Pengibaratan Menukil Pendapat Ulama yang Masih Hidup dan yang Sudah Wafat. Ini Perbedaannya!

 

Menulis tentang ilmu Agama dan mengumpulkan pendapat pendapat dari orang yang lain merupakan suatu hal yang lumrah serta bukanlah hal yang baru bagi mereka ulama-ulama terdahulu, baik itu ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, Nahwu, Sharaf, dan ilmu-ilmu alat lainnya, apalagi kitab -kitab yang membahas tentang ilmu fiqh.

Contohnya seperti Imam Suyuthi yang tulisannya telah mencapai 600 buah kitab. Demikian pula dengan Imam Nawawi yang tulisan dan karya kitab-kitabnya pun begitu banyak, dan juga imam ar-Rafi'i, yang tidak kalah banyak dengan mereka berdua.

Kitab-kitab yang mereka tulis, sekarang mungkin hampir seperti buku, karena begitu sangat banyaknya, dan kitab-kitab itu hanyalah berupa tulisan tangan tidak seperti sekarang yang begitu mudahnya dalam menulis, untuk membacanya kita harus mempunyai keahlian khusus. Jadi, tidak semua orang mampu untuk membacanya, karena mereka menulis dengan ketentuan-ketentuan penulisan kitab, bahkan terkadang untuk bisa membacanya kita mesti belajar ilmu alat seperti  ilmu bayan, Mantiq, ma'ani, Nahwu Sharaf dan ilmu alat lainnya, karena begitu ringkasnya kata yang mereka tulis, dan begitu banyaknya istilah-istilah yang sangat sulit untuk dimengerti.

Dalam menulis Ulama-ulama terdahulu ada yang mengutarakan pendapat-pendapat mereka pribadi, ada juga pendapat orang lain yang telah mereka kumpulkan dan kemudian mereka sebutkan di dalam kitab karyanya, atau yang lebih dikenal dengan menaqalkan pendapat-pendapat dari ulama yang lain kedalam kitab karyanya.

Namun, Ketika mereka menulis pendapat yang dinaqalkan dari Ulama yang lain adalakanya itu dari pendapat orang yang masih hidup, dan adakalanya juga  pendapat tersebut dari orang yang telah meninggal dunia ketika pengarang menulisnya, dan ternyata penulisan pendapat yang dinaqalkan dari ulama yang masih hidup dan ulama yang telah meninggal tidak bisa dituliskan dengan ibarat yang sama karena mempunyai beberapa alasan alasan tertentu, dalam artian ibarat penulisannya itu harus berbeda-beda, dan ini merupakan salah satu ketentuan yang mesti kita ketahui agar kita bisa memahami ibarat kitab karya mereka.

Jadi bagaimanakah perbedaan bentuk penulisan pendapat yang dinaqalkan dari orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal dunia,,,?

Jawabanya ialah

Apabila pendapat tersebut adalah pendapat yang diambil atau dinaqalkan dari orang yang masih hidup, maka musannif pengarang tidak  menyebutkan nama dari orang yang berpendapat, tetapi mereka hanya sekedar menyebut atau menta'birkan dengan kata

قال بعض العلماء، قال القائل dan قال بعضهم

dan umpamanya, dengan alasan mereka orang yang masih hidup terkadang suatu saat menarik kembali pendapatnya ataupun menggantinya.

 

Sedangkan penulisan bagi orang yang telah meninggal dunia itu berbeda, dan musannif pengarang langsung menyebutkan nama mereka dengan jelas seperti.

 

قال الزركشي، قاله  الامام الحرمين dan ، قال ابن الصلاح و النووى حرما

dan umpanyanya. Karena tidak ada alasan untuk menarik kembali pendapatnya dan menggantikannya.

 

Jadi dengan demikian kita bisa mengetahui pendapat siapa yang mereka naqal dan siapa nama Ulama yang berpendapat.

 

 

النقل عن الحي والموت

ومن اصطلاحهم انهم اذا نقلوا عن العالم الحي ...فلا يصرحون باسمه لانه رجع عن قوله انما يقال قال بعض العلماء ونحوه. وان مات صرحوا باسمه كما افاد ذلك العلامة عبد الله بن عثمان العمودي

 

Referensi

Kitab Mathlabul iqaazh

Hal 41, Cet. Darul dhiyak

 

Posting Komentar

0 Komentar