Tanqih al-Mananth adalah suatu usaha untuk menentukan illat hukum dari beberapa sifat yang terdapat dalam dalil hukum dengan proses tanqih (seleksi). Misalnya ada hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan pembayaran kafarah terhadap seorang Baduwi yang berhubungan badan di siang hari bulan Ramadhan bersama istrinya.
Ada beberapa sifat yang terkait hukum kewajiban membayar kafarah dalam hadis ini ;
1. Pihak yang bersetubuh seorang Baduwi,
2. Pihak yang disetubuhi adalah isteri sendiri,
3. Persetubuhan terjadi di siang hari bulan Ramadhan
Dari 3 sifat tersebut, sifat pertama tidak mungkin menjadi illat hukum karena Syariat Islam berlaku secara universal, tidak terkhusus kepada orang Baduwi kecuali secara tegas ada dalil pengkhususan. Maka "Pihak yang bersetubuh orang Baduwi" tidak dapat dijadikan illat hukum.
Demikian juga dengan sifat kedua yaitu "orang yang disebuhi isteri sendiri" juga tidak mungkin dijadikan illat hukum karena kalau menyebuhi bukan isteri sendiri malah lebih fatal karena hal itu tidak dibolehkan sama sekali. Berbeda dengan isteri sendiri yang masih ada kebolehan fil jumlah, yaitu di malam hari. Lewat proses tanqih ditemukanlah bahwa yang menjadi illat hukum adalah sifat ketiga sehingga orang yang terbuka puasanya lewat persetubuhan di siang hari bulan Ramadhan akan dikenanakan sanksi pembayaran kafarah. Ini menurut mazhab Syafi'i.
Kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah menambah sifat lain dari tiga sifat sebelumnya dan menganggap "jimak siang hari bulan Ramadhan" juga tidak tepat dijadikan illat. Maka sifat ini juga dianulir. Mereka memandang sifat lain yang menjadi illat hukum adalah "meruntuhkan kehormatan bulan Ramadhan dengan melakukan perbuatan yang membatalkan puasa". Konsekuensi dari perbedaan tanqih manath ini melahirkan kesimpulan dalam mazhab Hanafiyyah dan Malikiyyah bahwa makan dan minum dengan sengaja juga dikenakan sanksi kewajiban membayar kafarah.
Tahqiq al-Manath adalah upaya untuk memastikan adanya illat hukum pada furu' setelah adanya kesepakatan terhadap illat hukum asal, baik illat itu manshusah (berdasar teks dalil) atau mustanbathah (hasil penelitian). Misalnya pihak berdalil dan penentang menyepakati illat keharaman tafadhul (selisih) pada jual beli gandum adalah "sifat mengeyangkan" yang ada pada gandum. Lalu kemudian hukum yang sama ingin diberlakukan pada buah tin yang sifat mengeyangkannya diperselisihkan. Upaya untuk membuktikan adanya sifat mengeyangkan pada gandum inilah yang disebut dengan istilah tahqiqul manath.
Sedangkan takhrij al-manath adalah suatu upaya eksplorasi untuk menemukan illat suatu hukum yang belum disebutkan dalam teks dalil ( ghair manshusah) dengan salah satu metode dari beberapa metode al-masalik al-illat seperti munasabah, dauran, sabru wa taqsim, dan lain-lain. Maka dengan demikian dapat dipahami bahwa takhrij al-manath ini khusus berlaku pada illat mustanbathah.
0 Komentar