Sebuah bahtera yang besar dan kokoh tentu tidak akan berlayar tanpa nahkoda. Sang Nahkoda yang perkasa sekaligus bijak akan memegang kemudi dengan hati-hati, menjaga arah, membaca tanda-tanda alam, dan memastikan seluruh awak serta penumpang selamat hingga sampai tujuan.
Begitu pula dalam rumah tangga. Ada seorang pemimpin atau suami, yang menjaga, merawat, dan mengarahkan perjalanan hidup. Dialah yang menuntun keluarga agar tetap berada di jalur yang benar, mengarahkan ke tujuan yang mulia, serta menjaga keseimbangan di tengah gelombang ujian kehidupan.
Dalam perjalanan hidup, seorang suami terkadang menghadapi ujian internal atau eksternal. Ujian internal adalah ujian atau tantangan yang berada dalam ruang lingkup keluarga, seperti masalah antara suami dan istri, anak dan istri, anak dan suami. Hal ini, sebuah hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan setiap pemimpin keluarga pernah mengalaminya.
Diantara masalah internal yang paling parah adalah masalah antara suami dan istri yang kerap berakhir pada bangku pengadilan dan berujung perceraian. Lantas, bagaimana sikap seorang suami saat dihadapkan dengan kasus seperti ini, sehingga hal demikan bisa menjadi solusi dan keputusan yang baik, bukan langsung berakhir pada perceraian.
Cara menyikapi perilaku istri
Sebelumnya, mari kita simak terlebih dahulu
sabda Nabi ﷺ yang memberikan penjelasan
tentang sifat dan karakteristik wanita. Beliau bersabda:
إِنَّ المرأةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضِلَعٍ، وإِنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقامَةَ الضِلَعِ تكْسِرُهَا، فدارِها تَعِشْ بِها
Artinya: “Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk. Jika engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Maka perlakukanlah ia dengan baik, niscaya engkau dapat hidup bersamanya”.
Kata ḍila‘ (jamaknya ḍulū‘) berarti tulang di sisi badan, bengkoknya tulang rusuk adalah perumpamaan bagi tabiat perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Bagian yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Sebagian ulama menafsirkan ini sebagai perumpamaan bagi lisan, karena dari sanalah sering muncul “kebengkokan”.
Jika seorang suami berusaha “meluruskan” istri secara keras dan memaksa kesempurnaan padanya, itu hanya akan “mematahkannya” (perceraian). Jika ia membiarkannya, maka kebengkokan itu akan tetap ada. Jalan terbaik adalah bersabar, berbuat baik, dan memperlakukan istri dengan penuh kelembutan.
Dalam hadis yang lain juga Rasulullah senada dengan hal demikian, bahwa beliau bersabda;
واسْتَوْصُوا بالنِّساءِ
خَيْرًا؛ فإنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِن ضِلَعٍ، وإنَّ أعْوَجَ شَيءٍ في الضِّلَعِ
أعْلاهُ، فإنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وإنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ
أعْوَجَ، فاسْتَوْصُوا بالنِّساءِ خَيْرًا.
Artinya: dan berwasiatlah kalian agar berbuat baik kepada para wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya, engkau akan mematahkannya; dan jika engkau biarkan, ia akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.”
Dua wasiat penting dalam hadis di atas adalah pesan moral secara tersirat kepada suami agar memperlakukan istri dengan penuh kebaikan dan kesabaran sebagaimana diajarkan Islam. Hal ini karena sejak asal penciptaannya, perempuan memiliki sifat “bengkok” seperti tulang rusuk. Jika suami bersikeras meluruskan kekurangan tersbut hanya akan memperbesar masalah dan berakibat fatal. Oleh karenanya, suami dituntut untuk selalu bersabar dan tabah atas sifat dan perilaku istri agar ikatan pernikahan selalu kuat, kokoh dan keharmonisan tetap terjaga mulai di dunia sampai akhirat kelak.
0 Komentar