Menyikapi Hikmah Pensyariatan


Istilah syari’at tidak asing lagi didengar oleh kaum muslimin, yaitu segala hukum atau peraturan yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an, lalu ditafsirkan oleh utusannya melalui hadist supaya umat mengerti dan memahami betul tentang agama Islam, yang isinya mengatur seorang muslim dari berbagai sudut ranah kehidupan sesuai tuntutan kehendak dari syari’ sendiri yaitu Allah SWT, baik dalam hal hubungan hamba dengan pencipata yang dinamakan dengan ibadah maupun hubungan hamba sesama hamba yang dinamakan mu’amalah. Kata-kata syari’at sendiri berasal dari bahasa Arab yang secara harfiahnya “jalan yang sampai ke tujuan”.


Kemudian ada beberapa istilah lain yang berhubungan dengan ketetapan hukum dan aturan Allah kepada hamba dengan melihat kepada beberapa tinjaun, di antaranya:

الدين باعتبار انقيادنا لها

Maksud dari kata-kata الدين adalah digunakan atas tunduk dan patuhnya hamba atas segala peraturan dan hukum yang telah ditetapkan.

الملة باعتبار املاء جبريل على النبي صلى الله عليه وسلم

Adapun maksud dari kata-kata الملة yaitu meninjau kepada agama ini bersumber dari hasil dektenya malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW.


Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa disyari’atkannya agama yang dinisbatkan kepada samawiyyah mempunyai beberapa hikmah atau maksud, diantaranya:

  1. Mengenal Allah SWT, mengesakan serta mengagungkan-Nya, kemudian mensifati-Nya dengan segala sifat yang sempurna mulai dari pada sifat yang wajib, mustahil dan yang jaiz.
  2. Mengetahui tata cara dalam menunaikan segala ibadah disertai dengan mengagungkan dan mensyukuri atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, sebagaiman yang telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an yang berbunyi: "وان تعدوا نعمت الله لا تحصواها " Artinya: “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya”. (Q.S. Ibrahim ayat 34).
  3. Memotivasi manusia dalam mengerjakan perkara yang diperintah, menjauhi segala yang dilarang dan mau menghiasi jiwanya dengan keindahan atika atau akhlak yang mulia, sehingga menjadikannya sebagai manusia yang berada pada tingkat derajat yang tinggi. Contohnya syari’at memerintahkan untuk membantu orang lain yang mengalami duka cita, menjaga hak-hak dalam bertetangga, menjaga amanah, sabar dari segala musibah dan lain sebagainya, semua ini dilakukan adalah karena dasar anjuran dari syari’at. Namun bila syari’at tidak menganjurkaannya, maka akal manusia tidak mampu menemukan bahwa membantu orang lain, menolong, menjaga hak-hak orang lain termasuk kedalam perbuatan yang baik atau buruk.
  4. Ditetapkannya segala hukum dan batasan kepada siapa saja yang melampoi batas dari ketentuan yang sudah berlaku dengan diberlakukan segala hukuman atau ganjaran kepada pelaku, mulai dari yang berhubungan dengan jiwa seperti yang diatur dalam kitab jinayat dan qisas, atau yang berhubungan dengan harta sebagaimana yang diatur dalam kitab buyu’ (transaksi jual-beli), dan yang berhubungan dengan kehormatan seperti yang diatur dalam kitab nikah. Maka hikmahnya manusia tidak lagi sewena-wena dalam berinteraksi dengan manusia lain dan mau menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta menjauhkan diri dari nilai ketidak-adilan atau kecurangan.


Ref: Ali bin Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’ Wa falsafatuh, Cet. Beirut, DKI, 1971, h. 10-11.


Posting Komentar

0 Komentar