Menggali Makna Kalam Allah: Qadim atau Hadis?


واعلم أن كلام الله يطلق على الكلام النفسي القديم

"Ketahuilah bahwa Kalam Allah terkadang merujuk pada kalam nafsi yang qadim," yaitu sifat yang senantiasa ada dan melekat pada Dzat Allah yang Maha Tinggi. Kalam ini bersifat abadi dan tidak terikat oleh waktu, sehingga merupakan manifestasi dari kebesaran Allah yang tidak memiliki awal dan akhir.


Di sisi lain:

وعلى الكلام اللفظي بمعنى أنه خلقه، وليس لأحد في أصل تركيبه كسب  

Kalam Allah juga dapat merujuk pada kalam lafzi, yaitu ungkapan yang diciptakan-Nya dalam bentuk kata-kata yang kita baca dan dengar. Dalam kalam ini, tidak ada manusia yang berperan dalam susunan atau komposisinya, sebab ia sepenuhnya merupakan karya Allah.


Ketika Sayyidah Aisyah mengatakan:

ما بين دفتي المصحف كلام الله تعالى 

"Apa yang ada di antara dua sampul mushaf adalah Kalam Allah Ta’ala," ia mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an yang kita baca, baik makna maupun lafaznya, merupakan Kalam Allah yang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia. Hal ini mencerminkan keharmonisan antara aspek makna yang qadim dan lafaz yang kita pahami.


Namun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, Sebagian berpendapat bahwa kalam ini:

حقيقي في النفسي مجاز في اللفظي

memiliki sifat hakiki dalam makna, tetapi bersifat majazi atau kiasan dalam bentuk lafaz. Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam Kalam Allah bersifat abadi, sementara lafaz yang kita baca adalah manifestasi sementara yang dapat dimengerti oleh akal manusia.


Mengapa kita tidak boleh menyebut Al-Qur'an sebagai hadis(bahru)? 

ومع كون اللفظ الذي نقرؤه حادثا، لا يجوز أن يقال: القرآن حادث  

Meskipun lafaz yang kita baca adalah hadis, tidak diperbolehkan menyebut Al-Qur'an sebagai hadis dalam konteks umum. Karena walaupun lafaznya diciptakan, maknanya tetap abadi, mengacu pada sifat Allah yang qadim.


Para ulama menekankan pentingnya membedakan antara lafaz dan makna, sebab mengatakan Al-Qur'an hadis secara sembarangan bisa menimbulkan kesalahpahaman.

لأنه يطلق على الصفة القائمة بذاته أيضًا لكن مجازا على الأرجح

Meskipun ia merujuk pada sifat Allah yang qadim, namun dalam bentuk kiasan. Dengan kata lain, sementara lafaznya bisa berubah dan baru, maknanya tetap abadi dan tidak pernah berubah.Ada kekhawatiran bahwa jika seseorang mengatakan "القرآن حادث" Al-Qur'an hadis, ini bisa disalahpahami sebagai penyangkalan terhadap keabadian sifat Allah yang melekat pada-Nya.

فربما يتوهم من إطلاق أن القرآن حادث أن الصفة القائمة بذاته تعالى حادثة

Dikhawatirkan pernyataan tersebut dapat memicu anggapan keliru bahwa sifat-sifat Allah yang qadim adalah sifat-sifat yang hadis atau tidak kekal. Oleh karena itulah, masalah ini begitu sensitif di kalangan para ulama.


Kisah Imam Ahmad bin Hanbal memperkuat pemahaman ini. Ketika dipaksa untuk mengakui bahwa "القرآن مخلوق" Al-Qur'an adalah ciptaan, ia tetap berpegang teguh pada pendapatnya. Ia lebih memilih untuk dipukul dan dipenjara,

 فلذلك ضرب الإمام أحمد بن حنبل وحبس

dipukuli dan dipenjara, daripada menyatakan sesuatu yang tidak ia yakini. Keberanian dan keteguhan beliau dalam menghadapi tekanan mengajarkan kepada kita bahwa menjaga kemurnian aqidah adalah hal yang tidak bisa dikompromikan.


Pendapat Para Ulama tentang Lafaz dan Makna Kalam Allah

Menurut beberapa ulama, termasuk As-Sanusi,

الألفاظ التي نقرؤها تدل على الكلام القديم

 lafaz yang kita baca ini merujuk pada kalam qadim. Namun, pendapat ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam studi yang lebih mendalam. Beberapa lafaz mengandung makna qadim yang abadi, seperti dalam ayat

 اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ

"Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri." Ayat ini menunjukkan sifat abadi Allah yang tidak akan pernah berubah.


Sebaliknya, ada juga lafaz yang mengandung makna temporal, seperti dalam ayat

 إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى

"Sesungguhnya Qarun adalah dari kaum Musa." Ayat ini berkaitan dengan peristiwa sejarah yang terjadi dalam konteks waktu tertentu.


Pada akhirnya, lafaz Al-Qur'an adalah jendela yang membawa kita menuju pemahaman sebagian dari makna Kalam Allah yang qadim. Ia mencakup segala kewajiban, kemungkinan, dan kemustahilan yang menjadi bagian dari sifat abadi-Nya. Misalnya, perintah dalam "أَقِيمُوا الصَّلاةَ" (Dirikanlah shalat) adalah bagian dari tuntutan qadim yang selalu relevan bagi umat manusia.


Melalui ayat-ayat Al-Qur'an, kita dapat memahami betapa Kalam Allah mencakup dimensi makna yang mendalam dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, memberikan kita panduan yang tak lekang oleh zaman.


Ref : Tuhfah Al-Murid hal 95

Posting Komentar

0 Komentar