Hukum Mengambil Upah dari Mengajarkan Al-Qur'an/Ilmu Agama


   Agama Islam sangat menjunjung tinggi nilai sebuah ilmu, terlebih ilmu agama, dan tidak di ragukan lagi bahwa, agama Islam sangat memotivasi penganutnya untuk menuntut ilmu karena semua amalan kebaikan yang diperhitungkan oleh Allah SWT di hari akhirat bermuara dari ilmu agama. Sah dan tidaknya suatu amalam kebaikan harus didasari oleh ilmu pengetahuan dari seorang hamba tentang amalan tersebut. Jika amalan tersebut sesuai dengan tuntutan syari’at maka amalan tersebut di anggap sah dan jika tidak maka amalan tersebut tidak diterima (tidak sah).


Seiring perkembangan zaman banyak dikalangan mayoritas muslim yang tidak lagi menganggap penting nilai sebuah ilmu agama, sehingga banyak sekali di antara kalangan masyarakat Indonesia khususnya yang minim persoalan ilmu agama sehingga berefek kepada banyaknya amalan yang menjadi kewajiban syariat di tinggalkan seperti shalat, puasa, zakat dan kewajiban lainnya, terlebih amalan sunah. Hal ini di pengaruhi oleh minimnya pengetahuan masyarakat tentang persoalan ilmu agama atau minimnya motivasi untuk belajar karena beberapa faktor tertentu.

Oleh karena itu, seolah menjadi kewajiban ekstra bagi para guru agama/ustadz-ustadz khususnya dari kalangan pendidikan pesantren untuk memperluas jaringan dan akses bagi masyarakat agar bisa memperolah ilmu agama dengan mudah. Karena, akan sangat disayangkan jika terdapat suatu daerah/tempat dalam satu negeri yang agamanya mayoritas muslim seperti Indonesia, sangat minim pengetahuan ilmu agama. 


Namun dibalik semua itu, seorang ustadz atau guru agama juga manusia  biasa yang tentunya memiliki kebutuhan tersendiri dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk keluarga dan kebutuhan primer lainnya, terlebih faktor ekonomi yang menjadi kebutuhan pokok. Sedangkan untuk melakukan dakwah, baik dalam ruang lingkup kecil ataupun besar, pastinya membutuhkan dana yang mungkin saja lebih banyak dari biasanya. Maka hal ini menjadi persoalan serius yang harus dituntusakan dengan baik.


Dalam menyikapi hal ini, pemerintah pusat juga harus ikut andil dalam menuntaskan kejahilan dalam masyarakat, demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Adapun salah metode yang mungkin saja ditetapkan oleh pemerintah adalah dengan mengutus para ustadz atau  guru pesantren ke daerah tertentu untuk menyampaikan dakwah sehinga berkurangnya kejahilan masyarakat setempat dengan memberikan gaji atau imbalan kepada ustadz tersebut.


Ataupun pihak instansi swasta tertentu yang mampu mendirikan pesantren atau tempat belajar Agama yang menjadikan pesantren tersebut menjadi wadah bagi para ustadz/guru untuk melakukan transportasi ilmu agama dan kemudahan akses bagi masyarakat dalam mendapatkan ilmu  dengan memberikan upah/gaji.


Nah, problematika yang terjadi adalah bagaimana hukumnya bagi seorang ustadz atau guru pesantren mengambil gaji/upah dari pihak tertentu dalam mengajarkan Al-Quran/ilmu agama? Hal ini, tentunya bukanlah hal yang baru, bahkan sudah pernah terjadi pada masa Rasulullah dahulu sampai para ulama di kalangan mutaakhirin dan berlanjut sampai sekarang.


 Untuk menjawab persoalan ini, Syekh Muhammad Ali As-Shabuny salah seorang ualam kontenporer menjelaskan, terjadi perbedaan pendapat di antara beberapa kalangan ulama. Sebagian ulama mengatakan boleh bahkan ada yang berpendapat hukumnya haram. Adapun ulama yang mengharamkan adalah dari kalangan mutaqaddimin, mereka mengambil dalil dari Al-Quran. Dengan firman Allah AWT:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (Q.S. Albaqarah :159)

 


Berdasarkan ayat tersebut mereka mengungkapkan bahwa tidak boleh mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran atau ilmu Agama. Karena, ayat tersebut dengan jelas memerintahkan kita untuk menerangkan ilmu dan menyebarkannya tanpa mengharapkan imbalan, dan tidak berhak bagi seorang insan mengambil upah dari perbuatan yang hukumnya wajib, sama halnya tidak berhak bagi seseorang mengambil upah dari orang lain yang melaksanakan shalat untuk dirinya sendiri. Karena hal itu merupakan bentuk qurbah atau perbuatan yang wajib hukumnya dilakukan atas dirinya.


Adapun kalangan ulama mutaakhirin, memiliki pandangan yang berbeda. seiring perkembangan zaman pada era 400-an Hijriyah, mereka melihat kebanyakan manusia dan masyarakat Islam saat itu sudah sangat minim memiliki minat dan motivasi untuk menuntut ilmu  dan banyak berpaling dan menyibukkan diri dengan berbagai hal duniawi, dari pada mencari ilmu agama dari Kitab Allah. Karena itu, untuk menjaga dan keutuhan Agama, agar ilmu agama tersebar ke seluruh penjuru dunia, para ulama saat itu sepakat untuk membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al-Quran dan ilmu agama. Bahkan sebagian berfatwa hukumnya wajib memberi upah dari pihak tertentu untuk menjaga kokohnya Agama dan sistem dakwah Islam berjalan dengan baik. Seperti firman Allah dalam AL-Quran :



اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَه لَحٰفِظُوْنَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (Q.S. Al-Hijr : 9)

 

     Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat dari dua kalangan ulama ini tentunya disebabkan perbedaan zaman, larangan ulama terdahulu mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran karena masih banyaknya, masyarakat yang memiliki kemauan besar dalam mencari dan mengamalkan ilmu dan Agama Islam Masih sangat kuat pada saat itu. Sedangkan ilmu adalah ibadah dan menganbil upah dari ibadah hukumnya tidak boleh. Dan hal ini berbeda dengan kondisi pada zaman ulama mutaakhirin .

    Dalam beberapa redaksi kitab lain seperti Al-Mausu’ah Al-fiqhiyah, syeikh Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan mengambil jatah atau upah dari baitul-maal sebagai upah dari pengajaran Al-Quran/ilmu agama, atau juga pengajaran ilmu syaria’ah lainnya seperti hadis, tafsir dan lainnya. Adapun upah yang diambil ini  bukanlah sebagai pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong antar sesama dalam ketaatan (ibadah) dan tidak mengubah nilai ibadah dari pengajaran itu sendiri.


Reff :

- Rawa’i Al-bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam. (150-151)

- Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (22/202)

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar