Jaga Lisan, Jaga Iman: Etika Bicara dalam Islam yang Sering Terlupa



 

Ketahuilah bahwa setiap orang yang telah dibebani kewajiban syariat (mukallaf) seharusnya menjaga lisannya dari semua bentuk ucapan, kecuali ucapan yang jelas mengandung maslahat. Dan apabila antara berbicara dan diam itu seimbang dalam maslahatnya, maka sunnahnya adalah diam, karena ucapan yang mubah bisa saja mengarah kepada yang haram atau makruh, bahkan hal ini sering atau umumnya terjadi serta keselamatan (dari keburukan lisan) tidak ada bandingannya dengan apa pun.

Nabi Muhammad bersabda:Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (HR. Bukhari & Muslim). Di zaman digital ini, kata-kata bisa tersebar lebih cepat dari cahaya. Ucapan lisan berpindah menjadi status media sosial, komentar, atau pesan instan yang bisa menyentuh ribuan orang hanya dengan satu klik. Tapi seberapa sering kita berpikir dua kali sebelum berbicara atau sebelum mengetik?

Dalam Islam, menjaga lisan bukan sekadar etika sosial, tapi bagian dari iman. Rasulullah menjadikan lisan sebagai barometer keimanan dan keselamatan akhirat. Maka, sudah saatnya kita menengok kembali warisan ajaran Islam tentang pentingnya menahan kata, berkata yang baik, dan diam bila perlu. Lisan Selalu dalam Pengawasan Ilahi

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ 

Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir”.  (QS. Qaf: 18).

 

Ayat ini menjadi pengingat bahwa tidak ada ucapan yang luput dari catatan. Bahkan dalam ayat lain, Allah mengingatkan:

اِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِۗ

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi. (QS. Al-Fajr: 14).

 

Apa pun yang kita ucapkan, disengaja atau tidak, akan tercatat. Maka berhati-hatilah karena lisan bukan hanya bagian dari diri, tapi juga bagian dari hisab kelak di akhirat.

 

Berkata Baik atau Diam: Saring Sebelum Sharing

Hadis dari Abu Hurairah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda:Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menyatakan bahwa berkata baik bukan hanya sekadar adab, tapi indikator keimanan. Jika ucapan kita tidak mendatangkan manfaat apalagi bisa menyakiti maka diam adalah pilihan paling selamat.

Imam Syafi’i rahimahullah bahkan berkata: “Jika seseorang hendak berbicara, hendaklah ia berpikir. Bila tampak maslahatnya, barulah ia berbicara. Jika ragu, lebih baik diam sampai jelas manfaatnya.”

Betapa banyak dari kita yang menyesal karena perkataan yang sudah terlanjur keluar. Dalam satu hadis yang menggugah, Rasulullah bersabda:  Sesungguhnya seorang hamba bisa mengucapkan satu kata tanpa memikirkannya, dan karenanya ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain, Nabi ditanya: Siapa muslim terbaik?, Beliau menjawab:Yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Coba kita renungkan seberapa aman orang lain dari ucapan kita? Apakah kita mudah bergunjing, menyindir, atau menyakiti orang lain lewat kata-kata, baik langsung maupun di dunia maya?. Kita hidup di masa di mana setiap orang bisa jadi “penyiar.” Tapi tidak semua orang jadi penyampai kebaikan. Ujaran kebencian, fitnah, dan ghibah digital tumbuh subur  padahal Islam justru meminta kita menahan diri, bahkan dari ucapan yang sekadar “netral” jika tidak ada manfaatnya. Sebagian orang merasa aman berkata apa saja karena “hanya bercanda,” atau “hanya menyalurkan pendapat.” Tapi Rasulullah sudah mengingatkan bahwa:Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisan), dan apa yang ada di antara kedua pahanya (kemaluan), maka aku jamin ia masuk surga”. (HR. Bukhari).

            Islam tidak melarang bicara, bahkan banyak ucapan yang berpahala: zikir, nasihat, ilmu, atau kata-kata lembut pada sesama. Tapi selebihnya, kita diminta waspada. Tidak semua yang bisa diucapkan perlu diucapkan. Jaga lisan  karena ia bisa menjadi jalan ke surga, atau jerat ke neraka.

 

Referensi: Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Adzkar (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. ke-1, 1425 H/2004 M), h.528-530.

 

Posting Komentar

0 Komentar