serta di dalam Alquran ada beberapa cara
baca yang memang ada di dalam pelafalan bahasa Arab, menerangkan tentang amar
(perintah) dan nahi(larangan) dan menjelaskan tentang nasikh dan mansukh.
Setelah periode Imam Syafi'i berbondong-bondonglah
para ulama generasi selanjutnya untuk meneliti lebih jauh di dalam masalah
Alquran dan hadis diantara para ulama tersebut adalah Imam Ahmad bin hambal
dengan karya kitab risalatul Imam Ahmad fi tha`ati rasul, disusul dengan
Imam Bukhari dengan karya kitab Akhbarul ahad dan karya kitab
al-i'tisham bil kitab wa sunnah dan disusul dengan Imam Abu qutaibah dengan
karya kitab ta'wil musykil Al-qur`an dan karya kitab ta’wilu
mukhtalafil hadits.
Ref : Tarikh Tasyri`
0 Komentar