Hukum Meletakkan Kerikil Putih di kuburan



Hukum Meletakkan Kerikil Putih di kuburan

Dalam pandangan Islam manusia sangat dimuliakan baik saat masih hidup maupun sudah meninggalkan dunia ini. Sehingga Islam juga membuat aturan dan kewajiban khusus diperuntukkan untuk ditunaikan kepada seseorang yang sudah meninggal dunia, berupa empat perkara dalam mengurus mayat, dimulai dari memandikan, menyalatkan, mengafani hingga menguburkannya dengan tata cara yang telah dijelaskan oleh para ulama.


Berbicara tentang tahapan akhir, yaitu menguburkan, ada beberapa hal yang mungkin sangat menarik untuk dibahas, baik dari awal mencari tempat dikuburkan, posisi mayat di dalamnya, hingga diselesaikan dengan penaburan kerikil di atasnya yang hukumnya masih rancu di kalangan masyarakat pada umumnya. Membuat kuburan memiliki tata cara dan prinsip panduan tersendiri, seperti lokasi dan pemilihan lahan, arah kiblat, ukuran dan kedalaman, prosedur religius atau tradisional, penandaan makam, bahkan hingga etika dan adab di pemakaman.


Prosedur pemakaman mayat yang benar adalah dengan menggali sebuah lubang yang dapat mencegah bau mayat keluar dari dalam kubur, agar tidak dimangsa hewan buas dan lainnya. Sehingga tidak boleh mayat diletakkan di permukaan tanah dan dibuat bangunan di atasnya. Kemudian Sunah juga untuk meletakkan pelepah hijau seraya mengharapkan tasbihnya yang manfaatnya dapat meringankan mayat dalam kubur. Dan terhadap kuburan milik pribadi makruh untuk membuat bangunan di atas kuburan tanpa adanya hajat/keperluan yang dibenarkan dalam syariah, bahkan dihukumi haram apabila di pemakaman umum.


Salah satu praktik yang sudah lama dilakukan oleh masyarakat ialah meletakkan batu kerikil putih di atas tanah kuburan yang hukumnya masih kurang jelas di kalangan masyarakat, bahkan sebagian pihak menyatakan praktik demikian itu bidah yang dilarang dalam Islam. Sebenarnya benarkah hal demikian tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw atau termasuk ke dalam perkara Sunah, atau makruh, atau diharamkan? Mengingat beberapa hal kecil yang berkaitan dengan kuburan memiliki signifikan hukum yang berbeda-beda.


Mengutip literatur nash kitab-kitab klasik menyatakan bahwa hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan sunah yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dan dianjurkan dalam agama. Ini berlandaskan perbuatan baginda Rasulullah saw. saat menguburkan anaknya Ibrahim, beliau memercikkan air dan menaburkan kerikil-kerikil kecil di atasnya. Hal ini tentunya menjadi landasan yang kuat untuk dijadikan dalil dalam mengerjakannya. Walaupun praktik ini sudah dianggap menjadi adat religius di kalangan masyarakat, sebenarnya ini adalah sebuah amalan yang disunahkan dalam Islam berlandaskan dalil yang kuat.

Sumber:

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ٢/ ١٣٢

(ودفنه في حفرة تمنع) بعد طمها (رائحة) أي ظهورها، (وسبعا) أي نبشه لها، فيأكل الميت

وخرج بحفرة: وضعه بوجه الارض ويبنى عليه ما يمنع ذينك، حيث لم يتعذر الحفر.

 

حاشيتا قليوبي وعميرة ١/ ٤١١

(وَيُوضَعُ عَلَيْهِ حَصًى) رَوَى الشَّافِعِيُّ «أَنَّهُ ﷺ رَشَّ عَلَى قَبْرِ ابْنِهِ إبْرَاهِيمَ مَاءً وَوَضَعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءَ» وَهِيَ بِالْمَدِّ وَبِالْمُوَحَّدَةِ الْحَصَى الصِّغَارُ، وَهُوَ حَدِيثٌ مُرْسَلٌ. (وَعِنْدَ رَأْسِهِ حَجَرٌ أَوْ خَشَبَةٌ) رَوَى أَبُو دَاوُد بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ «أَنَّهُ ﷺ وَضَعَ حَجَرًا أَيْ صَخْرَةً عِنْدَ رَأْسِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ وَقَالَ: أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي» وَأَتَعَلَّمُ بِمَعْنَى عَلَّمَ مِنْ الْعَلَامَةِ.

 

روضة الطالبين وعمدة المفتين ٢/ ١٣٦

فَرْعٌ

الْمُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُزَادَ فِي الْقَبْرِ عَلَى تُرَابِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ، وَلَا يُرْفَعُ إِلَّا قَدْرَ شِبْرٍ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ وَيُحْتَرَمَ. قَالَ فِي (التَّتِمَّةِ): إِلَّا إِذَا مَاتَ مُسْلِمٌ فِي بِلَادِ الْكُفَّارِ، فَلَا يُرْفَعُ قَبْرُهُ، بَلْ يُخْفَى لِئَلَّا يَتَعَرَّضُوا لَهُ إِذَا رَجَعَ الْمُسْلِمُونَ. وَيُكْرَهُ تَجْصِيصُ الْقَبْرِ، وَالْكِتَابَةُ، وَالْبِنَاءُ عَلَيْهِ. وَلَوْ بُنِيَ عَلَيْهِ، هُدِمَ إِنْ كَانَتِ الْمَقْبَرَةُ مُسَبَّلَةً، وَإِنْ كَانَ الْقَبْرُ فِي مِلْكِهِ، فَلَا. وَأَمَّا تَطْيِينُ الْقَبْرِ، فَقَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ، وَالْغَزَّالِيُّ: لَا يُطَيَّنُ، وَلَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ. وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالتَّطْيِينِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُرَشَّ الْمَاءُ عَلَى الْقَبْرِ، وَيُوضَعُ عَلَيْهِ حَصًى، وَأَنْ يُوضَعَ عِنْدَ رَأْسِهِ صَخْرَةٌ، أَوْ خَشَبَةٌ وَنَحْوُهَا.


تحفة المحتاج في شرح المنهاج ٣/ ١٩٩

(وَ) أَنْ (يُوضَعَ عَلَيْهِ حَصًى) صِغَارٌ (وَ) أَنْ (يُوضَعَ عِنْدَ رَأْسِهِ) وَلَوْ أُنْثَى (حَجَرٌ أَوْ خَشَبَةٌ) لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ فِي الْأَوَّلِ الشَّافِعِيُّ فِي قَبْرِ إبْرَاهِيمَ وَالثَّانِي أَبُو دَاوُد بِسَنَدٍ جَيِّدٍ فِي قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ وَفِيهِ التَّعْبِيرُ بِصَخْرَةٍ وَقَضِيَّتُهُ نَدْبُ عِظَمِ الْحَجَرِ وَمِثْلُهُ نَحْوُهُ وَوَجْهُهُ ظَاهِرٌ فَإِنَّ الْقَصْدَ بِذَلِكَ مَعْرِفَةُ قَبْرِ الْمَيِّتِ عَلَى الدَّوَامِ وَلَا يَثْبُتُ كَذَلِكَ إلَّا الْعَظِيمُ قِيلَ وَتُوضَعُ أُخْرَى عِنْدَ رِجْلِهِ وَفِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّهُ خِلَافُ الِاتِّبَاعِ.

 

Posting Komentar

0 Komentar