Shalat merupakan kewajiban utama
dalam islam dan akan menjadi amalan pertama yang diperiksa oleh allah swt di
akhirat kelak. Shalat juga menjadi tolak ukur terhadap kehidupan seorang hamba.
Artinya, bila baik dan benar shalatnya sesuai dengan ketentuan maka baik pula
seluruh amalnya, juga berlaku sebalikknya, jika shalatnya rusak, maka rusak
pula seluruh amalnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
أَوَّلُ مَا
يُحَاسَبُ عَلَيْهِ اْلعَبْدُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ اَلصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ
صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amalan hamba yang pertama dihisab di
hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka baiklah seluruh
amalnya. Dan jika shalatnya rusak, rusaklah semua amalnya.”
Shalat yang diterima disisi Allah
adalah yang memenuhi syarat dan rukunnya. Salah satu rukun shalat adalah
berdiri bagi yang mampu, hal ini ditetapkan oleh rasulullah SAW ketika sahabat
imran bin husin yang terkena wasir bertanya tentang tata cara shalat dalam
keadaan sakit. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh imam bukhari, Nabi SAW
Bersabda:
عَنِ ابْنِ
بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي
بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الصَّلاَةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ رواه البخاري
“Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah,
dari Imran bin Hushain RA, ia berkata, ‘Aku menderita penyakit wasir, lalu aku
bertanya tentang shalat (dalam kondisi sakit) kepada Nabi SAW, kemudian beliau
menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, dan
bila tidak mampu maka dengan tidur miring.”
Hadits ini menjadi dalil terhadap
kewajiban berdiri dalam shalat bagi yang mampu. Lalu bagaimana batasan
seseorang dianggap berdiri? Imam Nawawi dalam kitab minhaj al-Thalibin menjelaskan:
الثالث: القيام
في فرض القادر وشرطه نصب فقاره فإن وقف منحنيا أو مائلا بحيث لا يسمى قائما لم يصح
فإن لم يطق انتصابا وصار كراكع فالصحيح أنه يقف كذلك ويزيد انحناءه لركوعه إن قدر
ولو أمكنه القيام دون الركوع والسجود قام وفعلهما بقدر إمكانه
“ketiga: berdiri dalam shalat fardhu
bagi orang yang mampu. Syaratnya adalah menegakkan tulang belakangnya. Jika ia
berdiri dengan posisi membungkuk atau miring sehingga tidak lagi disebut
berdiri, maka shalatnya tidak sah. Apabila ia tidak mampu berdiri tegak dan
posisinya seperti orang rukuk, maka menurut pendapat yang sahih, ia tetap wajib
berdiri dengan cara demikian, lalu menambah sedikit lagi membungkuk kan
badannya ketika hendak rukuk jika masih mampu.”
Dengan demikian, kewajiban berdiri
bagi orang yang mampu tidak bisa serta-merta digantikan dengan posisi duduk.
Misalnya, jika seseorang hanya mampu berdiri sampai kadar bacaan Al-Fatihah,
kemudian tidak mampu dalam kadar bacaan surat, maka ia wajib berdiri sampai
bacaan Al-Fatihah-nya sempurna, kemudian duduk ketika membaca surat, lalu
berdiri lagi untuk melakukan rukuk dan seterusnya, hal ini sebagaimana
disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj.
فَإِذَا كَانَ
يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ
السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ
السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ وَهَكَذَا
Artinya: “Jika seseorang mampu
berdiri sampai bacaan al-Fatihah lalu tidak mampu untuk bacaan surat, maka ia
wajib berdiri sampai al-Fatihah selesai, lalu duduk ketika membaca surat,
kemudian berdiri lagi untuk rukuk, dan demikian seterusnya.”
Duduk dapat menjadi pengganti berdiri
hanya ketika seseorang benar-benar tidak mampu berdiri, atau mengalami
masyaqqah (kesulitan berat) yang dapat menghilangkan kekhusyukan shalat.
Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarḥ al-Kabīr, dalam kondisi demikian barulah
duduk diperbolehkan.
Kewajiban berdiri ini hanya berlaku
untuk shalatfardhu. Dalam shalat sunnah, seseorang boleh melakukannya dengan
duduk, bahkan berbaring, meskipun jika dilakukan sambil berdiri pahalanya lebih
besar. Nabi SAW bersabda:
من صلى قائماً
فهو أفضل، ومن صلّى قاعداً فله نصف أجر القائم، ومن صلى نائماً فله نصف أجر القاعد
Artinya: “Orang yang shalat sambil
berdiri adalah yang paling baik. Orang yang shalat sambil duduk mendapat pahala
setengah dari yang berdiri. Orang yang shalat sambil berbaring mendapat pahala
setengah dari yang duduk.”
Lalu bagaimana posisi duduk sebagai
pengganti berdiri? Bagi orang yang tidak mampu berdiri, ulama membolehkan duduk
dengan posisi apa saja. Namun, duduk dengan cara iq‘ā’ (duduk menegakkan kedua
kaki dan bertumpu pada pantat) hukumnya makruh. Sedangkan posisi yang paling
utama adalah iftirāsy(duduk sebagaimana tasyahud awal). Imam an-Nawawi dalam
Minhāj al-Ṭālibīn menegaskan:
ولو عجز عن
القيام قعد كيف شاء وافتراشه أفضل من تربعه في الأظهر ويكره الإقعاء
Artinya: “Jika seseorang tidak mampu berdiri, maka ia duduk sesuai kemampuannya. Duduk dengan posisi iftirāsy lebih utama daripada duduk bersila menurutpendapat yang lebih kuat. Sedangkan duduk dengancara iq‘ā’ hukumnya makruh.”
Wallāhu a‘lam.
0 Komentar