Mengenal Tiga Tingkatan Puasa dalam Islam

 


Bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat istimewa karena Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk melakukan ibadah puasa. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan keistimewaan ibadah puasa melalui perbandingan dengan Masjidil Haram di Tanah Haram. Masjid dan seluruh bumi adalah milik Allah, tapi Ka’bah itu adalah kehormatan Allah. Begitu pula ibadah puasa, seluruh ibadah memang dilakukan untuk Allah, tapi puasa adalah ibadah yang istimewa karena khusus untuk Allah.

Perlu kita ketahui bahwa puasa itu memiliki 3 tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa sangat khusus. Puasa umum artinya menjaga perut atau kemaluan dari makanan atau hal-hal yang membatalkan, baik itu berupa kenikmatan dan syahwat. Puasa khusus artinya menjaga perut dan kemaluan, serta menjaga pendengaran dari hal-hal tidak berguna atau diharamkan, menjaga mata dari melihat hal-hal yang haram untuk dilihat, serta menjaga tangan dari berbagai hal yang telah dilarang oleh syariat dan hal-hal yang berkaitan dengan ini. Jadi puasa khusus dapat diungkapkan sebagai bentuk menahan diri dari segala hal yang diharamkan. Dan prinsip semacam itu dapat dikategorikan sebagai puasa orang-orang saleh. Agar puasa seperti demikian menjadi sempurna, maka lakukanlah 6 hal berikut ini:  

  1.  Menjaga pandangan agar jangan terus-menerus melihat hal-hal yang dapat memalingkan hati dari zikir kepada Allah dan melupakan manusia untuk mengingat akhirat.
  2.   Menjaga lisan dari ucapan-ucapan kotor, menjerumuskan, bohong, dan menggunjing serta memaksanya agar diam dan tidak berbicara kecuali dalam kebaikan, zikir, dan membaca al-Quran.
  3.   Menjaga telinga dari mendengarkan segala hal yang buruk. Allah telah menyebut, “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS. al-Maidah [5]: 42).“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram” (QS. al-Maidah [5]: 63). Rasulullah bersabda, “Orang yang ghibah (menggunjing) dan yang mendengarkannya telah bersekutu dalam dosa.”
  4.    Menjaga anggota tubuh lainnya dari berbagai perkara haram dan hal-hal buruk, serta menjaga perut pada saat berbuka dari syubhat. Sehingga dia tak akan membatalkan puasa dengan memakan daging manusia melalui ghibah atau menikmati makanan yang diperoleh dari cara yang tidak halal.
  5.     Tidak banyak makan pada waktu berbuka puasa. Karena memenuhi perut dengan makanan akan menjadikan nafsu hewani penuh dengan syahwat. Selain itu, inti dari puasa adalah melemahkan kekuatan yang merupakan sarana setan untuk menggoda. Dan hal ini hanya bisa dicapai dengan sedikit makan. Jika sarana tersebut melemah, maka hati akan menguat dan tabir akan sirna, sehingga manusia mampu melihat keagungan alam semesta dan keindahan ciptaan Allah yang ada di seluruh alam ini dengan mata hati.
  6.       Setelah berbuka puasa, hatinya dalam posisi antara harapan dan kekhawatiran, karena tidak tahu apakah puasanya diterima atau tidak.

Abu halib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub menjelaskan bahwa puasa khusus yaitu, “Menjaga mata agar tidak mengumbar pandangan. Menjaga telinga dari mendengarkanhal-hal yang haram dan berdosa atau mengobrol bersama ahli kebatilan. Menjaga lisan untuk menjauhi pembahasan tentang hal-hal tidak berguna yang jika ditulis akan merugikannya dan jika dihafal juga tidak menguntungkannya. Menjaga hati untuk tidak galau, memutus bisikan dan pikiran yang tidak konkret, serta menjauhi angan-angan yang tidak bermanfaat. Selain itu menjaga tangan dari kesibukan melakukan hal yang haram atau keji, dan menahan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan atau disunahkan, selain kebaikan. Siapa yang berpuasa dilandasi ketaatan dengan 6 anggota tubuh ini, namun membatalkannya dengan makan, minum dan jimak, maka bagi Allah, dia termasuk orang yang berpuasa secara nilai (norma). Karena dia termasuk orang yang yakin dan menjaga aturan-aturan Allah. Siapa yang membatalkan puasa dengan 6 anggota tubuh tadi atau sebagiannya, namun dia menjaga perut dan kemaluan dari hal-hal yang membatalkan puasa, maka yang disia-siakan lebih banyak daripada yang dijaga. Yakni batal puasanya menurut ulama, namun berpuasa menurut dirinya”.
Sementara puasa sangat khusus yaitu mengekang syahwat perut atau kemaluan serta menahan aktivitas hati dan pikiran selain untuk Allah. Yakni sama sekali tidak memikirkan perkara dunia, di mana jika dia memikirkannya atau melanggar sebatas jari sekalipun untuk tidak mengingat Allah, maka dia telah membatalkan puasa. Kecuali jika dia memikirkan sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan wajib ditunaikan. Bahkan sampai kepada level menahan hati, di mana jika sampai memikirkan hal-hal yang membatalkan puasa pada saat terbenam matahari, maka termasuk membatalkan puasa karena pemikirannya tersebut menunjukkan rasa tidak percaya kepada Sang Pencipta dan Pemberi Rezeki, puasa semacam ini khusus untuk para nabi dan rasul.Dalam hadis Qudsi disebutkan, “Setiap perbuatan anak Adam itu untuk dirinya. Kecuali puasa, maka itu untuk-Ku (Allah). Dan Aku yang akan membalasnya.”

Dalam menafsirkan maksud hadis ini, Abu ‘Ubaidah berkata, “Allah mengkhususkan ibadah puasa untuk-Nya. Dan secara khusus, Allah yang akan membalas ibadah puasa tersebut. Padahal semua ibadah itu untuk Allah dan Dia-lah yang akan membalas semua ibadah tersebut. Mengapa demikian? Karena puasa itu tidak nampak dalam ucapan atau perbuatan manusia sehingga menjadi tolok ukur malaikat untuk mencatatnya sebagai amal kebajikan (sebagaimana ibadah-ibadah lain). Namun hakikat puasa terletak pada niat didalam hati serta menahan aktivitas makan dan minum. Semoga Allah menjaga kita sebagaimana Allah mengajari para hamba-Nya adab yang sempurna, norma-norma yang indah, dan hikmah-hikmah yang agung.


Ref :حكمة التشريع وفلسفته

Hal: 97

 

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Bagaimana cara menyetorkan tulisan tulisan tentang islam?, di situs ini? Adakah grup khusus. Jika ada izin bergabung ingin menyetorkan tulisan agar bermanfaat bagi sesama muslim. Terimakasih.

    BalasHapus