Bila Sharaf Induk Segala Ilmu, maka Nahwu Adalah Ayahnya


Di Pesantren, teman-teman santri pasti tidak asing dengan adagium yang satu ini “Ilmu Sharraf adalah induknya ilmu dan ilmu Nahwu adalah bapaknya ilmu” yang kerap disampaikan para guru pengajar untuk memotivasi para siswanya khususnya ditingkat dasar agar lebih bersungguh-sungguh dan mencintai dua ilmu ini. Namun pernahkah ditanyakan alasanya, kenapa ilmu Sharraf disebut sebagai induk ilmu dan Ilmu Nahwu sebagai bapaknya?


Ibarat dalam satu keluarga, tidak mungkin seorang anak dikatakan hebat dan berprestasi di sekolahnya bila tanpa ada peran ayah dan ibu yang melahirkan dan mendidiknya dengan baik. Begitu juga seorang santri tidak bisa disebut alim al-allamah bila tanpa menguasi terlebih dahulu ilmu Sharraf dan Nahwu secara matang karena kedua ilmu ini adalah induk dan ayah yang mengantarkan para santri untuk bisa mengenal semua disiplin ilmu di Pesantren.


Em, dari penelurusan penulis, ternyata adagium di atas dipetik dari maqolah salah satu ulama sharraf yang bernama Syaikh Abu al-Fadhail Hisamuddin Ahmad bin bin Mas’ud (w. 700 H) atau yang dikenal sebutan Ibnu Mas’ud ash-Shorfiy dalam kitabnya yang bernama Marahi al-Arwah fi ash-Shorfi dengan redaksi yang berbunyi:

اعلم أن الصرف أم العلوم والنحو أبوها ويقوى في الدرايات داروها ويطغى في الروايات عاروها

“Ketahuilah, Bahwa ilmu Shorraf adalah induk dari semua ilmu (agama Islam) sedangkan ilmu Nahwu adalah ayahnya. Orang-orang yang alim ilmu Shorraf dan Nahwu akan kuat ilmunya sebaliknya orang-orang yang bodoh (tidak mengetahui)nya semua ilmu yang dikutip dianggap lemah (disangsikan)”.


Kemudian Syaikh Ibnu Kamal Basya Syamsuddin Ahmad bin Sulaiman al-Hanafiy (w. 940 H) saat mengomentari kitab Ibnu Mas’ud ini dalam kitabnya yang bernama al-Falah Syarhu Marahi atau yang disebut Syarhu Marahi al-Arwah fi ash-Shorrfi mengatakan:

وإنما شبة الصرف بالأم في التولد يعني كما أن الأم تلد الولد كذالك الصرف يلد الكلمة إشعارا بشدة احتياج العلوم إليها لأن الأم لايكاد يستغني الولد عنها. فإن قلت فعلي هذا يكون علم الصرف أم الكلمة لا أم العلوم والمقصود هو الثاني. قلت لما كان استفادة العلوم من الكلمات والألفاظ صارت أمًّا لها أيضا. فإن قيل يلزم أن يكون الصرف إما لنفسه لأنه علم مستفاد من الكلمة وألفاظ أيضا. أجيب بأن المراد من العلوم ما عدا الصرف كما أن المنطق ألة لما عداه. (والنحو) وهو علم بأصول يعرف بها أحوال أواخر الكلم من حيث الإعراب والبناء. (أبوها) أي أبو العلوم شبه النحو بالأب في الإصلاح يعني كما أن الأب يصلح أولاده كذلك علم النحو يصلح الكلمات والألفاظ. [الفلاح شرح مراح الأرواح ص : ٣-٤]

Terjemah ringkasnya: “Hanyasanya ilmu Sharaf diumpamakan dengan ibu itu dalam hal melahirkan semua ilmu atau dengan kata lain semua ilmu butuh pada ilmu Sharraf karena secara metaforis dengan mengetahui ilmu ini, satu akar kata akan memungkinkan dijadikan sebagai rahim kelahiran devirasi (proses pembentukan) kalimat (kata dalam bahasa indonesia) yang bervariatif. Sedangkan ilmu Nahwu diumpamakan sebagai abu al-Ulum (ayahnya segala ilmu) karena ilmu ini berperan sebagai penanggung jawab dalam pemiliharaan kalimat yang telah dilahirkan dan menjadi suatu kalam (kalimat dalam bahasa indonesia) dan kata.”


Saya teringat pada sebuah gubahan indah Nadham al-Allamah Syarafuddin Yahya al-‘Imrithi (w. 989 H) yang sangat familar di kalangan santri yang berbunyi:

وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَا … إذِ الْكَلاَمُ دونَهُ لَنْ يُفْهَمَا

“Ilmu Nahwu lebih utama dipelajari terlebih dahulu. Karena tanpanya, perkataan (kalam) tak dapat dipahami.


Sehingga menggugah nurani al-Allamah Syaikh Ibrahim al-Bajuriy (w. 1276 H) untuk menulis sebuah kitab yang tidak kalah Best Seller-nya yang diberi judul Fathu Rabba al-Bariyah ala ad-Durrati li Bahiyati Nadhmi al-Jurmiyah. Dalam kitab ini Syaikh Ibrahim al-Bajuriy turut memberi catatan tentang pentingnya mendahulukan belajar ilmu Nahwu sebelum belajar ilmu lainnya. Kata beliau:

ولهذا اتفق العلماء على أن علم النحو وسيلة لسائر العلوم لاسيما علم التفسير والحديث فانه لا يجوز لاحد ان يتكلم في كلام الله ورسوله حتى يكون مليا بالعربية. فقد قال الاصمعي ان اخوف ما أخاف على طالب العلم اذا لم يعرف النحو ان يدخل في قول النبي صلى الله عليه وسلم من كذب علي معتمدا فليتبوأ مقعده من النار.

“Dan karena alasan ini, ulama’ sepakat bahwa sesungguhnya ilmu Nahwu sebagai wasilah (jalan penghubung) untuk memahami berbagai macam ilmu apalagi ilmu Tafsir (al-Qur’an) dan Hadits karena tidak perkenankan seorang pun berkata dengan Kalamullah ﷻ dan Rasulullah ﷺ sampai dia paham betul bahasa Arab. Al-Imam Al-asmu’i berkata : “Sesungguhnya yang paling saya takutkan adalah orang yang mencari ilmu (agama Islam) ketika tidak pernah mengenal ilmu Nahwu sehingga dia masuk dalam sabda Nabi ﷺ : “Barangsiapa berdusta atas namaku lalu dibuat pegangan maka bersiaplah mengambil tempatnya di Neraka”.

Posting Komentar

0 Komentar