Masalik al-'illat adalah metode untuk mengetahui illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya illat dalam suatu hukum. Ada beberapa cara untuk mengetahui illat itu : ada petunjuk yang jelas dan ada yang kurang jelas, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Masâlik al-'illat itu dapat diketahui melalui nash, ijma', al-ima' wa al-tanbih, sabru wa taqsim, takhrij al-manâth, tanqih al-manath, thard, syabah, dawrân, dan ilghau al-fariq. Cara atau metode tersebut akan diuraikan di bawah ini.
1. Nash.
Penetapan nash sebagai salah satu cara dalam menetapkan 'illat bukan berarti bahwa 'illat itu langsung disebut dalam nash, tetapi dalam lafazh-lafazh yang digunakan dalam nash dapat dipahami adanya 'illat. Lafazh-lafazh nash yang memberi petunjuk terhadap illat itu ada dua macam, yaitu nash sharih dan nash dhahir.
Nash sharih, yaitu lafazh-lafazh dalam nash yang secara jelas memberi petunjuk mengenai illat dan tidak ada kemungkinan selain dari itu. Lafazh sharih itu menurut kejelasannya antara lain: سبب (umpamanya) dan لسبب كذا (oleh sebab itu), كي umpamanya dalam surat al-Hasyr ayat 7:
كيلا يكون دولة بيت الأغنياء منكم
إذن umpamanya dalam surat al-Isra' ayat 75:
إذن لأذقناك ضعف الحيات وضعف الممات
Nash dhahir yaitu lafazh-lafazh yang secara dhahir memang digunakan untuk menunjukkan 'illat tetapi dapat pula berarti bukan untuk illat, antara lain : Lam kay, seperti dalam surat Ibrahim ayat 1:
الظلمات إلى النور كتاب أنزلناه إليك لتخر
Lafazh اللام المقدر, إن كان yang berarti لإن كان seperti dalam surat al-Qalam ayat 14:
ان كان ذا مال وبنين
Lafazh الباء seperti dalam surat an-Nisa ayat 160:
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليكم الطيبات أحلت لهم
2. Ijma'.
Pengertian Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijmak adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Ijma' sebagai salah satu masalik berarti ijma' itu menjelaskan illat dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash. Umpamanya hadits shahihain:
لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان
Ijma' menetapkan bahwa 'illat tidak sahnya hakim menghadapi perkara saat sedang marah adalah "marah", karena dapat mengganggu pikiran. Di antara ahli ushul fiqh ada yang menetapkan ijma' dalam urutan pertama, seperti Ibnu Subki. Alasannya, karena ijma' itu bersifat qath'i dan nash yang berupa hadits ahad bersifat zhanni. Dengan demikian, jika keduanya berbenturan, maka harus didahulukan ijma'. Pendapat ini juga diikuti oleh al-Amidi, sedangkan al-Baidhawi menetapkan nash pada urutan pertama, karena nash merupakan asal tempat sandaran bagi ijma'.
3. Al-Ima' wa al-Tanbîh
Al-Ima wa al-tanbil adalah penyertaan sifat dalam hukum. Seandainya penyertaan itu bukan untuk menunjukkan ke'illatan suatu sifat hukum, tentu penyertaan itu menjadi tidak berarti. Sifat yang menyertai hukum itu adalah sifat yang disebut dalam lafazh. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sifat itu dapat berupa sifat yang diistinbathkan. Sedangkan hukum yang menyertai sifat itu dapat berupa hukum yang ditetapkan oleh nash atau yang ditetapkan melalui ijtihad.
Ada pakar Ushul yang menyebut al-ima' wa al-tanbih ini dengan hanya al-Tanbih dan ada pula yang menyebutnya dengan al-Ima' saja tanpa menjelaskan perbedaan di antara keduanya. Bentuk al-Ima' wa al-Tanbih ini adalah sebagai berikut: Pertama, penetapan hukum oleh Syari' sesudah mendengar sesuatu sifat. Ini berarti bahwa sifat yang menimbulkan hukum itu adalah 'illat untuk hukum tersebut. Contohnya: peristiwa seorang Arab pedesaan ('Arabi) melapor kepada Nabi bahwa ia telah mencampuri istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, Nabi berkata, "Merdekakanlah hamba sahaya". Penetapan hukum wajib memerdekakan hamba sesudah disebutkan membatalkan puasa dengan mencampuri istri dalam hadits itu memberi petunjuk bahwa sifat yang disebutkan yaitu bercampur siang hari bulan Ramadhan menjadi illat untuk hukum yang disebutkan kemudian, yaitu kewajiban memerdekakan hamba.
Kedua, penyebutan sifat oleh Syari' dalam hukum memberi petunjuk bahwa sifat yang disebutkan bersama hukum itu adalah illat untuk hukum tersebut. Contohnya hadits Nabi Muhammad SAW:
لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان
Ketidakbolehan menetapkan hukum yang disebutkan bersama sifat marah, memberi petunjuk bahwa marah itu yang menjadi 'illat bagi larangan menetapkan hukum. Ketiga, pembedaan antara dua hukum disebabkan adanya sifat atau syarat atau ma'ani atau pengecualian, baik kedua hukum yang dibedakan itu disebutkan secara jelas, sedangkan yang satunya lagi dapat dipahami adanya. Contohnya: pembedaan dua hukum yang keduanya disebutkan secara jelas dengan sifat tertentu adalah seperti terdapat dalam hadits shahihaini:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم جعل للفرس سهمين ولصاحبه سهما
Dibedakannya dua hukum yaitu mendapat dua saham dan mendapat satu saham disebabkan oleh berkuda atau tidaknya, menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi 'illatnya. Contoh pembedaan dua hukum dengan syarat meskipun hanya satu hukum yang disebutkan adalah hadits Nabi Muhammad Saw. menurut riwayat Muslim:
الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل سواء بسواء يدا بيد فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد.
Dibedakan dalam hadits ini berlaku dan tidaknya riba fadhal adalah disebabkan adanya kesamaan atau berbedanya beberapa jenis barang. Hal ini memberi isyarat bahwa illat untuk adanya riba fadhal itu adalah kesamaan jenis. Contoh pembedaan dua hukum oleh adanya limit waktu adalah firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 222:
ولا تقر بوهن حتى يطهرن
Larangan dan bolehnya mendekati perempuan yang berhaidh disangkutkan pada satu limit waktu yaitu setelah sucinya si perempuan itu. Hal ini menunjukkan bahwa hukum larangan dalam al-Qur'an itu 'illatnya adalah keadaan "kotor" si perempuan itu. Contoh pembedaan dua hukum dengan pengecualian adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237:
فنصف ما فرضتم الا ان يعفون أويعفوا الذي بيده عقدة النكاح
Kewajiban membayar setengah mahar itu dikecualikan dengan maaf yang diberikan pihak istri. Hal ini berarti bahwa kalau tidak ada pengecualian, maka kewajibannya adalah membayar setengah mahar dan kalau dikecualikan tidak wajib yang setengah itu. Pembedaan dua hukum oleh pengecualian ini memberi petunjuk bahwa kewajiban membayar setengah mahar itu 'illatnya adalah bila tidak ada maaf pihak istri.
Keempat, mengiringkan hukum dengan sifat memberi petunjuk bahwa sifat yang mengiringi hukum itu adalah illat untuk hukum yang diiringinya itu. Contohnya, ucapan seseorang, "Hormatilah ulama itu". Perintah menghormati itu diiringi sifat yang dihormati yaitu keilmuannya. Hal ini menunjukkan sifat keilmuan itu yang menjadi 'illat untuk keharusan menghormati yang disebut sebelumnya.
4. Sabru wa Taqsim
Al-Sabru wa al-taqsim secara bahasa berarti memperhitungkan dan menyingkirkan. Maksudnya adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat dalam ashal, kemudian meninjau dan menyingkirkan sifat-sifat yang tidak bisa dijadikan 'illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang menjadi 'illat untuk hukum ashal tersebut. Contohnya hukum riba fadhal yang terdapat dalam hadits Nabi SAW:
والبر بالبر والشعير بالشعير
Dalam hadits ini tidak disebutkan 'illatnya secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mencari sifatnya ditampilkan segala kemungkinan sifat yang terdapat di dalamnya yaitu bahwa ia adalah makanan, barang yang ditimbang, dan barang yang ditakar. Selanjutnya sifat-sifat ini diteliti satu persatu dan disaring mana yang pantas menjadi 'illat dan mana yang tidak pantas.
Dalam contoh tersebut, ulama syafi'iyah menetapkan "keadaan makanan" itulah yang dijadikan sifat ('illat) untuk berlakunya riba fadhal, yaitu bila dilakukan pertukaran dua barang yang sejenis dalam ukuran yang berbeda. Sifat-sifat lain yang mungkin terdapat di situ, setelah dikaji dan dipandang tidak pantas, maka disingkirkan dari perhitungan.
Bila cara menampilkan sifat-sifat dan cara menyaring serta memunculkan satu sifat tersebut berlaku secara meyakinkan, maka usaha sabru wa al-taqsim itu disebut "qath`i". Tetapi bila salah satu atau kedua cara itu dilakukan tidak secara meyakinkan, maka usaha sabru wa al-taqsim itu disebut zhanni.
5. Munasabah (Takhrij al-Manath)
Takhrij al-manath adalah usaha menyatakan 'illat dengan mengemukakan adanya keserasian sifat yang beriringan serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan. Cara ini berbeda dengan ima' dan tanbih karena di sini dipersyaratkan adanya keserasian, sedangkan pada ima` dan tanbih tidak ada persyaratan keserasian itu. Contohnya pencarian 'illat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
كل مسكر حرام
Sifat memabukkan itu menghilangkan akal yang dikehendaki syara' untuk dijaga. Sifat ini sesuai dengan hukum harammya setiap yang memabukkan tersebut. Dalam nash, kata "haram" dengan kata "yang memabukkan', disebut beriringan.
6. Tanqih al-Manath
Tanqih al-manáth adalah menetapkan satu sifat di antara beberapa sifat yang terdapat di dalam ashal untuk menjadi illat hukum setelah meneliti kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya. Selanjutnya kekhususan sifat itu ditinggalkan dan hukum diberi `illat dengan yang lebih umum.
Misalnya kisah "Arabi yang mencampuri istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan. Dari kisah lengkap itu keluarlah hukum dari Nabi SAW "Merdekakanlah hamba sahaya". Keharusan memerdekakan itu disandarkan kepada beberapa sifat yang terdapat dalam latar belakang hukum tersebut, yaitu: ia adalah orang Arab pedesaan ('Arabi), orang yang dicampurinya itu adalah istrinya sendiri, dan bercampurnya itu terjadi dalam bulan Ramadhan tahun itu.
Selanjutnya sifat ini diteliti kepantasannya untuk menjadi `illat, dengan cara (tahapan) sebagai berikut: Pertama, bahwa orang Arab pedesaan, itu tidak dapat dijadikan 'illat, karena siapa pun orangnya, maka hukum itu berlaku untuknya. Jadi hal ini tidak menjadi perhatian. Kedua, bahwa yang dicampurinya itu adalah istrinya sendiri, juga tidak dapat dijadikan alasan, karena perempuan manapun yang dicampurinya kepada yang bersangkutan tetap berlaku hukum itu. Dengan demikian, maka kekhususan kejadianpun tidak diperhatikan. Ketiga, sekarang dalam kasus tersebut tinggal satu lagi sifat bahwa mencampurinya itu terjadi di siang hari bulan Ramadhan. Dari cara tersebut dapat diketahui bahwa sifat bercampur di siang hari bulan Ramadhan itulah yang dijadikan 'illat untuk keharusan memerdekakan hamba sahaya tersebut. Pendapat ini adalah menurut ulama Syafi'iyah.
Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, kekhususan dalam bentuk mencampuri di bulan Ramadhan tersebut juga tidak diperhatikan karena ada sifat lebih umum yang harus menjadi perhatian, yaitu kesengajaan membatalkan puasa. Dengan demikian, menurut mereka bahwa membatalkan puasa secara sengaja. dengan cara apapun mengharuskan adanya kafarah.
Perbedaan tanqih al-manath dengan sabru wa taqsim meskipun sama-sama meneliti dan membatalkan, ialah bahwa dalam tanqih al manath, sifat-sifat yang diteliti untuk ditinggalkan satu diantaranya untuk menjadi 'illat telah terdapat dalam nash, sedangkan pada sabru wa taqsim, semua sifat-sifatnya masih dicari-cari dan dimunculkan kemungkinannya.
7. Thard
Thard ialah penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian yang berarti. Memang dalam penyebutan hukum itu disebutkan pula sifatnya, namun antara hukum dengan sifat itu tidak ada kaitannya sama sekali. Misalnya ucapan, "Hukumlah penjahat yang buruk rupa itu".
Dalam contoh tersebut memang dijelaskan hukumnya, yaitu keharusan menghukum penjahat disertai penjelasan sifatnya, namun antara sifat dengan hukum tidak ada keserasian. Artinya, tidak ada sangkut pautnya antara penetapan hukum dengan buruk rupa dalam ucapan tersebut.
Tentang penempatan thard sebagai salah satu masalik illat terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama ushul. Sekelompok ahli ushul berpendapat bahwa thard itu dapat menunjukkan ke illatan suatu sifat, namun mereka berbeda dalam menetapkan kekuatan penunjukannya. Di antaranya (Mu'tazilah) berpendapat bahwa penunjukan cara thard itu terhadap illat adalah pasti (qath`i). Sebagian ulama seperti Qadhi Abu Bakar dan sebagian besar ulama ahli ushul dari kalangan generasi belakangan berpendapat bahwa penunjukan thard terhadap 'illat hanya bersifat zhanni.
Pendapat yang terpilih, menurut al-Amidi dan diikuti oleh ahli tahqiq di kalangan madzhab, mengatakan bahwa cara ini tidak dapat menunjukkan 'illat, baik dalam bentuk zhanni apalagi dalam bentuk qath 'i.
8. Syabah
Syabah adalah sifat yang memiliki kesamaan. Syabah ini terdiri dari dua bentuk, yaitu: pertama qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan, yaitu menghubungkan furu` yang mempunyai kesamaan dengan dua ashal, namun kesamaan dengan salah satu diantaranya lebih dominan dibandingkan dengan yang satu lagi. Misalnya, mengenai penetapan ganti rugi bagi hamba sahaya dihubungkan kepada harta dari segi dimilikinya atau kepada orang merdeka dari segi dikenai beban hukum. Karena kesamaannya lebih dominan dengan orang merdeka. Maka dalam hal penetapan ganti rugi ia dihubungkan kepada orang merdeka. Kedua, qiyas shuri, yaitu mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan bentuknya; seperti mengqiyaskan kuda kepada keledai dalam hal tidak dikenai kewajiban zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam hal menempatkan syabah sebagai salah satu masalik illat. Ibnu Subki menempatkannya di tengah-tengah antara munasib dan thard. la ditempatkan sebagai thard dari segi tidak mengandung unsur kesesuaian (munasabah) dan menyamakannya dengan munasib bi al-dzat dari segi secara keseluruhan syara' yang berpaling kepadanya.
Qadhi Abu Bakar menamakannya dengan ghairu munasib bi al-dzat, yang tidak menjadi munasib dengan sendirinya, namun dapat menjadi munasib bila mengikuti yang lainnya.
Qiyas syabah ini tidak digunakan selama masih dapat menggunakan qiyas `illat menurut ijma` ulama. Bila tidak mungkin menggunakan illat karena tidak adanya unsur kesesuaian, menurut al-Syafi'i, syabah dapat menjadi hujjah karena kesamaannya dengan munasib. Al-Shairafi menolak syabah karena sama dengan thard.
9. Dawrân
Al-Dawran atau yang sirkular, yaitu adanya hukum saat bertemu sifat dan tidak terdapat hukum sewaktu tidak adanya sifat. Hal ini memberi petunjuk bahwa sifat yang selalu mengikuti hukum itu adalah 'illatnya.
Tentang kedudukan dawran ini sebagai masalik al-'illat terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul. Sebagian pendapat mengatakan bahwa dawrân itu tidak dapat menetapkan illat menurut ashalnya, karena mungkin saja sifat itu hanya merupakan kelaziman umum illat dan bukan illat itu sendiri. Misalnya bau minuman keras tertentu. Bau itu selalu semerbak ketika ada minuman dan akan menghilang ketika minuman keras itu telah menjadi cuka. Pendapat kedua mengatakan bahwa dawran itu dapat menetapkan illat secara pasti seperti sifat memabukkan untuk haramnya khamr.
Pendapat yang terpilih dan disetujui oleh kebanyakan ulama bahwa cara dawran itu dapat menetapkan illat, tetapi hanya secara zhanni (tidak qath`i), karena adanya beberapa kemungkinan seperti di atas.
10. Ilghâu al-Fariq
Ilghau al-Fariq yaitu titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga terlihat kesamaannya, misalnya firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 101:
إذا ضربتم في الارض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة
Maksud ayat tersebut dapat dipahami bahwa laki-laki yang melakukan perjalanan boleh mengqashar shalat karena zhahir ayat itu ditujukan kepada jenis laki-laki. Namun bagaimana bila yang melakukan perjalanan itu adalah perempuan.
Memang terdapat perbedaan pendapat dalam hal jenis kelamin yang dalam beberapa kasus dibedakan hukumnya, seperti kewalian dan kesaksian. Namun dalam pelaksanaan ibadah, perbedaan kelamin itu tidak ada pengaruhnya. Dengan demikian perbedaan itu dapat dihilangkan, sehingga terdapat kesamaan antara kedua jenis kelamin tersebut.
Dari uraian itu, dapat diketahui bahwa masalik al-'illat adalah metode untuk mengetahui illat dalam suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk akan adanya 'illat dalam suatu hukum. Dalam hal ini terdapat beberapa macam, yaitu melalui nash, ijma, al-ima' wa al-tanbih, sabru wa taqsim, takhrij al-manath, tanqih al-manath, thard, syabah, dawran, dan ilghâu al-fariq. Dengan cara/metode demikian, maka akan semakin memudahkan para ahli fiqh untuk mencari berbagai `illat yang terdapat dalam berbagai macam persoalan (problematika) kehidupan sehari-hari, khususnya masalah-masalah fiqhiyyah yang menuntut adanya kepastian atau penetapan hukum. Karena dengan cara masálik al- 'illat inilah seorang fuqaha' (ahli hukum) pada akhirnya akan dapat menetapkan hukum atas berbagai persoalan yang terjadi.
Referensi :
Zakariyya Al-Anshari, Ghayah al-Wushul Syarh al-Ushul, h. 134-142, Cet. Al-haramain.
0 Komentar