Kenapa Makruh Salat pada Waktu Tertentu?

Kenapa Makruh Salat pada Waktu Tertentu?


Ketahuilah bahwa ada hikmah yang agung di balik semua kejadian, tidak ada yang sia-sia di balik perintah Allah Yang Maha Bijaksana kepada kita untuk menunaikan shalat dengan sifat-sifat (cara) tertentu. Sayangnya, tidak semua orang memahami hikmah agung tersebut sehingga sebagian orang ada yang berkata bahwa shalat adalah hukum-hukum yang bersifat ta'abbudi (tidak bisa dinalar akal). Sebaliknya, orang yang telah diberi ilmu, hikmah, dan kejernihan mata batin, akan dapat mengerti secara jelas bahwa Allah Yang Maha Bijaksana seperti dokter yang memberikan obat kepada pasien sesuai dengan keadaan yang dikehendaki. Sedangkan jiwa itu bagaikan seorang pasien yang membutuhkan obat dengan sifat dan tata cara tertentu. Sebagaimana yang telah maklum bahwa satu-satunya tujuan dari pembebanan hukum (taklif) kepada kita (manusia) berupa shalat adalah untuk kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat kelak nanti serta agar seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt.

 

Dalam pelaksanaannya, shalat dikerjakan pada waktu-waktu tertentu sebagaimana telah diatur dalam syariat Islam, ada waktu fadhilah (waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat), waktu ikhtiar, jawaz (boleh), makruh bahkan haram. Adapun makruh mengerjakan shalat pada beberapa waktu tertentu adalah merujuk kepada sebuah tradisi orang-orang musyrik melaksanakan ritual ibadah untuk sembahan mereka, yang pada waktu tersebut dimakruhkan mengerjakan shalat bagi umat Islam. Oleh sebab itu, Allah Yang Maha Bijaksana ingin mendidik dan menambah kesempurnaan diri manusia dengan tidak menyerupakan diri kita dengan orang-orang musyrik di dalam ibadah mereka. Termasuk di antaranya adalah manusia dimakruhkan melakukan shalat di hadapan patung atau benda fisik lainnya untuk menghindari fitnah dan menyerupai kaum paganis (penyembah berhala).

 

Hukum makruh mengerjakan shalat pada beberapa waktu tertentu itu hanya berlaku bila dikerjakan di luar Baitul Haram saja, sedangkan bila dikerjakan di dalamnya maka tidak dihukum makruh, sehingga muncul sebuah pertanyaan “kenapa shalat hanya makruh dikerjakan pada waktu-waktu tertentu di tempat lain selain Baitul Haram, namun hukum makruh tersebut tidak berlaku bila shalat dikerjakan di dalam Baitul Haram?” Ini merupakan salah satu keistimewaan yang terdapat pada Baitul Haram. Sebab ketika terdapat eksistensi Baitul Haram dalam diri orang Islam, maka ia tidak akan menyerupakan dirinya dengan orang-orang musyrik dan majusi. Selain itu, karena Baitul Haram adalah rumah pertama yang dibangun untuk manusia.

 

Diriwayatkan bahwa Nabi saw. melarang shalat ketika terbit matahari dan beliau bersabda, “Sesungguhnya waktu tersebut muncul di antara dua tanduk setan yang menghiasi mata orang yang menyembahnya hingga orang tersebut bersujud kepadanya. Di kala matahari naik (terbit), maka jangan lakukan salat. Di kala matahari berada di puncak waktu zuhur, maka jangan lakukan salat. Dan di kala matahari terbenam, maka jangan lakukan salat. Oleh sebab itu janganlah kalian shalat di waktu-waktu tadi (terbit dan terbenam matahari)”. Nabi SAW melarang shalat pada waktu-waktu ini tanpa menjelaskan secara detail. Beliau hanya menyebut secara umum dan global, sekaligus menjelaskan hikmah di balik larangan tersebut, yaitu karena waktu tersebut muncul dari dua tanduk setan. Mengapa demikian? Sebab sebagian orang menyembah matahari dan bersujud padanya ketika muncul matahari sebagai penghormatan pada matahari. Ketika tengah hari untuk menyempurnakan penghormatan tersebut dan ketika terbenam sebagai perpisahan dalam penyembahan.

 

Karena itu, setan datang dan menjadikan matahari di antara dua tanduknya supaya mereka bersujud kepadanya. Dengan kata lain, Nabi saw melarang shalat pada waktu-waktu tersebut agar umat Islam tidak menyerupai (mengikuti) perbuatan para penyembah matahari maka jelaslah semua alasan dimakruhkannya shalat pada waktu-waktu tersebut.

 

 

Sumber: Ali bin Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’ Wa falsafatuh, Cet. Beirut, DKI, 1971, h. 57.

 


Posting Komentar

0 Komentar