Syariat Islam dan Karakteristik Pensyariatannya


Pada dasarnya, penerapan hukum apa pun memiliki tujuan tertentu, yang hampir semuanya mengupayakan untuk tercapai manfaat dan menolak mudarat dari penetapannya tersebut. Adakalanya manfaat yang dihasilkan secara menyeluruh dan ada juga yang dapat merugikan pihak yang lain, seperti halnya hukum-hukum dan aturan yang diterapkan oleh manusia baik secara khusus dalam kelompok tertentu atau secara luas bahkan sebagai sebuah negara.

Begitu juga halnya hukum Islam. Pada pensyariatannya, hukum apa pun yang ditetapkan pada dasarnya ingin mencapai sebuah tujuan tertentu, yaitu manfaat dan maslahat kepada hamba. Hal itu karena syariat Islam bersumber langsung dari Allah Swt. sebagai tuhan sekalian alam. Sebagaimana konsep Tuhan, ada atau tiadanya aturan yang mengatur para hambanya, tidak akan berpengaruh kepada keagungannya. Tidak akan bertambah maupun berkurang.

Namun demikian, pensyariatan hukum Islam secara filosofis sama sekali tidak akan menimbulkan kerugian kepada individu dan kelompok mana pun. Hal ini akan diterima dengan mudah jika dikaji dengan insaf dan hati yang bersih. Bagaimana tidak, hukum Islam dengan berbagai macam aturannya bertujuan untuk tercapainya kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Terlepas dari itu semua, agama agung yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. dengan berbagai macam aturan yang terkandung di dalamnya memiliki karakteristik yang amat istimewa dan sakral, yang jika diamati dengan saksama, semua kita pasti akan setuju bahwa ini adalah agama yang sempurna dan bijaksana. Berikut di antara beberapa karakteristik dasar dari pensyariatan hukum Islam:

1. Sempurna. Syariat Islam tetap masih relevan di segala lininya tanpa ada kekurangan sebagaimana halnya hukum yang ditetapkan oleh manusia yang masih mungkin terjadi revisi.

2. Universal. Syariat Islam berlaku kepada seluruh alam tanpa terbatas ruang dan waktu, kapan pun dan di mana pun. Keuniversalan ini dapat dilihat representasinya dari aturannya yang amat lengkap dalam mengatur seluruh lini kehidupan manusia secara global.

3. Sistematis, artinya antara satu aturan dengan aturan lainnya saling bertautan dan berhubungan adanya dalam bentuk yang cukup logis. Kelogisan ini dapat dilihat langsung bahkan di dalam alquran sendiri yang antar sesama ayatnya saling memiliki keterkaitan, baik ayat-ayat yang membahas hukum maupun yang lainnya. Dari dulu hingga sekarang banyak sarjana muslim yang meneliti terkait hal yang akrab disebut “al-Tanasub baina Ayat al-Quran” (Keserasian sesama ayat alquran) ini.

4. Tidak Menyulitkan (‘adam al-haraj). Sesuai dengan filosofi dasarnya yang membawa kemaslahatan dan meniadakan kemudharatan, pensyariatan hukum Islam sama sekali menyulitkan hamba. Dengan berbagai aturannya itu, syariat Islam berupaya seminimal mungkin penganutnya mendapat kesulitan yang dapat menyusahkan penganutnya. Hal ini dapat ditemukan banyak keringanan-keringanan yang terdapat di dalamnya jika saja suatu saat dapat menyulitkan hamba yang dalam fikih disebut rukhsah.

5. Menyedikitkan beban (Taqlil al-Taqalif), yaitu syariat Islam berupaya mencari jalan mengatur dengan pembebanan terhadap hamba seminimal mungkin.

6. Berangsur-angsur (al-Tadrij/ al-Tadarruj). Pembentukan hukum Islam berlangsung secara gradual dan berangsur-angsur, tidak secara sekaligus. Beberapa hukum Islam diturunkan memang untuk mengatur hal-hal tertentu tanpa diawali dari adanya kejadian yang menjadi sebabnya ditetapkan hukum tersebut. Di samping itu, banyak dari hukum Islam yang ditetapkan dan diwahyukan kepada Rasulullah Saw. pada masa hidupnya sebagai jawaban untuk kasus-kasus aktual yang terjadi di kalangan umat Islam pada waktu itu yang pada selanjutnya menjadi hukum baku yang tetap untuk seluruh umatnya. 


Referensi :

Ahmad Khudhari Bek, Tarikh at-Tasyri' al-Islamy

Posting Komentar

0 Komentar