Adalah kita sebagaimana mestinya, makhluk yang sangat butuh kepada pengetahuan. Toh, yang membedakan kita dengan spesies lain adalah karena nathiq ataupun berpikirnya. Dan berpikir itu pun bukan tidak dilandasi oleh maksud apa pun, maksudnya satu, "pengetahuan". Karena pada dasarnya, kita berpikir, ya, untuk tahu sesuatu.
Namun, pertanyaanya sekarang, apa saja jalan bagi manusia untuk dapat menemukan pengetahuan?
Jadi, epistemologi Islam perlu diketahui memang pada dasarnya berbeda dengan yang diungkapkan oleh kaum barat. Karena mereka hanya menganggap ilmiah di saat hanya dapat ditemukan oleh indrawi. Itu didasari oleh epistemologi mereka yang hanya berporos kepada jalan indrawi.
Sedangkan Islam, epistemologi kita berbeda.
Ada tiga hal yang jadi jalan bagi pengetahuan menurut islam:
1. Hawas salimah (pengetahuan secara indrawi)
Maka, pengetahuan yang berasal dari panca indra yang sehat dan tidak cacat, menurut Islam dianggap ilmiah, dan status keilmiahan kuat, karena ia bersifat aksioma.
2. khabarul shadiq (informasi terpercaya)
Informasi terpercaya menurut Islam juga dapat menjadi asbab pengetahuan bagi makhluk-sehingga ia ilmiah-, karena dalam aturannya, khabar itu baru ia bersifat shadiq (terpercaya) andaikan ia disampaikan dalam skala kelompok yang tidak mungkin terjadi kedustaan padanya. Dan juga andaikan informasi itu disampaikan oleh seorang rasul (utusan Allah) yang penyampaian informasi tersebut dibarengi oleh penguat, mukjizat.
3. Aql (rasionalitas)
Yaps, akal menurut IsIam juga merupakan salah satu jalan untuk dapat menemukan pengetahuan. Karena memang maklum bahwa rasionalitas memiliki peranan besar terhadap pengetahuan bagi manusia, dan itu tidak terbantahkan. Namun, catatannya adalah rasionalitas itu salah satu jalan pengetahuan, bukan satu-satunya.
Akhir kata, epistemologi IsIam yang telah tersampaikan itu menunjukkan bahwa apa yang didapat dari jalan jalan ilmu di atas, ia berhak dan sangat berhak untuk dikatakan ilmiah. Itu jelas sangat berbeda dengan kaum barat yang pemahaman mereka terlalu banyak dipengaruhi oleh dunia empiris.
Dan juga perlu diutarakan sebagai penutup, pelengkap uraian di atas, bahwa kebenaran itu tidak selalu bersifat objektif, kadang kala ia memang subjektif dan tidak ada ruang objektif sama sekali. Lihat saja keadaan rasa lapar! Kebenaran bahwa kita memang lapar itu sifatnya subjektif dan tidak mungkin ada ruang objektif di situ. Karena perasaan lapar itu sifatnya wujdan (perasaan) .
Ref: Syarah Aqaid Nasafiah
0 Komentar