Defenisi dan Pembagian Hukum Akal

Abu Keumala
Hukum dari sisi hakimnya terbagi kepada tiga, hukum akal, hukum adat dan hukum syara'. Kali ini kita akan membahas apa itu hukum akal dan pembagiannya yang kami kutip dari buku Risalah Makrifah Abu Keumala.

Dalam kitab Ummul Barahin, definisi dan pengertian hukum Akal adalah:

عبارة عما يدرك العقل ثبوته اونفيه من غير توقف علي تكرار ولاوضع واضع

Artinya: ‘ibarat (pertimbangan) dari pada sesuatu yang diperoleh ‘akal adanya sesuatu itu, ataupun yang diperoleh tidak adanya sesuatu, yang tidak perlu kepada berulang-ulang dan tidak perlu kepada menetapkan lainnya.

Maka hukum yang disandarkan kepada ‘Akal itu, atau pernah disebutkan hukum ‘Akal terdapat hanya tiga perkar, yaitu


  1. WAJIB, yaitu sesuatu yang tidak pernah terbayang dalam ‘akal tidak adanya sesuatu itu (mesti ada). Seperti sebuah batu, mesti bergerak atau tetap dalalam satu waktu, ‘Akal tidak akan menerima kalau keduanya itu tidak ada, atau berhimpun bergerak dan tetap dalam satu ketika, akal juga tidak akan menerimanya.
  2. MUSTAHIL yaitu sesuatu yang tidak pernah terbayang pada ‘akal adanya sesuatu itu (mesti tidak ada). Seperti sebuah batu, bergerak dan tetap ia dalam satu ketika sekaligus atau keduanya tidak ada pada batu itu sama sekali. Hal ini tidak mungkin terjadi dan akal tidak akan menerima adanya yang demikian itu selama-lamanya.
  3. JAIZ, yaitu sesuatu yang dapat diterima oleh akal adanya atau tidaknya sesuatu. Seperti batu itu bergerak ia pada satu waktu atau tetap ia pada waktu yang lain. Hal yang demikian boleh saja pada akal, tidak ada keberatan apa-apa.


Imam Al-allamah Al Hudhudi berkata:
Dan ketahuilah, sesungguhnya ma’rifah dan mengetahui bagian-bagian hukum ‘akal yang tiga ini, dan diulang-ulang supaya jinak dan mudah dimengerti, adalah yang sangat prinsipil (cukup penting) bagi orang yang ingin kemenangan dan berma’rifah kepada Allah, dan rasulNya, bahkan lebih dari itu, kata Imam Al Haramain dan oleh satu jama’ah: sesungguhnya MA’RIFAH bagian-bagian hukum ‘akal yang tiga ini, adalah batang tubuh ‘akal itu sendiri, sehingga barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka dia tidak berakal. (lihat Asy-Syarqawiy ‘Alal Hudhudiy, hal. 33 s/d 36).

Kemudian, jika kita perhatikan dengan cermat, tentang pertimbangan ‘akal dan pendapatnya, sering kita dapati dua macam, yaitu :


  1. Mudah dan ringan sekali (disebut Dharuriy). Seperti sebuah benda padat, umpamanya batu, mengambil lapang ia dari udara yang kosong ini, menurut besar/kecilnya benda itu atau kita sebut, 1 + 1 = . . . mudah sekali dia dapat ; 2.
  2. Sulit dan agak berat (disebut Nadhariy). Seperti tuhan itu wajib wujud dan kekal selama-lamanya atau kita sebut 7 x 2 – 4 : 2 + 9 = . . . agak lama sedikit kita pikirkan, baru dapat ; 14.

Inilah yang kita bicarakan wajib bernadhar dan berpikir, tentang wujud Tuhan dan KekuasaanNya.
Jadi dengan mempergunakan akal untuk bernadhar dan berpikir, nyatalah kepada setiap mukallaf, apa yang wajib pada Tuhan, apa yang mustahil, dan apa yang jaiz padaNya.

Demikian pula kepada RasulNya, apa yang wajib, apa yang mustahil, dan apa yang jaiz pada diri mereka. Setelah ber-ma'rifah yang demikian yang penuh, disebutlah ia ‘arif dengan Allah dan ‘arif dengan RasulNya.

Risalah Ma'rifah Karangan TGk. Syihabuddin Syah (Abu keumala hal. 20 s/d 22)

Post a Comment

0 Comments