Bulan Rabiul Awal
menempati posisi yang sangat istimewa dalam sejarah Islam. Di bulan inilah
lahir manusia agung yang menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta, Nabi
Muhammad SAW. Menurut riwayat yang masyhur, beliau dilahirkan pada hari Senin,
tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan Tahun Gajah, sebuah peristiwa besar yang menjadi titik
awal transformasi peradaban manusia melalui risalah Islam.
Kehadiran Rabiul Awal
setiap tahun menjadi momen yang sangat dinanti oleh umat Islam, khususnya di
Indonesia. Suasana syukur, cinta, dan kerinduan kepada Nabi SAW terpancar
melalui berbagai bentuk perayaan Maulid yang tidak hanya bernuansa religius,
tetapi juga sarat dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Tradisi
pembacaan maulid, pengajian, pawai, hingga sedekah makanan adalah ekspresi
kegembiraan yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk
penghormatan kepada sang pembawa cahaya.
Perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW kerap diselenggarakan secara kolektif dalam lingkungan
masyarakat maupun secara individual di lingkup keluarga. Pelaksanaannya tentu
membutuhkan biaya yang bervariasi, mulai dari nominal yang sederhana hingga
mencapai angka jutaan rupiah, tergantung pada skala dan bentuk perayaannya, dan bersedekah dengan mengeluarkan biaya untuk
perayaan maulid merupakan salah satu bentuk syukur kepada Allah SWT atas
lahirnya baginda rasulullah SAW, sebagaimana imam as-syiyuthi menyatakan:
والشكر لله
تعالى يحصل بأنواع العبادات كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من
النعمة ببروز هذا النبي صلى الله عليه وسلم الذي هو نبي الرحمة في ذلك اليوم
Artinya: Rasa syukur kepada Allah Ta'ala dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Alquran, dan ibadah lainnya. Lantas, adakah nikmat yang lebih agung daripada kelahiran Nabi di hari tersebut, sedangkan dia adalah Nabi Rahmat (penuh kasih sayang)?. (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Husnu al-Maqshid fi Amal al-Mawlid, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, hal. 63).
Hal ini tidak berlaku kepada seseorang yang memiliki utang dan ditagih oleh pemiliknya, karena wajib segera melunasi utang tersebut dan Haram menyedekahkan uang yang semestinya untuk melunasi utang walaupun untuk perayaan maulid Nabi.
وَقَدْ وَجَبَ وَفَاءُ الدَّيْنِ عَلَى الْفَوْرِ بِمُطَالَبَةٍ أَوْ
غَيْرِهَا، فَالْوَجْهُ وُجُوبُ الْمُبَادَرَةِ إلَى إيفَائِهِ وَتَحْرِيمُ
الصَّدَقَةِ بِمَا يَتَوَجَّهُ إلَيْهِ دَفْعُهُ فِي دَيْنِهِ كَمَا قَالَهُ
الْأَذْرَعِيُّ
Artinya: “Wajib hukumnya melunasi utang secara langsung (segera, tanpa ditunda-tunda), baik karena ditagih maupun karena alasan lain. Maka tindakan yang seharusnya adalah segera memenuhi kewajiban tersebut, dan diharamkan bersedekah dengan harta yang seharusnya digunakan untuk melunasi utangnya.” (Syekh Khatib Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994, jld. IV, hal. 194) dan (Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, Dar al-Kutub al-Islamy, jld. I, hal. 407).
Dapat dipahami bahwa haram hukumnya mengeluarkan biaya untuk perayaan maulid Nabi jika berdampak kepada tidak mampu melunasi utang karena terlanjur kehabisan uang untuk bersedakah. Sebagaiman Imam Nawawi telah mentarjih (menyatakan pendapat yang paling kuat) untuk hal demikian:
قلت: الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه النفقة من تلزمه نفقته أو لدين لا يرجو
له وفاء والله أعلم
Artinya: "Imam Nawawi berkata: Pendapat kuat adalah haramnya bersedekah dengan sesuatu yang dibutuhkannya untuk nafkah orang yang wajib ia nafkahi, atau untuk membayar utang yang tidak ada harapan bisa dilunasi. Dan Allah Maha mengetahui." (Imam Nawawi, Minhaj al-Thalibin, Dar al-Fikr, hal. 203).
Sedekah diharamkan dalam kondisi tersebut karena membayar utang hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan untuk sesuatu yang sunnah.
وَأَمَّا تَقْدِيمُ الدَّيْنِ فَلِأَنَّ أَدَاءَهُ وَاجِبٌ فَيَتَقَدَّمُ
عَلَى الْمَسْنُونِ، فَإِنْ رَجَا لَهُ وَفَاءً مِنْ جِهَةٍ أُخْرَى ظَاهِرَةٍ
فَلَا بَأْسَ بِالتَّصَدُّقِ بِهِ إلَّا إنْ حَصَلَ بِذَلِكَ تَأْخِيرٌ
Artinya, “Adapun mendahulukan pelunasan utang, hal itu dikarenakan membayar utang adalah kewajiban yang harus didahulukan daripada amalan sunnah. Namun, jika ia berharap akan ada pelunasan dari sumber lain yang jelas, maka tidak mengapa bersedekah dengan harta itu, kecuali jika dengan itu menyebabkan penundaan (dalam membayar utangnya)." (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994, jld. IV, hal. 197).
Oleh karena itu, dalam perspektif fikih Syafi`iyyah, seseorang wajib mendahulukan pelunasan utang daripada mengalokasikan dana untuk keperluan perayaan Maulid Nabi SAW yang tergolong sebagai amalan sunnah, bahkan sekalipun hal tersebut bernilai sedekah. Apabila seseorang memiliki utang dan ditagih oleh kreditur, maka ia berkewajiban untuk segera melunasinya. Demikian pula, jika dana digunakan untuk keperluan lain termasuk perayaan maulid sehingga tidak ada harapan untuk melunasi utang, maka tidak diperbolehkan dan hukumnya haram.
(Sekian Terimakasih)
0 Komentar