Umar bin Khattab adalah sahabat Rasulullah SAW, yang zuhud
dan telah dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw. Umar juga sahabat yang
sangat takut kepada Allah swt, bahkan dalam munajahnya Umar pernah
mengungkapkan:
اكثروا من ذكر النار فان حرها شديد وقعرها بعيد ومقامها
حديد
“Perbanyaklah mengingat neraka. Karena apinya sangat
panas, lubangnya sangat dalam dan
tempatnya dipenuhi besi”
Dari ungkapan ini dapat di pahami bahwa Umar adalah sahabat
yang sangat tinggi rasa takut kepada Allah swt. Kisah diatas terjadi setelah
Umar masuk islam.
Lantas, bagaimanakah kehidupan Umar sebelum memeluk islam ?
Sebelum memeluk agama islam Umar adalah pemuka Quraisy yang
menentang Rasulullah SAW. Konon, suatu ketika Umar menghunus pedangnya dan
berencana ingin membunuh Rasulullah SAW, yang sedang berada di sebuah rumah di
tepi bukit. Dalam perjalanan tersebut, Umar berpapasan dengan Nu’aim, dan
Nu’aim bertanya kepada Umar “Hendak kemana engkau Umar?”
Umar menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad, yang mencerai
beraikan orang Quraisy, yang menganggap bodoh orang Quraisy yang pandai, yang
menyalahkan agama orang Quraisy, dan yang menghina tuhan mereka.”
Dengan tegas Nu’aim menjawab, “Wahai Umar, demi Allah!
Sungguh jiwamu telah menipu dirimu. Apakah engkau tidak mengingat bahwa Bani
Abdi Manaf tidak akan membiarkanmu hidup seandainya engkau membunuh Muhammad” Nu’aim
melanjutkan “Sebaiknya engkau pulang saja ke rumah tanyai urusan keluargamu.”
Dengan penuh panasaran Umar bertanya “Apa gerangan dengan
keluargaku?”
Nu’aim menjawab, “Iparmu dan Adikmu Fatimah binti Khatab
telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad, pulanglah! Urus mereka.”
Mendengar kabar tersebut, Umar terkejut. Tanpa basa basi Umar
bergegas menuju tempat ipar dan adiknya yang sedang belajar Al-Qur’an kepada
Khabbab bin Arat.
Saat mereka mendengar suara halus Umar, khabbab langsung
bersembunyi dan Fatimah menyembunyikan lembaran Al-Qur’an di bawah pahanya.
Tanpa disadari, ternyata Umar mendengar apa yang mereka baca.
Saat masuk, Umar langsung bertanya “bacaan apa yang kalian
lantunkan?”
Mereka menjawab “tidak ada suara apa pun di sini”
”Demi Allah, aku mendengar berita kalian telah mengikuti
Muhammad” interogasi Umar. Tanpa menunggu jawaban dari mereka, Umar menonjok
iparnya dan Fatimah yang berusaha melindungi suaminya juga ikut terluka, mereka
pun pasrah dan mengakui atas keislaman dan berimannya kepada Allah dan
Rasulullah, kemudian mereka tegas berkata kepada Umar “Lakukanlah apa maumu
terhadap kami”.
Saat melihat kepasrahan dan darah yang mengalir pada adiknya, Umar merasa gundah dan menyadari kesalahan yang telah ia perbuat. Pada saat itu Umar penasaran dengan apa yang diberikan Muhammad kepada mereka dan meminta mereka melantunkan kembali apa yang mereka bacakan tadi.
Karena melihat kekhawatiran Fatimah, Umar pun bersumpah agar
diberikan lembaran tersebut, sehingga Fatimah memberikan lembaran dengan
harapan agar Umar masuk islam, dan Fatimah mengingatkan bahwa lembaran
Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci.
Saat Umar membaca permulaan ayat tersebut dalam keadaan suci,
dia tersentak dan kagum sehingga berkata “Alangkah bagus dan mulianya Kalam
ini!”
Tatkala Khabbab mendengar ungkapan Umar dia pun keluar dari
persembunyiannya dan berkata; wahai umar demi Allah, aku sangat berharap agar
Allah meng ijabah do’a Rasulullah terhadapmu, yakni ;
اللهم ايد الاسلام بابي الحكم بن هشام او بعمر بن الخطاب
“Ya Allah, kuatkanlah islam dengan sebab islamnya abu jahal
atau dengan sebab islamnya Umar bin khattab.”
Mendengar hal demikian, Umar pun mengajak khabbab untuk
menemui Rasulullah saw, dan Rasulullah pun bertanya “apa yang membuatmu datang
kemari wahai Ibn Al-Khatab?”
Umar menjawab “Wahai Rasulullah, aku mendatangimu untuk
beriman dengan Allah dan Rasul-nya.”
Ibnu Ishaq berkata bahwa saat itu Rasulullah bertakbir sehingga semua sahabat mengetahui atas keislaman Umar. Dan sahabat pun bangkit dari tempat mereka dengan penuh kesenangan, karena dengan islamnya umar, Hamzah dan Usman mereka akan kuat dan Rasulullah saw akan terbentengi dari musuh islam.
Wallahu a’lam.
Ref: Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, Jld. 2, Hal. 296.
0 Komentar