A. A. Tingkatan
Ulama hanafiyah
Dalam Kitab Dirasasah
al-Shayiyah, Abdur Bashir bin Sulaiman mengutip dari perkataan Ibnu 'Abidin
bahwa Ibnu 'Abidin membagi Ulama Hanafiyah menjadi lima tingkatan :
1.
Tingkatan Mutaqaddimin
Yang termasuk dalam thabaqah mutaqaddimin yaitu
murid langsung dari Abi hanafiyah, hubungan mereka dengan pendiri mazhab
seperti hubungan mu'allim dan muta'allim. seperti Abi Yusuf Ya'qub bin Ibrahim
al-Anshari, Zufar bin Huzail, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, Hasan bin Ziyad.
Mereka merupakan fuqaha mujtahid dalam mazhab yang mencetus segala hukum
melalui sumber dalil yang telah ditetapkan Imam Mazhab walaupun pada sebagian
masalah fikih terdapat perbedaan dengan pendapat Imam. Oleh karena itu, fuqaha
mutaqaddimin masih bertaqlid dalam kaedah kaedah imam mazhab berbeda dengan
Imam Syafi’i dan Imam Malik yang keduanya disamping berbeda dalan masalah fikih
juga berbeda dalam metode penetapan hukum.
2.
Tingkatan akābir
al-Mutaakhirin
Fuqaha hanafi yang termasuk dalam tingkatan
ini yaitu Abi bakar al-Khassāf, al-Thahawi, Abi Hasan al-Kharkhi, al-Hulwani,
al-Sharakhsi, Fakhri al-Islam al-Bazdawi, Fakhri al-Din Qādikhana pengarang
kitab al-Zhakhirah, Burhani al- Din Mahmud pengarang kitab al-Muhith
al-Burhani, dan Syeikh Thahir Ahmad. Mereka merupakan fuqaha mazhab Hanafi yang
sudah mampu berijtihad pada masalah-masalah yang belum ada riwayat dari Imam
Mazhab, dan juga tidak bertentangan dengan imam mazhab baik dari segi
kaedah-kaedah imam maupun masalah fikih.
3.
Tingkatan Ashab
al-Takhrij min al-Muqallidin.
Fuqaha hanafi dalam
tingkatan ini mereka tidak mampu ijtihad sama sekali, tetapi mereka mempunyai
kemampuan dalam menelusuri dan menguasai undang-undang yang telah ditetapkan
imam dan menguasai perincian pendapat mujmal yang memiliki dua wajah (dua arah pemahaman)
dan mampu memperinci pendapat yang samar-samar dari riwayat imam Hanafi dan
Ashab. Ulama hanafi yang digolongkan dalam tingkatan ini adalah Abi bakar
al-Razi al-Jassas dan yang setingkat dengan beliau
4.
Tingkatan ashab
al-Tarjih min al-Muqallidin
Mereka memiliki kemampun
dalam memperkuat satu pendapat dengan pendapat lain dengan ungkapan : هذا أولى
(ini lebih baik), هذا أصح رواية ( ini riwayat yang paling kuat), هذا أوضح دراية
(Pendapat ini yang paling jelas secara ilmiah), أفقق بالقياس (Paling sesuai dengan qiyas) هذا أرفق بالناس
( pendapat ini lebih meringankan manusia). yang termasuk dalam thabaqah ini
seperti Abi Hasan Ahmad al-Quduri, Syeikh Islam Burhanuddin pengarang kitab
al-Hidayah.
5.
Tingkatan Muqallid
yang mampu membedakan yang paling kuat, kuat, lemah, dhahir riwayat, dan
riwayat nadir
Yang termasuk dalam tingkatan ini Syams al-A`immah Muhammad al-Kurdi, Jamaluddin al-Hashiri, Hafidz al-Din al-Nasafi, dan yang setingkat dari kalangan pengarang kitab matan, seperti pengarang kitab al-Mukhtar, al-Wiqayah, al-Majma’. Ulama Hanafiyah yang berada dalam tingkatan ini tidak mengutip pendapat yang ditolak, dan riwayat lemah dalam kitabnya. Mereka merupakan tingkatan yang paling rendah dari ulama Mazhab Hanafi. Adapun yang dibawah tingkatan ini termasuk dalam katagori awam, wajib bagi mereka untuk mengikuti (taqlid) pada ulama-ulama yang memiliki kapasitas sebagaimana dalam tingkatan di atas. Tidak boleh bagi mereka untuk berfatwa tentang hukum, kecuali dengan mengutip pendapat yang telah ada.
LIHAT JUGA:
B. B. Tingkatan
Masalah
Sebagaimana
fuqaha dalam mazhab hanafi mempunyai tingkatan-tingkatan berbeda dalam mazhab
begitu juga dalam masalah masalah yang termuat dalam kitab fikih hanafi yang
tujuan para mufti mampu memilih mana yang didahulukan ketika terjadi
pertentangan. Masalah tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan:
1.
Masalah
al-Ushul
Masalah ini dinamakan dhahir
al-riwayah yaitu masalah-masalah yang diriwayatkan dari Abi Hanafiyah, Abi
Yusuf, Muhammad Hasan al-Syaibani. Juga dijajarkan dengan mereka Zufar, Hasan
bin Ziyad dan para ulama yang belajar langsung bersama Abu Hanafiyah, tetapi
kebiasaannya dhahir al-riwayah adalah pendapat Abi hanafiyah, Abi Yusuf,
dan Muhammad Hasan al-Syaibani, atau salah satu dari pendapat mereka.
Yang termasuk dalam kitab dhahir
al-riwayah ada enam macam kitab dari karya Muhammad Hasan al-Syaibani yaitu
: al-Mabsuth, al-Jami’ al-Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, Siyar al-kabir, Siyar
al-Shaghir, al-Ziyadat. Alasan dinamakan dhahir al-riwayah karena
dririwayatkan dari Muhammad Hasan al-Syaibani dengan riwayat terpercaya,
adakala secara mutawatir atau masyur.
2.
Masalah
al-Nawadir
Masalah al-Nawadir adalah masalah
yang diriwayatkan dari imam yang telah disebutkan di atas tetapi bukan melalui
perantara kitab dhahir al-riwayah . Adakalanya diriwayatkan melalui
kitab yang lain seperti al-Kaisaniyat (Pendapat Muhammad Hasan
al-Syaibani yang diriwayatkan oleh Syu’aib bin Sulaiman al-Kaisani), al-Jurjaniyat
(pendapat Muhammad Hasan al-Syaibani yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Shalih
al-Jurjani), al-Ruqaiyah (masalah yang dijelaskan Muhammad bin Hasan
ketika menjabat sebagai qadhi di Raqqah, dan diriwayatkan oleh Muhammad bin
Sama’ah), dan al-Haruniyat. Alasan dinamakan kitab di atas ghairu
dhahir al-riwayah, karena riwayat kitab di atas dari Muhammad bin Hasan
tidak zhahir dan jelas sebagaimana dhahir al-riwayah.
Adakalanya juga diriwayatkan dari
selain kitab Muhammad bin Hasan, seperti al-Mujarrad karya Muhammad bin Hasan al-Ziyad, al-Amali kitab yang
diriwayatkan dari Abi Yusuf. Adakala pendapat Muhammad bin Hasan diriwayatkan
dari jalur yang asing seperti riwayat ibnu Sima’ah, al-Mu’alla bin Mashur dan
selain keduanya.
3. Masalah al-Waqi’iyah atau al-Fatawa
Masalah al-Waqi’iyah atau al-Fatawa
yaitu masalah yang digali ulama mutakhirin dari ashab muhammad bin Hasan,
Abi Yusuf, dan Ashab keduanya hingga berakhir masa ijtihad terhadap
perkara-perkara yang tidak ditemukan riwayat. Yang pertama kali menghimpun
segala fatwa mereka adalah al-Faqih Abu Laist Samarqandi, beliau mengumpulkan
fatwa-fatwa gurunya dan ulama lain sebelum gurunya seperti Muhammad bin Muqatil
al-Razi, kemudian setelahnya juga terdapat kitab yang menghimpun segala fatwa
seperti kitab Majmu’ al-Nawazil wa al-Waqi’iyah karya al-Nathifi, dan
kitab al-Waqi’at karya al-Shadar al-Shahid. Pada kurun setelahnya,
beberapa ulama berinisiatif mengumpulkan beberapa fatwa tanpa membedakan antara
Masalah al-Ushul, Masalah al-Nawadir, dan Masalah al-Waqi’iyah.
Seperti fatwa Qadhikhan, dan al-Khulashah. Selanjutnya kekurangan tersebut
diperbaiki oleh Radhi al-Din al-Sarakhsi dengan menyebutkan pada pertama
Masalah al-Ushul, kemudian Masalah al-Nawadir, dan diakhiri
dengan masalah fatwa.
Referensi : Abdul Bashir bin Sulaiman, Dirasasah al-Shayiyah, Cet. Dar al-Dhiya’, 297-301
0 Komentar