Dalam istilah Fuqaha Syafi’iyyah, khususnya dalam kitab Al-Minhaj karya Imam An-Nawawi, kata ashah atau shahih digunakan untuk pendapat ashab, sedangkan manshus atau nash adalah istilah yang digunakan untuk pendapat tunggal yang difatwa oleh Imam Syafi’i sendiri. Pendapat ashab yang berlawanan dengan nash Imam disebut wajhun dhaif atau al-qaul al-mukharraj. Artinya, istilah ashah dan manshus memiliki arti yang saling bertolak belakang dan tidak mungkin dikumpulkan pada satu pendapat yang sama.
Namun, dalam beberapa kesempatan, Imam Nawawi menyebutkan dua istilah yang saling bertolak belakang ini secara bersamaan untuk satu pendapat. Dalam Kitab Risalah Tanbih disebutkan, terdapat beberapa tempat dalam Al-Minhaj dimana Imam Nawawi memberi label suatu pendapat dengan ashah manshus dan shahih manshus. Atau Imam Nawawi menyebut ashah atau shahih saja dan Imam Al-Mahally atau pensyarah Al-Minhaj yang lain menambahkan kata manshus.
Terdapat tiga jawaban untuk mengurai masalah ini.
Sebagaimana dimaklumi bahwa lawan dari pendapat nash adalah wajh al-ashab. Imam nawawi mengibaratkan pendapat nash dengan ashah atau shahih karena dua alasan. Pertama, karena memperhatikan sisi muqabil-nya, yaitu pendapat ashab. Kedua, untuk mengindikasi kepada kuat atau lemahnya pendapat muqabil.
Lalu ada pertanyaan, bila memang tujuannya adalah untuk mengindikasi kuat atau lemahnya pendapat muqabil, kenapa tidak di-ibarat dengan al-adhar atau al-masyhur saja. Karena pada pada dasarnya dua istilah ini juga digunakan untuk menunjukkan kualitas pendapat muqabil.
Jawabannya adalah, istilah al-adhar atau al-masyhur menunjukkan bahwa muqabil-nya adalah pendapat Imam, sedangkan disini yang menjadi muqabil adalah wajh al-ashab.
Para ulama menggunakan istilah al-wajh sebelum tahu bahwa pendapat tersebut sebenarnya adalah nash. Lalu mereka menggabungkan dua istilah tersebut ketika tahu yang sebenarnya. Terkadang ditulis dengan al-ashah atau as-shahih untuk menunjukkan kualitas pendapat muqabil-nya.
Jawaban ketiga adalah pendapat Imam Ali Shubra Milisi, beliau berkata bahwa ashah disini dengan makna ar-rajih. Pengalihan makna ini karena suatu qarinah yaitu terdapat kata al-manshus yang memiliki makna kontradiktif dengan kata ashah. Karena tidak mungkin menggabungkan dua kata ini bila masih berpijak di atas makna dasar.
Referensi: Taswir Al-Mathlab Fi At-Ta’biri Bi Al-Mazhab, Hal 99-101
وهي أن الأصح في اصطلاح المنهاج ونحوه إنما يطلق على وجه الأصحاب و"المنصوص" ككلمة "النص" في اصطلاح المنهاج إنما يعبر به عن قول الشافعي فكيف يجمع بينهما في وصف شيء ويقال :الأصح المنصوص كذا... وفي رسالة التنبيه: "وقد يعبر المنهاج بالأصح المنصوص أو بالصحيح المنصوص أو يعبر بالأصح فقط أو الصحيح فقط ويزيد عليه الشارح المحلي أو غيره من الشراح: "المنصوص" اهى
و يجاب عن ذلك بثلاثة أجوبة:
أولها – وهو أحسنها – أنك علمت أن المعـبـر عـنه بالنص في إطلاق المنهاج قول للإمام وما في مقابله وجه ضعيف أو قول مخرج وهو في الحقيقة وجه لا ينسب إلى الشافعي * وكذلك كلمة "المنصوص" يكون المعبر عنه بها قول الإمام وما في مقابله وجـه الأصـحاب فعبر عن هذا المنصوص بالأصح أو الصحيح تغليبا لوصـف الوجه المقابل وهو هنا "الأصح" أو "الصحيح" وإشارة إلى قوة مخالـف المنصوص وضعفه فلم يعبر هنا بالنص مع أن هذا مقامه لفوات هذه الإشارة معه.
ولم يعبر بالأظهر المنصوص أو المشهور المنصوص تغليبا للمنصوص وإشارة إلى قوة المقابل أو ضعفه، وإلى أن مقابله وجه لأن وصفي الأظهر، والمشهور يوهمان أن ما في المقابل ...
الجواب الثاني: ما سبق نقله عن بج عن ع ش "أنهم أطلقوا الوجه قبل اطلاعهم على النص ثم لما اطلعوا عليه جمعوا بينهما" اهـ فعبروا عن الوجه تارة بالأصح وأخرى بالصحيح إشارة إلى قوة الخلاف وضعفه.
والجواب الثالث: ما ذكره ع ش في باب التيمم من أن الأصح هنا بمعنى الراجح بقرينة جمعه بينه وبين المنصوص ولا يصح حمله على ظاهره لما يلزم عليه من التنافي فإن الأصح من الوجه للأصحاب و المنصوص للإمام وفي الوصف بهما معا تناف" اهـى
0 Komentar