Pendidikan adalah suatu proses yang sangat penting untuk membenahi kepribadian seseorang dalam membentuk karakter yang benar dan memiliki modal dalam hidup di dunia hingga ke akhirat kelak. Dari mulai terciptanya sistem pendidikan yang begitu sistematis, sehingga seseorang dianggap telah menguasai ilmu di dalam sebuah pendidikan serta dapat diyakini kemahirannya dalam menguasai sebuah ilmu, maka pertimbangannya ada di surat akhir kelulusan atau dikenal dengan ijazah, dengan adanya nilai dan beberapa keterangan terkait pelajar pada masa belajarnya.
Dalam institusi pendidikan sekarang, baik swasta maupun negeri, telah banyak yang menerapkan praktik bayar denda berupa uang tunai terhadap pelajar yang telat mengambil ijazah atau surat kelulusan. Hal ini menimbulkan tanda tanya di dalam kalangan masyarakat, apakah hal tersebut dibenarkan dan dilegalitaskan dalam pandangan syara’ ataupun dilarang, bahkan yang menjadi masalah besarnya adalah Apakah denda terhadap orang yang telat mengambil ijazah termasuk takzir bil mal?
Pada kasus ini, terlebih baiknya mengetahui atas alasan apa sebuah institusi pendidikan mengambil keputusan sedemikian rupa dan bagaimana kriteria yang dihukumi takzir bil mal yang telah dilarang oleh syariah. Nah, takzir ialah denda yang wajib untuk dibayar dan dituntaskan, mal bermakna harta, sehingga maksud dari takzir bil mal ialah memberikan sebuah denda dalam bentuk harta benda yang jelas tidak mendapat legalitas para ulama.
Di dalam kitab Hasyiah al-‘Amirah telah dijelaskan bahwa takzir/denda dengan menggunakan harta tidak dibolehkan menurut pendapat jadid imam Syafi’i dengan keterangan sebagai berikut :
وَلَا يَجُوزُ عَلَى الْجَدِيدِ بِأَخْذِ الْمَالِ
Dalam kasus ini, pihak yang menangani ijazah atau surat kelulusan akhir di sebuah lembaga pendidikan boleh meminta sejumlah uang dari pelajar sebagai ongkos/upah (ujrah) terhadap pemeliharaan atau penjagaan ijazah, karena ijazah merupakan titipan dan amanah dari kementerian pusat untuk dijaga dengan sangat ketat dan diserahkan kepada pemiliknya, sehingga jika terjadi masalah pada ijazah (seperti hilang, rusak, dll) sehingga tidak sampai kepada pemiliknya, maka pihak institusi wajib bertanggung jawab dengan pihak kementerian pusat.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa uang tunai pembayaran yang dibayar oleh pelajar ketika telat mengambil ijazah dari tanggal akhir yang sudah ditetapkan oleh institusi pendidikan bukanlah bagian dari denda menggunakan harta (takzir bil mal), melainkan hal ini termasuk dalam kategori wadi’ah bil ujrah yakni penitipan barang yang didasarkan dengan adanya ongkos atau upah dan bukan berupa takzir bil mal.
Sumber:
حاشية عميرة ٤/ ٢٠٦
وَلَا يَجُوزُ عَلَى الْجَدِيدِ بِأَخْذِ الْمَال.
ابن حجر الهيتمي ,تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشى الشرواني والعبادي ,٧/١٠٠
*(فَإِنْ وَثُقَ) بِأَمَانَةِ نَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَى حِفْظِهَا (اُسْتُحِبَّ) لَهُ قَبُولُهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ التَّعَاوُنِ الْمَأْمُورِ بِهِ وَمَحَلُّهُ إنْ لَمْ يَخَفْ الْمَالِكُ مِنْ ضَيَاعِهَا لَوْ تَرَكَهَا عِنْدَهُ أَيْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ وَإِلَّا لَزِمَهُ قَبُولُهَا حَيْثُ لَمْ يَخْشَ مِنْهُ ضَرَرًا يَلْحَقُهُ أَخْذًا مِمَّا ذَكَرُوهُ فِي الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَإِنْ تَعَيَّنَ لَكِنْ لَا مَجَّانًا بَلْ بِأُجْرَةٍ لِعَمَلِهِ وَحِرْزِهِ؛ *لِأَنَّ الْأَصَحَّ جَوَازُ أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى الْوَاجِبِ الْعَيْنِيِّ كَإِنْقَاذِ غَرِيقٍ وَتَعْلِيمِ نَحْوِ الْفَاتِحَةِ، وَلَوْ تَعَدَّدَ الْأُمَنَاءُ الْقَادِرُونَ فَالْأَوْجَهُ تَعَيُّنُهَا عَلَى كُلِّ مَنْ سَأَلَهُ مِنْهُمْ لِئَلَّا يُؤَدِّيَ التَّوَاكُلُ إلَى تَلَفِهَا وَيَظْهَرُ فِيمَا لَوْ عَلِمُوا حَاجَتَهُ إلَى الْإِيدَاعِ لَكِنَّهُ لَمْ يَسْأَلْ أَحَدًا مِنْهُمْ أَنَّهُ لَا وُجُوبَ هُنَا؛ لِأَنَّهُ لَا تَوَاكُلَ حِينَئِذٍ وَأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِكُلٍّ مِنْهُمْ أَنْ يَعْرِضَ لَهُ بِقَبُولِهِ الْإِيدَاعَ إنْ أَرَادَهُ وَقَدْ يَشْمَلُ الْمَتْنُ هَذِهِ الصُّورَةَ
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ٤/١٢٦
(فَإِنْ) قَدَرَ عَلَى حِفْظِهَا، وَ(وَثِقَ) بِأَمَانَةِ نَفْسِهِ فِيهَا (اُسْتُحِبَّ) لَهُ قَبُولُهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ التَّعَاوُنِ الْمَأْمُورِ بِهِ، هَذَا إذَا لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ غَيْرُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ كَأَدَاءِ الشَّهَادَةِ لَكِنْ بِالْأُجْرَةِ.
قَالَ الرَّافِعِيُّ: وَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى أَصْلِ الْقَبُولِ كَمَا بَيَّنَهُ السَّرَخْسِيُّ دُونَ إتْلَافِ مَنْفَعَتِهِ وَمَنْفَعَةِ حِرْزِهِ فِي الْحِفْظِ بَلَا عِوَضٍ، وَقَضِيَّتُهُ أَنَّ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أُجْرَةَ الْحِفْظِ كَمَا يَأْخُذَ أُجْرَةَ الْحِرْزِ، وَمَنَعَهُ الْفَارِقِيُّ وَابْنُ أَبِي عَصْرُونٍ؛ لِأَنَّهُ صَارَ وَاجِبًا عَلَيْهِ فَأَشْبَهَ سَائِرَ الْوَاجِبَاتِ وَالْمُعْتَمَدُ الْأَوَّلُ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الْأَصْحَابِ، وَقَدْ تُؤْخَذُ الْأُجْرَةُ عَلَى الْوَاجِبِ كَمَا فِي سَقْيِ اللِّبَأِ.
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ٦/١١١
(فَإِنْ وَثِقَ) بِأَمَانَةِ نَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَى حِفْظِهَا (اُسْتُحِبَّ) لَهُ قَبُولُهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ التَّعَاوُنِ الْمَأْمُورِ بِهِ وَمَحَلُّهُ إنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ عَلَيْهِ، فَإِنْ تَعَيَّنَ بِأَنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ غَيْرُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ كَأَدَاءِ الشَّهَادَةِ.
0 Komentar