Lahan ijtihad mencakup dua hal: Satu: Perkara yang tidak ada nash(ayat/hadis).Dua: Terdapat nash tetapi penunjukannya terhadap hukum bersifat zhanni (zhanni dalalah).
Jadi tidak ada ruang ijtihad pada hukum yang telah diketahui secara pasti dari agama. Seperti kewajiban salat lima waktu, puasa, zakat, dan seterusnya. Semua ini tidak boleh menjadi subjek ijtihad, karena terdapat dalil Al-Qur’an yang bersifat qath’i (pasti). Hal serupa juga berlaku untuk hal-hal yang ditegaskan oleh hadis-hadis mutawatir, seperti hadis-hadis tentang zakat yang mutawatir.
Sebaliknya ijtihad hanya diperbolehkan pada hukum yang didasarkan pada teks yang bersifat zhanni (dugaan) baik dari sisi sanad maupun maknanya, atau yang salah satunya bersifat zhanni, serta dalam hukum-hukum yang tidak memiliki dalil atau tidak disepakati secara ijmak.
Maka, apa yang didasarkan pada dalil qath’i atau ijmak bersifat mengikat, dan tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk menyimpang atau menghindarinya.
Apa yang diijtihadkan oleh seorang mujtahid dalam perkara yang bersifat zhanni (dugaan) tidak mengikat mujtahid lain. Namun, bagi orang-orang yang taqlid, mereka wajib mengikuti fatwa mujtahid yang memberikan pendapat kepada mereka, karena ijtihad bersifat zhanni, dan mengikuti dugaan kuat adalah kewajiban, sebagaimana kewajiban untuk mengikuti kebanyakan hadis dalam sunnah yang bukan mutawatir atau masyhur.
Hadis-hadis ahad ini, yang hanya memberikan dugaan kuat, tetap wajib diamalkan berdasarkan banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk mengikuti apa yang dibawa Rasulullah ﷺ.
Ijtihad-ijtihad fikih pada umumnya mengikat bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Namun, berpegang pada satu mazhab fikih tertentu tidaklah wajib secara mutlak. Seseorang boleh meninggalkan mazhab tertentu secara keseluruhan dan mengikuti mazhab lain, atau mengamalkan sebagian pendapat dalam satu mazhab dan mengikuti mazhab lain dalam masalah tertentu.
Hal ini diperbolehkan karena syariat Islam berdiri di atas prinsip kemudahan, toleransi, memperhatikan kebutuhan, mempertimbangkan kondisi darurat, dan mengikuti rukhsah (keringanan) yang dibolehkan secara syar’i. Namun, orang awam dan mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad wajib mengamalkan fatwa dari para ulama yang memiliki otoritas dan bertanya kepada ahli ilmu untuk mengikuti apa yang mereka sampaikan.
Bagi seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat ijtihad, ia boleh mengubah hasil ijtihadnya yang sebelumnya. Ia tidak diperbolehkan untuk taqlid kepada mujtahid lain, dan ijtihad orang lain tidak mengikat dirinya.
Dalam hal ini terdapat keluasan dan fleksibilitas, karena kebenaran itu satu dan tidak beragam. Hanya saja kita tidak tahu mana yang benar di antara berbagai ijtihad, pasalnya wahyu telah usai, kenabian telah selesai, dan agama serta nikmat telah sempurna.
Oleh karena itu, orang yang taqlid boleh meninggalkan hasil ijtihad tertentu dan mengikuti hasil ijtihad lain jika ada kebutuhan atau darurat, tetapi bukan dengan cara yang sembrono, atau dengan sengaja mencari-cari rukhsah (keringanan), atau mengikuti pendapat yang paling mudah demi hawa nafsu, kepentingan pribadi, atau untuk mencapai keinginan dan syahwat.
Sumber : تغير الإجتهات وهبة الزحيلى
0 Komentar