Sekitar setahun yang lalu, ketika diadakan maulid di salah satu Dayah di kawasan kabupaten Pidie Jaya, ada yang mengusulkan supaya dilakukan pembedahan terhadap buku tersebut dalam acara mubahatsah yang diadakan pada malam hari, namun kami melihat tanggapan yang sangat lemah dari seorang guru kami, beliau tampak tidak tertarik sama sekali membahas isi buku tersebut, padahal beliau adalah orang yang sangat aktif membahas masalah yang musykil, rupanya bagi beliau tidak ada kemusykilan sedikitpun untuk menjawab argument yang dibawakan penulis buku tersebut. Pada saat itu kami belum melihat dan membaca isi bukunya.
Pada awal tahun ini, kami mendapatkan buku itu dari salah seorang guru di LPI Mudi mesra yang kuliah pasca sajrana di IAIN ar-Raniry, Banda Aceh. Salah seorang dosen beliau, membagikan buku tersebut secara gratis serta menyampaikan pesan supaya buku tersebut dibaca-baca oleh kalangan santri di Dayah. Pada cetakan buku yang ada pada kami, ada lembaran tambahan untuk Bab II hal 52. Dalam lampiran tambahan itu, Bapak Aliwari mengutip hadist dari kitab hadist rujukan utama kaum Syiah, al-Kafi yang dikarang oleh tokoh panutan Syiah, Muhammad bin Ya`qub al-Kulainy (w. 329 H). Setelah membaca dan mempelajari isi buku tersebut dan merujuk kepada referensinya maka kami mendapatkan jawaban mengapa guru kami tidak berminat samasekali membahas dan bermubahatsah tentang isi buku itu.
Saat kita membaca buku ini, kita akan mendapati sajian intelektual islami dimana Bapak Aliwari membawakan ayat al-Quran, al-Hadits, dan nash-nash para ulama terutama ulama tafsir. Hal ini tentu akan membuat pembaca mendapat pandangan baru tentang amalan hadiah pahala dan merasa bahwa inilah sebuah kebenaran karena berlandaskan ayat al-quran, hadist dan pendapat para ulama. Namun demikian, karena keuniversalannya ayat dan hadits bahkan qaul ulama, sejalankan pendapat Bapak Aliwari atau ada perbedaan penafsirannya dengan ulama-ulama yang mu`tabar.
Inilah pertanyaan yang timbul saat kami membaca buku beliau. Kami merasakan seolah-olah bapak Aliwari terkurung dalam sebuah ideology sehingga aliran tulisan beliau mengalir bak air irigasi yang sudah tertentu arah tujuannya, bukan seperti sungai yang mengalir menurut kehendaknya. Artinya dalil-dalil yang beliau sampaikan beliau arahkan kepada sebuah kesimpulan, bukan menarik sebuah kesimpulan dari dalil-dali tersebut. Karenanya keilmiyahan buku ini perlu kita teliti dengan seksama, sebab sangat tidak logis jika memotong meteran karena kayu yang kependekan.
Maka dalam tulisan singkat ini, kami ingin memaparkan sedikit hasil pengamatan kami terhadap buku HADIAH PAHALA AMALAN REKAYASA, Yang akan kami paparkan di sini hanyalah sebagian kecil contoh-contoh kontroversial Bapak Aliwari terutama dalam hal mengkatagorikan para ulama besar dalam satu golongan tertentu. Sedangkan problema yang ditimbulkan oleh Bapak Aliwari dalam memahami nash al-Quran dan hadist serta nash-nash para ulama dan keterasingan Bapak Aliwari dalam penempatan qaedah-qaedah tertentu, tidak kami sebutkan disini.
Penting juga untuk diketahui bahwa pada bab 2 Bapak Aliwari membuat judul besar HADIAH PAHALA KONTRA AL-QURAN DAN HADITS. Kemudian pada poin A, Bapak Aliwari membuat sub judul dengan “Dalil hadiah pahala dan Over dosa menentang al-quran.
Sepengetahuan kami saat ini, tidak ada pihak yang menyatakan bahwa over dosa ini ada dalam islam, baik di Aceh maupun di luar daerah. Kalangan ulama Ahlus sunnah hanya mengakui adanya hadiah pahala sedangkan over dosa tidak ada sama sekali.
Ketika Bapak Aliwari membawakan ayat al-quran dari hal 23-46 sebanyak 102 ayat al-quran, ada 26 ayat al-quran yang hanya berhubungan dengan masalah over dosa. Maka ketika Bapak Aliwari menggabungkan dalil ayat al-quran untuk kedua masalah tersebut akan terbanyang dalam benak pembaca yang awam bahwa ada lebih seratus ayat al-quran yang menyatakan tidak adanya hadiah pahala. Sedangkan untuk masalah over dosa, pikiran pembaca tidak akan tertuju kepada hal tersebut karena memang umumnya pembaca sudah mengakui bahwa over dosa itu tidak ada. Disini terlihat kepiawaian Bapak Aliwari dalam menggiring pembaca dari kalangan masyarakat awam.
Berikut ini beberapa analisa Bapak Aliwari yang kami telusuri, kami sebutkan sedikit sebagai contoh saja:
1. Salah menisbahkan perkataan
Pada halaman 54, Bapak Aliwari mengatakan:
Atas dasar ibadah palsu itu pulalah, kata Imam Syafii, Maka Rasulullah SAW dan semua shahabatnya tidak pernah sama sekali menghadiahkan pahala bacaan…
Ini sebenarnya bukanlah perkataan Imam Syafii, ini hanya perkataan Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau setelah mengatakan bahwa atas dasar ayat an-Najmu 39 Imam Syafii berijtihad bahwa hadiah bacaan tidak sampai kepada orang meninggal. Khusus untuk masalah shadaqah untuk mayat Ibnu Katsir dengan terang mengakui sampai pahalanya untuk mayat dan beliau sendiri mengatakan hal tersebut merupakan ijmak para ulama.
Lagi pula maksud Imam Syafii tersebut adalah adalah tidak sampai pahala bacaan al-quran apabila tidak diiringin dengan doa atau bukan dihadapan mayat sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitamy.
2. Berdusta atas nama para ulama
Dalam bab ke tiga Bapak Aliwari menyebutkan sederetan nama para mufassir dengan disertai sebagian nash kitab tafsir. Namun amat disayangkan Bapak Aliwari hanya mengutip sebagian nash kitab tafsir tetapi tidak menuliskan nash yang kadang-kadang terletak tepat didepan nash yang beliau sebutkan. Dari nash yang tidak disebutkan itu, dengan sangat jelas dan terang akan kita dapati bahwa para mufassir tersebut mengakui adanya hadiah pahala.
Para mufassir seperti Dr. Wahbah Zuhaily, Imam Jalaluddin al-Mahally, Abu Hafash Sirajuddin Umar bin Ali bin Adil al-Hanbaly ad-Dimsyaqy (w. 775 H) pengarang tafsir al-Lubab, Abu Qasim Mahmud bin Amr az-Zamakhsyary (367-538 H/1074-1143 M) pengarang kitab al-Kisyaf, Abdullah Abu Barakat an-Nasafi (w. 710 H/1310 M) pengarang tafsir Madarik at-Tanzil wa Haqaiq at-Ta`wil, Abu Su`ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Imady (898-982 H/1493-1573) pengarang Tafsir Irsyadul `aqal as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, Imam as-Sayuthy pengarang Tafsir al-Jalalain dan al-Mantsur, Imam asy-Syanqithy (1907-1973 M/1393-1325 H) pengarang kitab Adha` al-Bayan fi Idhah al-quran bi al-quran, Abu Tsana` syihabuddin al-Alusi (1217-1270H/1802-1854 M) pengarang kitab Ruhul Ma`any, Imam Muhammad bin Umar bin Hasan Fakhruddin ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) pengarang tafsir Mafatihul Ghaib, Syeikh Jamaluddin bin Muhammad Sa`id al-Qasimy (1283-1332 H/1866-1914 M), Imam Ismail Haqqy bin Musthafa al-Istanbuly al-Hanafy al-Khalwaty (w.1127 H/1715 M) pengarang kitab Ruh al-Bayan, Imam Syamsuddin Khatib Muhammad bin Ahmad asy-Syarbainy (w. 977 H/1570 M) , Imam al-Qurthuby, Ibnu Ajibah, dan Syeikh Thanthawy Jauhary merupakan orang yang tegas menyatakan bahwa adanya manfaat dari amalan orang lain baik dari amalan berupa shadaqah, haji, membaca al-quran dll sebagaimana mereka tulis dengan jelas dalam karya-karya mereka. Nama-nama mufassir diatas hanya beberapa kitab tafsir yang sempat kami periksa, selain itu masih banyak kitab tafsir yang lain yang disebutkan Bapak Aliwari dalam bukunya yang belum sempat kami periksa.
Oleh Bapak Aliwari para ulama tersebut dimasukkan dalam golongan yang mendukung pendapatnya bahwa tidak ada hadiah pahala sama sekali dengan membawakan sebagian nash kitab mereka dan tidak menuliskan penjelasan mereka yang lebar panjang setelahnya yang terdapat dalam halaman berikutnya bahkan kadang-kadang penjelasan tersebut mereka uraikan tepat setelah nash yang hanya diambil oleh Bapak Aliwari.
Untuk contoh cukup kami bawakan satu kitab tafsir yang disebutkan oleh Bapak Aliwari, sedangkan yang lain akan kami paparkan pada kesempatan yang lain;
Pada halaman 112, Bapak Aliwari membawakan nash kitab Daf`ul Idhah Idhtirab`an Ayatil Quran karangan Imam asy-Syanqithy:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى} هذه الآية الكريمة تدل على أنه لا ينتفع أحد بعمل غير
Bapak Aliwari tidak melanjutkan penjelasan Imam asy-Syanqithy selanjutnya yaitu ketika menjawab ta`arudh/kontradiksi antara ayat ini dengan ayat-ayat dan hadist yang lain. Beliau memberi tiga jawaban, salah satunya adalah:
الأول - إن الآية إنما دلت على نفي ملك الإنسان لغير سعيه ولم تدل على نفي انتفاعه بسعي غيره لأنه لم يقل وأن لن ينتفع الإنسان إلا بما سعى. وإنما قال وأن ليس للإنسان. وبين الأمرين فرق ظاهر لأن سعي الغير ملك لساعيه إن شاء بذله لغيره فانتفع به ذلك الغير وإن شاء أبقاه لنفسه وقد أجمع العلماء على انتفاع الميت بالصلاة عليه والدعاء له والحج عنه ونحو ذلك مما ثبت الانتفاع بعمل الغير فيه.
Pertama; ayat ini hanya menunjuki kepada tidak ada kepemilikan bagi selain pelaku amalannya, dan sama sekali tidak menunjuki bahwa tidak ada manfaat dengan amalan orang lain karena Allah tidak menyebutkan “tidak bermanfaat bagi manusia kecuali amalannya sendiri”. Allah hanya menyebutkan “tidak ada bagi insan…” antara kedua lafadh ini ada perbedaan yang nyata, karena usaha orang lain adalah miliknya sendiri jika ia menghendaki ia bisa saja memberikan kepada orang lain maka orang lain bisa saja mendapatkan manfaatnya dan jika ia menghendaki bisa saja ia tetapkan untuk dirinya sendiri. Para ulama telah ijmak bahwa bisa bermanfaat untuk mayat dengan shalat, doa, haji baginya, dan hal-hal yang lain yang ada dalilnya yang dapat memberi manfaat dengan amal orang lain.
Kasus seperti diatas sangat banyak ditemukan dalam buku Bapak Aliwari. Kalau disebutkan contoh-contoh yang lain, akan penuhlah halaman majalah ini. Insya Allah akan kami terangkan dalam buku khusus untuk menanggapi buku Bapak Aliwari. Maka kalau sang professor dalam kata pengantarnya menyatakan bahagia dan gembira atas hasil karya gurunya yang sudah sepuh, kami malah merasa heran, mengapa Bapak Aliwari yang dalam usia yang sudah sepuh, masih berani memutar balik fakta dan data atas nama para ulama-ulama besar. Tidakkah ia takut akan azab Allah terhadap orang-orang yang menyembunyikan kebenaran, terlebih lagi atas nama para kekasihNya.
3. Bapak Aliwari juga mengikutsertakan nama para ulama Mazhab Syafii seperti Imam Syafii, Imam Nawawy, Imam Ramly, Imam Qalyuby, Imam Ibnu Hajar Haitamy, Imam ad-Dimyathy (Sayyid Abi Bakar Syatha), dan ulama mazhab Syafii yang lain.
Disini Bapak Aliwari membawakan pernyataan para ulama Mazhab Syafii tentang yang melarang dan mengharamkan kenduri kematian.
Disini Bapak Aliwari kembali berusaha menyeret pemikiran pembaca, semua para ulama Syafiiyah tersebut adalah ulama yang mengakui adanya hadiah pahala. Seperti kata Imam Sayyid Abi Bakar asy-Syatha tentang sampai pahala shadaqah dalam kitab Hasyiah i`anah hal 245 jilid 2 cet. Haramain yang mengutip isi kitab Busyra Karim bahwa sepatutnya hal tersebut (adanya manfaat dari amalan orang lain) tidak diperselisihkan keabsahannya. Para ulama tersebut hanya terjadi perbedaan pendapat pada beberapa masalah ibadat apakah boleh dihadiahkan pahala atau tidak, namun secara umum mereka sepakat adanya bentuk amalan yang dapat diambil manfaatnya oleh orang yang telah meninggal seperti masalah haji, doa dan shadaqah.
Perlu diketahui bahwa yang disebutkan oleh para ulama syafiiyah tersebut adalah masalah berkumpul di rumah kematian bukan masalah hadiah pahala. Dua masalah ini sangat jauh berbeda dan tidak saling melazimi. Berkumpul bisa terjadi tanpa adanya kegiatan menghadiahkan pahala, dan menghadiahkan pahala amalan bisa saja dilakukan tanpa berkumpul. Lagi pula berkumpul yang dimaksudkan oleh ulama mazhab Syafii tersebut adalah berkumpul dalam keadaan tertentu yang dapat menimbulkan kegundahan di hati keluarga bukan mutlak berkumpul, sangat ganjil bila pada hari kematian, agama melarang yang namanya berkumpul yang berarti harus duduk secara sendiri-sendiri tidak boleh berkumpul.
Penambahan nama-nama para ulama Syafiiyah tersebut tampaknya bertujuan menarik kalangan awam untuk menguatkan pandangan saudara Aliwari.
4. Pada halaman 20, Bapak Aliwari menyinggung bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan lebih 20 jenis manfaat amal shaleh yang dapat dimanfaatkan dari amalan shaleh orang lain.
Bapak Aliwari tidak menyebutkan secara detil 20 jenis amalan yang Ibnu Taimiyah sebutkan itu. Akhirnya beliau menyimpulkan bahwa manfaat amal shaleh berupa pahala hanya semata-mata berguna untuk yang mengamalkannya saja.
Namun, benarkan diantara 21 contoh yang Ibnu Taimiyah sebutkan tidak ada manfaat yang berupa pahala? Ketika kita periksa ke 21 amalan tersebut maka kita akan mendapati bahwa Ibnu Taimiyah berkata, diantaranya;
(No. 8) Orang yang telah meninggal menerima manfaat dengan shadaqah dan pemerdekaan budak untuknya berdasarkan keterangan jelas dari sunnah dan ijmak.
(No. 9) Haji yang wajib akan terlepas dari tanggungan mayit dengan sebab dikerjakan oleh walinya untuk mayat tersebut.
(No. 10) Haji dan puasa yang wajib dengan bernazar akan terlepas dari mayit dengan dikerjakan pekerjaan orang lain.
Tiga contoh yang dibawakan Ibnu Tamiyah ini merupakan manfaat berupa pahala amalan orang lain. Berarti dalam hal ini Ibnu Taimiyah sejalan dengan keyakinan ulama Ahlussunnah yang mengakui adanya manfaat pahala dari amalan orang lain. Bahkan murid beliau, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam kitabnya ar-Ruh menguraikan panjang lebar tentang adanya manfaat pahala dari amalan orang lain.
Kalau seandainya Bapak Aliwari berpendapat “tidak ada hadiah pahala” kemudian beliau menguatkan pendapatnya dengan mengutip pendapat tokoh-tokoh seperti Rasyid Redha, Ibnu Bazz, Lajnah Daimah lil Buhuts Arab Saudy, dan yang sepaham dengan mereka tanpa berusaha memasukkan nama-nama para ulama seperti Imam Syafii, Imam Nawawy, Imam as-Sayuthy kedalam golongan mereka, maka kita menganggapnya jujur dalam menulis walaupun salah dalam memilih dan memahami nash al-quran dan hadits.
Namun, kalau hanya menyandarkan pendapatnya kepada tokoh-tokoh diatas tentu saja pandangannya sulit untuk laku dimasyarakat, karena itulah ia berusaha memasukkan nama-nama ulama besar yang disepakati sebagai panutan umat kedalam golongan orang-orang yang sependapat dengannya.
Setelah kami menelaah buku karangan Bapak Aliwari maka dapat kami simpulkan:
- Bapak Aliwari tampaknya mengalami kegagalan interpretasi terhadap literatur karya ulama klasik. Hal ini dibuktikan oleh ketidakmampuannya untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para ulama yang tampaknya kontradiktif.
- Penulis buku tersebut sangat objektif, artinya ia tidak merasa sungkan untuk memutarbalikan fakta dan data karena telah terlebih dahulu meyakini ideology yang ia anut.
- Apa yang dilakukan penulis buku tersebut dengan membuang sebagian data agar sampai kepada tujuannya merupakan kebohongan ilmiyah dan ketidakjujuran akademik, sehingga patut dipertanyakan etika intelektualitasnya dan juga intelektualitas orang-orang yang memberikan apresiasi kepadanya.
Semoga Allah selalu menjaga kita dari fitnah kelompok yang tidak menghargai para ulama salaf/terdahulu, dan hanya fanatic kepada panutan mereka terutama dalam hal menuduh dan memvonis kaum muslim yang lain sebagai ahli bid`ah, syirik serta sebagai pelaku amalan sesat dan rekayasa. Amiin.
Tulisan salah satu anggota LBM pesantren MUDI mesra di Majalah UMDAH Edisi 4 tahun 2013 yang sebelumnya juga telah di pots di website santri dayah.
Insya Allah bukti-bukti pemutarbalikan fakta atas nash-nash para ulama akan kami tambahkan dalam postingan-postingan kedepan.
0 Komentar