Syeikh Muda waly al Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy Syeikh Masyayikh Aceh. Bagian I

abuya Muda waly al KhalidyAbuya Syeikh Muhammad Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang keAceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syeikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syeikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syeikh Muhammad salim sangat menyayangi Sheikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syeikh Muda Waly kecil selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syeikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syeikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya .

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Beliau di panggil dengan Angku Mudo karena beliau telah alim padahal usia beliau masih sangat kecil. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly dan sekarang lebih dikenal dengan Abuya Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammad Waly atau lengkapnya Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy. Sedangkan ketika menulis komentar terhadap kitab Tuhfatul Muhtaj ketika mengajarkan kitab tersebut kepada murid-murid beliau, beliau menuliskan nama beliau dengan Ibnu Salim. Selain itu dalam kitab fatawa Abuya yang di kumpulkan oleh murid beliau, Abu Basyah Kamal Lhong, di temukan singkatan nama Abuya dengan  م ل (Muhammad Wali)

Perjalanan pendidikannya

Syeikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh, dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di ibu kota Labuhan Haji, Pesantren jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren Al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di ibukota kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar, Syeikh Mahmud. Di pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalm ilmu nahwu dan sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya, Teungku Syeikh Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan guru beliau tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jahar. Di kemudian harinya Syeikh Muda waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah Syeikh Muda Waly, Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syeikh Mahmud, minta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syeikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syeikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci, Makkah, maka timbullah kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah–masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syeikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total di depan umum. Selain itu Abuya Muda Wali juga pernah berdebat dengan tokoh Muhammadiyah, Hasbi ash-Shiddiqy. Tak lama setelah itu barulah Syeikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syeikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syeikh H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat tersebut. Apalagi Syeikh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.

Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syeikh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata ”Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di Blang Pidie, Syeikh Muhammad Salim berkata kepada putranya, Syeikh Muda Waly ”biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini Syeikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syeikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Abu Hasan Krueng KaleeSesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syeikh H.Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syeikh H. Marhaban, seorang ulama yang merupakan murid Abuya Muda Wali yang pernah menjabat menjadi menteri muda pertanian Indonesia pada masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syeikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun. Syeikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terkhit Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syeikh Muda Waly merasa bahwa syarahan-syarahan yang di berikan oleh Syeikh Hasan Krueng Kalee tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki dan apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juga akan sanggup menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syeikh Hasan Krueng Kale. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syeikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syeikh Muda Waly, cukuplah sebagai bukti kebesaran Syeikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syeikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Kuerng Kale.
Syeikh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syeikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syeikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu Al–Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam sistem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab kuning, Syeikh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapkan asrama tempat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syeikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syeikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syeikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syeikh Muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal beliau dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang payung kepada Syeikh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir, Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syeikh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di Al Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syeikh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.

Berangkatlah Syeikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba-tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syeikh Muda Waly selama di kapal, bersedia membantu Syeikh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut.
Menurut anak kandung Abuya, Prof. DR. Muhibudin Wali, ada beberapa alasan mengapa Abuya keluar dari sekolah yang di dirikan oleh Prof. Mahmud Yunus tersebut, yaitu:
  1. Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalam ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama seperti ulama-ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu agama yang diajarkan di normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah-olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
  2. Di normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajarkan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa inggris, bahasa belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.
  3. Di normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syeikh Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Prof. DR. Muhibudin WaliSelain itu, dalam pemahaman ilmu agama, Abuya tidak sependapat dengan Prof. Mahmud Yunus. Hal ini bisa kita lihat dari ijazah Bustanul Muhaqqiqin yang Abuya berikan kepada para lulusan Darussalam, Labuhan Haji. Dalam Ijazah tersebut Abuya memasukkan buku tafsir karya Prof. Mahmud Yunus ke dalam golongan buku tafsir yang banyak mengandung kesalahan dalam penafsirannya.
Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syeikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syeikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, Syeikh Muda Waly mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat islam Sumatra barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu dan lain. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.

Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah-masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat’ seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Idul fithri dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.

Syeikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu seperti Syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili (Syiahkuala), Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain. Semuanya bermazhab Syafi`i dan antara mereka tidak terjadi pertentangan dalam syari``at dan fiqh Islam kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.

Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syeikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al Qur’an dan hadist, dan juga dari kitab-kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota padang itu, yaitu Syeikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs.H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli sunnah wal jama’ah dipadang. Murid dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. Beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah dari pada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertahankan `aqidah ahli sunnah wal jama`ah dan Mazhab syafi`i, di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari`at dan tariqat, yaitu Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syeikh Muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syeikh Muda Waly dengan seorang famili beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syeikh prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syeikh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.

Syeikh Muhammad Jamil Jaho
Syeikh M. Jamil Jaho
Kemudian Syeikh Muda waly juga berkenalan dengan Syeikh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syeikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syeikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syeikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa arab. Di Pesantren jaho itulah Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syeikh Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syeikh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syeikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syeikh Muda Waly. Dari situlah, Syeikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syeikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syeikh Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syeikh H. Mawardi Waly.

Akhirnya Syeikh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta`lim. Apabila datang hari hari besar islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syeikh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syeikh Hasan Basri, menantu dari Syeikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syeikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ketanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah Rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan.

Rumah Abuya Muda Wali bersama Ummi Rabi`ahSelain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syeikh Ali Al Maliki seorang ulama yang dijuluki Sibawaihi Zamanihi, pengarang Hasyiah al- Asybah wan Nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab hadis dari Syeikh Ali Al Maliki .
Selama di Makkah Syeikh Muda Waly seangkatan dengan Syeikh Yasin Al fadani, seorang ulama besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al Mukarramah.
Pada waktu Syeikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. tetapi pada saat Syeikh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syeikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama didekat maqam Nabi SAW. Di Madinah Syeikh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama-ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekad menuju Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Thariqat apapun. Menurut analisa anak Abuya, Prof. DR. Muhibuddin Wali, hal ini kemungkinan besar karena dua faktor :
  1. Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
  2. Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah, dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bulan Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syeikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan .
Kepulangan Syeikh Muda Waly dari tanah suci, mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari ulama-ulama Minangkabau lainnya seoerti Syeikh `Ali Khatib, Syeikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syeikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syeikh Muda Waly, maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal jamaah di padang khususnya.

Dikalangan ulama-ulama besar itu, Syeikh Muda Waly merupakan yang termuda diantara mereka (umur Abuya saat itu hanya belasan tahun), sehingga dalam perdebatan perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syeikh Muda Waly lebih didahulukan oleh ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi ulama dari kaum muda. Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama tua dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Syeikh Abdul Ghani al-Kampari
Syeikh Abdul Ghani
Walaupun Syeikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan tasawuf sebagaimana yang telan ditempuh oleh ulama-ulama sebelumnya. Apabila Ar Raniry di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syeikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil thariqah Syathariyah maka Syeikh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di sumatra Barat kala itu yaitu Syeikh Abdul Ghani Al Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syeikh Abdul Ghani beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syeikh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah thariqah beliau kembali kekota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat jepang masuk ke Padang, Syeikh  Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang  lumpuh.

Bersambung...

Post a Comment

0 Comments