Qiyas Dalam Teori Ushul Fiqh

Qiyas
Dalam pembahasan hukum islam kita sering kali mendengar kata “qiyas”. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan qiyas itu sendiri, dan bagaimana cara menggunakannya.
Qiyas merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk mendeteksi hukum-hukum Islam yang tidak ada dalil (Al-Qur’an dan Hadis) secara jelas tentang hukum terhadap suatu permasalahan. Sangat banyak permasalahan-permasalahan baru yang tidak ada dalil secara langsung melalui Al-Qur’an dan Hadis namun untuk memecahkan permasalah tersebut para ulama sangat banyak menggunakan qiyas. Hampir seluruh hukum Islam menyangkut permasalahan-permasalahan baru difatwakan dengan menggunakan qiyas.
Seorang faqih harus memiliki pemahaman yang tuntas tentang konsep qiyas ini, jika seorang faqih tidak menguasai konsep qiyas maka keilmuannya perlu diragukan. Beranjak dari hal tersebut maka penulis ingin menguraikan secara umum tentang qiyas.

Qiyas adalah menyamakan suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan perkara lain yang telah ada hukumnya dalam Al-Quran atau Hadis. Sebagaimana yang dapat kita fahami dalam ungkapan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari dalam kitabnya Lubbul Ushul halaman 110 sebagai berikut.

وهوحمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل 
Qiyas adalah menyamakan perkara yang ma’lum dengan perkara ma’lum lainnya. Karena perkara ma’lum yang pertama memiliki kesamaan illah hukumnya dengan perkara ma’lum kedua menurut orang yang menyamakannya.

Dari penjelasan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari tersebut dapat kita fahami bahwa dalam menerapkan konsep qiyas ini kita harus mengenal perkara yang akan diqiaskan (disamakan) atau dalam bahasa istilahnya sering disebut Maqis (perkara yang diqiaskan). Hal ini dapat kita fahami dari ungkapannya “ma’lum” yang artinnya diketahui secara pasti, artinya perkara yang belum ada hukumnya harus kita ketahui secara mendetil.

Kemudian kita juga harus mengenal secara pasti perkara yang akan menjadi tumpuan pengqiasan atau dalam bahasa istilahnya dinamakan dengan Maqis Alaih (perkara yang diqiaskan kepadanya).
Setelah kita mengenal kedua perkara tersebut kemudian kita juga harus mengenal apa yang dinamakan dengan illah (alasan penetapan hukum) yang terdapat pada maqis alaih. Dan kemudian kita mendeteksi apakah illah yang terdapat pada maqis alaih juga ada pada maqis, jika illah tersebut ada maka hukum pada maqis bisa disamakan dengan maqis alaih dan jika illah pada maqis alaih tidak ada dalam maqis maka hukum maqis tidak bisa disamakan dengan maqis alaih.

Sebagai contoh, kita sepakat bahwa khamar adalah haram hukumnya dengan alasan meminum khamar dapat memberikan efek memabukkan, dan hukum meminum khamar telah ditetapkan yaitu haram karena ada dalil dalam Al-Qur’an langsung. Kemudian kita melihat kepada alkohol, dan alcohol belum ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an kemudian setelah diselidiki ternyata ditemukan bahwa alcohol jika diminum juga akan memberi efek memabukkan. Maka dengan demikian bisa ditetapkan bahwa meminum alcohol juga hukumnya haram karena memabukkan dan keharaman alcohol tersebut berdasarkan qias, lebih jelasnya berdasarkan pengqiasan terhadap khamar.

Dari contoh diatas kita bisa melihat mana yang dinamakan dengan maqis, maqis alaih dan illah. Tiga unsur tersebut dalam contoh diatas bisa kita lihat bahwa yang pertama maqis, yang mana maqis ini adalah perkara yang tidak ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, dalam contoh diatas maqisnya adalah alkohol. Dan yang kedua adalah maqis alaih, yang mana maqis alaih ini adalah perkara yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, dalam contoh diatas maqis alaihnya adalah khamar. Kemudian yang ketiga adalah illah, sesuatu yang menjadi alasan dalam penetapan hukum pada maqis alaih, dalam kasus diatas illahnya adalah memabukkan.

Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwa sebelum melakukan pengqiyasan seorang faqih harus mengenal tiga perkara tersebut baru kemudian mengqiyaskannya. Wallahu A'lam Bisshawab.

Referensi: Kitab Lubbul Ushul halaman 110

Post a Comment

0 Comments