Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam yang agung, dan keabsahannya banyak bergantung pada kedudukan seorang imam. Oleh karena itu, pembahasan mengenai sifat dan kondisi imam menjadi penting, termasuk ketika imam memiliki penyakit was-was (keraguan berlebihan dalam ibadah) atau memanjangkan bacaan yang dapat memberatkan makmum.
Dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Imam Ibnu Hajar al-Haitami menjawab pertanyaan seputar masalah ini, sekaligus menjelaskan perbedaan antara imam yang terkena was-was dengan orang yang sekadar ragu (syakk).
Hukum Berjamaah dengan Imam yang Was-was
Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa shalat di belakang imam yang was-was tetap sah. Namun, Abu al-Futuh al-‘Ajli dalam Nukat al-Wasith menyatakan bahwa hukumnya makruh, sebab imam yang was-was sering meragukan amalan dirinya sendiri. Dengan demikian, lebih utama shalat berjamaah bersama imam lain, meskipun jumlah jamaahnya lebih sedikit.
Ibn al-‘Imad menambahkan, seorang pengawas atau penanggung jawab masjid wajib mencopot imam yang terkena was-was, karena was-was merupakan bid‘ah yang tercela. Bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah mencopot seorang imam hanya karena meludah di dalam masjid.
Namun, Ibnu Hajar memberi catatan bahwa kewajiban mencopot tersebut masih perlu ditinjau. Hadis yang dijadikan dalil lebih tepat dipahami sebagai boleh (jawaz), bukan wajib. Maka, menurut beliau, seorang imam tidak boleh diberhentikan jika shalatnya sah dan tidak menyusahkan makmum dengan memperlambat atau memperpanjang bacaan.
Perbedaan antara Ragu dan Was-was.
1. Syak (ragu) muncul karena ada tanda. Contohnya meninggalkan pakaian yang sudah biasa terkena najis atau meninggalkan shalat di belakang orang yang suka bermudah-mudah dalam membersihkan najis. Dalam keadaan seperti ini, asal hukum yaitu suci telah tertentang oleh dugaan kuat adanya najis sehingga sikap hati-hati memang dibenarkan.
2. Was-was berbeda dengan syak. Was-was menghukumi sesuatu sebagai najis tanpa tanda sama sekali. Misalnya mencuci pakaian baru atau pakaian yang baru dibeli hanya karena kehati-hatian padahal tidak ada bukti najis. Hal ini termasuk bidah sebagaimana ditegaskan oleh Imam an Nawawi. Maka bentuk kehati-hatian yang benar adalah meninggalkan kehati-hatian yang berlebihan itu.
Hakikat was-was adalah memperkirakan sesuatu yang tidak terjadi seolah-olah terjadi. Misalnya membayangkan ada najis mengenai pakaian lalu menetapkannya ada padahal tanpa dalil yang jelas.
Abu al Futuh al Ajli menjelaskan bahwa was-was adalah memperkirakan sesuatu yang belum pernah ada lalu dibayangkan seandainya ada bagaimana bentuknya kemudian ditetapkan seakan nyata hingga dianggap wajib disucikan.
Banyak orang yang terkena was-was terjebak dalam shalat. Ia bertakbir kemudian salam lalu bertakbir lagi lalu salam lagi berulang-ulang. Dengan begitu ia berada di antara dua keharaman. Jika shalatnya sudah sah maka haram keluar darinya dan menurut pendapat yang kuat tidak ada kewajiban qadha meskipun banyak ulama yang mewajibkannya. Jika shalatnya tidak sah maka haram baginya salam karena ia keluar dari ibadah yang rusak.
Beda ragu dengan was-was. Dan hukum mencuci pakaian barus bagian dari bid'ah
Referensi:
( وسئل) ابن حجر عن الاقتداء بالموسوس هل يصح أم لا؟ وعن الفرق بين الوسوسة والشك؟ (فأجاب) بأن الصلاة خلفه صحيحة إلا أنها مكروهة، لأنه يشك في أفعال نفسه. والفرق بين الوسوسة والشك، أن الشك يكون بعلامة، كترك ثياب من عادته مباشرة النجاسة، والاحتياط هنا مطلوب، بخلاف الوسوسة، فإنها الحكم بالنجاسة من غير علامة، بأن لم يعارض الأصل شئ، كإرادة غسل ثوب جديد اشتراه احتياطا، وذلك من البدع. كما صرح به النووي في شرح المهذب. فالاحتياط حينئذ ترك هذا الاحتياط. اهـ.
I'anatut Thalibin Jilid 2. Halaman 56.
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Juz 1, Hal. 220, Cet. Maktabah al-Islamiyyah
0 Komentar